Rabu, 04 Maret 2009

KEBENARAN FAKTA SEJARAH DALAM MATERI PERGERAKAN NASIONAL BUKU PELAJARAN KELAS 5 SEKOLAH DASAR*


A. PENDAHULUAN
Buku pelajaran IPS Sekolah Dasar yang memuat materi pelajaran sejarah umumnya menyimpan materi yang sifat pembahasannya masih ringan dan umum. Buku-buku pelajaran IPS tersebut tidak banyak memberikan luapan materi yang mendalam mengenai pokok-pokok masalah yang dibahasnya. Pemberian materi seperti itu tentunya tidak lepas dari persoalan usia dan kematangan berpikir anak sekolah dasar yang belum menyamai anak SMP, apalagi SMA. Anak-anak sekolah dasar ini diberi materi yang sifatnya masih hafalan. Nampaknya hal ini sesuai dengan tingkatan kognitif menurut klasifikasi Bloem. 

Namun demikian jangan sampai materi pelajaran sejarah yang ditulis dalam buku-buku pelajaran tersebut menyimpang dari fakta sejarah yang sebenarnya. Pembahasan materi sejarah masa pergerakan Indonesia di kelas 5 SD seringkali ada beberapa materi yang tidak sesuai dengan buku referensi dan babonnya. Hal ini sengaja atau tidak saya sendiri tidak tahu, yang jelas buku itu sudah beredar di pasaran, dan menjadi tanggung jawab seorang guru untuk memonitor perkem-bangannya. 

Pada dasarnya penulisan sejarah dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah dasar sampai menengah merujuk pada buku sumber dan buku induk yang sudah dikenali. Ketentuan dan kepastian dari buku pelajaran itu menjadi sesuatu yang mendasar manakala paparan faktanya mendekati kebenaran buku induk atau buku aslinya. Akan tetapi pada kenyataannya ada beberapa buku pelajaran yang dikarenakan memiliki alasan dan kepentingan tertentu pula ketika harus disampaikan pada anak didik kebenaran-kebenaran fakta yang tersaji dalam buku pelajaran itu malah dinomorduakan.

Pada dasarnya untuk memudahkan penyampaian informasi buku induk kepada anak didik dibutuhkan perantara yag berupa buku teks atau buku pelajaran yang memiliki cakupan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami peserta didik yang memiliki keterbatasan cakrawala dan informasi. Adakalanya peserta didik dijadikan alasan utama mengapa sebuah buku pelajaran perlu dibuat. Dalam pengertian ini, jangan sampai bukiu pelajaran malah mejadi beban yang sulit dimengerti pada anak didik. Anak didik sedapat mungkin harus dapat mengetahui informasi sejarah dari buku pelajaran lebih dahulu. 

Sekali lagi, kenyataan di lapangan berbicara lain. Umumnya penulis buku pelajaran terkadang lupa kalau memiliki tanggung jawab utama untuk memaparkan fakta yang dikeluarkannya. Fakta sejarah yang muncul pada akhirnya harus menempati posisi kedua dibandingkan dengan sisi moralitas dan etika yang ingin ditonjokkannya. Penulis buku merasa dibatasi oleh kewajibannya untuk menulis sesuai dengan kerangka normatif yang ada. Jika kita melihat buku-buku produk kurikulum 1994 cenderung hati-hati untuk memaparkan suatu fakta sejarah. Mereka lebih menuruti kemampuan pemerintah daripada informasi yang sebenarnya sampai pada peserta didik.

Pemberian materi PSPB di bangku sekolah dasar sampai SMA pada masa Orde Baru setidaknya mencitrakan hal tersebut. Pemerintah memberikan muatan versi sejarah yang sesuai dengan kepentingan pemerintah saat itu. Sejarah Indonesia modern yang ditampilkan sarat muatan politis dan ideologis. Materi yang disampaikan ibaratnya memberi penguatan ideologis bagi ide-ide pembangunan yang pada saat Orde Baru berkuasa dicanangkan dengan gencar. Pemerintah Orde Baru mempunyai kewajiban untuk mengarahkan kesadaran peserta didik terhadap wawasan sejarah yang dimilliki dalam pikiran dan hati mereka. Sejarah menjadi satu mata pelajaran yang dianggap sangat efektif sebagai sarana indoktrinasi. 

Oleh karena itu, dari sinilah tulisan ini mulai berpijak. Kenyataan sejarah dalam buku teks pelajaran SD ternyata memiliki banyak kandungan fakta yang kabur. Pembahasan persoalan sejarah pergerakan Nasional tidaklah murni dan bebas dari kepentingan tertentu. Dalam beberapa buku pelajaran ada upaya untuk menenggalamkan apa yang terjadi pada organisasi-organisai pergerakan saat itu, terutama organisasi yang dianggap sarat dengan ideologi kiri. 
 Ketika kita menyadari dari sisi etika dan moralitas mungkin hal seperti ini bisa dimaafkan dan ditoleransi, namun jika akhirnya menenggalamkan kebenaran fakta itu sendiri apalah artinya seorang anak harus belajar sejarah.

Dengan demikian saya cukup sadar diri untuk mencoba memberikan ulasan yang cukup obyektif terhadap kajian kebenaran buku pelajaran kelas 5 Sekolah Dasar. Saya tidak berupaya untuk meyalahkan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam konteks ini. Apa yang saya tulis di sini sejujurnya adalah rasa keprihatinan saya ketika membaca kebenaran fakta sejarah terhempas hanya karena etika dan sopan santun sejarah yang dibuat oleh penguasa Orde Baru yang ironisnya masih tetap berlangsung di era reformasi ini. Saya sebetulnya ikut merasakan kepedihan manakala tidak ada orang lain yang kompeten dalam hal ini berbicara atas nama kebenaran sejarah. Memang benar kata orang, menegakkan pedang sejarah itu adalah pekerjaan yang berat dan berbahaya. Tidak setiap orang mampu dan berani melakukan hal itu, setidaknya sampai hari ini. 

B. PEMBAHASAN
Dalam buku karangan Datta Wardana bersama dua temannya: Yusmar basri dan Amrin Imran yang berjudul Ilmu Pengetahuan Sosial 3 untuk Sekolah Dasar Kelas 5 penulis menemukan kebenaran sejarah yang agak kabur. Buku yang ditulis tahun 1997 jelas sekali berisi informasi perihal Sarekat Islam yang kurang jelas. Muatan materinya sangat sedikit. Materi yang sedikit itu jelas kurang mampu mengajak peserta didik untuk memahami latar sosial terjadinya peristiwa.

Di samping itu ada fakta yang sangat kental muatan ideologisnya. Salah satu informasi yang masih menjadi bagian pembahasan Sarekat Islam dituliskan sebagai berikut:
“Sekitar tahun 1920-an ada orang-orang yang berpaham komunis menjadi anggota SI. Diantaranya ada yang menjadi pemimpin cabang SI. Pada waktu itu seseorang boleh saja menjadi anggota beberapa organisasi. Orang-orang yang berpaham komunis itu dikeluarkan dari SI. Mereka mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kegiatan PKI merugikan Pergerkan Nasional. Pada akhir tahun 1926 dan awal 1927 mereka memberontak terhadap pemerintah. Pemberontakan itu tidak disiapkan dengan matang dan dengan mudah ditumpas pemerintah. Ribuan orang ditangkap dan dipenjarakan. Ada pula yang dibuang ke Digul di Irian. Sebagian besar diantaranya bukan orang komunis, mereka menjadi korban ambisi PKI.

"PKI dibubarkan oleh pemerintah Belanda. Belanda menuduh Pergerakan Nasional sebagai gerakan komunis. Beberapa waktu lamanya Pergerakan Nasional lumpuh.”  
 
Melihat konteks fakta dalam kalimat tersebut jelas sekali bahwa ada upaya untuk mendeskreditkan peran PKI sebagai organisasi Pergerakan nasional yang cukup punya nyali dan karakter radikal. Pada saat itu sebenarnya PKI merupakan organisasi pergerakan yang bercorak modern dan berideologi marxisme. Artinya banyak sekali tokoh-tokoh nasional pergerakan sangat hormat pada pejuang dan aggota PKI karena keberanian dalam bentuk nyata mengatakan ‘merdeka’ bagi Indonesia. Banyak tokoh pergerakan Indonesia yang kompromi dengan kebijakan Belanda, PKI malah mati-matian menentang hegemoni kekuasaan Hindia Belanda yang tidak berpihak pada rakyat Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Semaun, Darsono, Alimin, sampai Muso yang masih sangat muda mejadi bagian hingar bingar situasi perpolitikan saat itu. PKI sebagai wadah organisasi pergerakan berani melakukan tindakan melawan Belanda secara nyata. Sebelum peristiwa perlawanannya terhadap Belanda tahun 1926, sebelumnya sudah ada usaha protes melalui pemogokan buruh pabrik gula, kereta api, rokok dan sebagainya yang terjadi secara intensif. 

Buku ini juga mengulas secara ringan saja kegagalan PKI yang disebabkan oleh kekurangmatangan sumber daya manusia dalam mengatur strategi untuk menjatuhkan Belanda. Di sini kita tidak berbicara tentang ideologi. Apa yang ditulis oleh penulis buku pelajaran ini sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi.  

Wardana dan kawan-kawan hanya melihat sepak terjang dan kesalahan PKI pada masa Republik Indonesia sudah berdiri di negeri yang sah. Kegagalan pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta menjadi satu kerangka metode untuk menjustifikasi dan menghakimi peran PKI di masa lalu. Hal ini jelas tidak fair dan jauh dari obyektif. Wardana bahkan ikut-ikutan memberikan peristilahan yang sebetulnya keliru dalam memandang perlawanan PKI tahun 1926 ini. Harusnya ia tidak melekatkan kata “Pemberontakan” dalam konteks perlawanan yang dilakukan PKI saat itu.

Seharusnya Wardana mampu melihat di mana setting perlawan PKI dilakukan. Apakah PKI melakukan perlawanan terhadap negara Kesatuan RI ataukah justru Indonesia sendiri masih dijajah Belanda. Di sini terjadi apa yang para ahli menyebutnya sebagai anakronisme. Apa itu anakronisme? Wardana salah dalam memilah waktu masa lalu sebagai satu kerangka analisa terhadap masalah yang dikupas. Analoginya: Apakah pemberontakan PETA adalah sebagai suatu kesalahan? Apakah pemberontakan Cina melawan kekuasaan VOC juga sebagai kesalahan? Apakah pemberontakan Diponegoro dan pahlawan-pahlawan lainnya di tanah air kita ini juga sebagai kesalahan?

Ada lagi usaha Wardana untuk melemahkan peran PKI dalam percaturan politik pergerakan saat itu. Ketika PKI dinyatakan gagal maka Wardana menulis bahwa kesalahan itu terletak pada rendahnya sumber daya manusia yang tidak mampu mengatur pola strategi pemberontakan. Di samping itu ia menambahkan bahwa setelah perlawanan itu dinyatakan gagal, maka mengakibatkan laju jalannya roda pergerakan nasional terhambat dalam jangka waktu yang lama.

Hal ini jelas terjadi miskonsepsi dalam melihat sejarah Indonesia. Wardana tidak mengetahui fakta yang sebenarnya bahwa organisasi pergerakan itu tetap berjalan seperti biasanya. Ada tidaknya intensitas kontrol ketat atas jalannya roda organisasi pergerakan saat itu bukan tergantung dari perbuatan PKI semata. Artinya organisasi yang ada saat itu sudah bersama-sama memiliki kesadaran nasionalisme yang cukup tinggi. 

Upaya pengkambinghitaman jelas nampak di sini. Seorang penulis sejarah sebenarnya tahu apa yang ditulisannya itu menyimpang jauh apa tidak dari sumber resmi sejarah. Ketika penyimpangan itu sudah dilegitimasi sedemikian rupa oleh sistem yang mendukungnya, maka jelas sekali sejarah menjadi sebuah pelajaran yang kehilangan relevansi dan fungsinya bagi manusia generasi sekarang. Mempelajari sejarah berarti memperkuat penipuan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya yang masih belia dan tidak tahu apa-apa.

Dalam buku selanjutnya akan kita kaji lagi bagaimana buku pelajaran tidak selamanya steril dari kepentingan politik tertentu. Buku kedua ini ditulis oleh Saidihardjo. Judul bukunya adalah Cakrawala Pengetahuan Sosial untuk Kelas 5 SD/MI terbiitan Tiga Serangkai tahun 2004. Dalam buku ini agaknya penulis buku tidak menyelipkan fakta tentang organisasi pergerakan tokoh pergerakan yang berhaluan kiri. Agaknya Saidihardjo selaku penulis buku tidak mau beresiko menerima tikaman sosial dari masyarakat atas tulisan yang dianggap berbau kiri. Padahal berdasarkan Kompetensi dasar ke-6 jelas sekali tertuliskan “Kemampuan memahami perjuangan para tokoh dalam melawan penjajah dan tokoh pergerakan nasional di Indonesia.” Sedangkan pada hasil belajarnya pada indikator ke-3 disebutkan “Mengidentifikasi tokoh-tokoh penting pergerakan nasional dan tokoh-tokoh pejuang setempat.”

Dari kompetensi dasar dan hasil belajar di atas jelas sekali bahwa wewenang untuk menambahkan fakta sejarah tergantung dari penulis sendiri. Namun sayangnya, penulis hanya mengisikan tokoh-tokoh pergerakan dan organisasi yang bersifat umum seperti Budi Utomo dan Indishe Partij dalam sajian yang sudah baku dan sederhana. Andaikan penulis berani menyajikan sejarah SI saja tentu saja akan menambah menarik pembahasan dan sajian fakta buku pelajaran. 

Kurikulum 2004 di atas ini memang masih menempatkan bahan ajar dari buku pelajaran secara mandiri. Berbeda dengan buku dalam kurikulum 2006 atau KTSP ini penulis buku dan guru apalagi, mempunyai wewenang untuk mengembangkan, menambah, dan mengurangi mteri mana yang cocok dan sesuai dengan setting sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam buku ketiga ini dapat kita lihat bagaimana dan seperti apa buku pelajaran dapat diposisikan semestinya. Buku karya Nana Supriatna setidaknya memberikan ilustrasi tersebut. Buku yang berjudul Pengetahuan Sosial Kenali Lingkungan Sosialmu terbitan CV Citra Praya Bandung tahun 2004 ini membuat bab khusus tentang masa pergerakan nasional. Nana Supriatna memasukan masa pergerakan pada Bab 6 yang berjudul Perjuangan Melawan Penjajah dan Pergerakan Nasional Indonesia (h. 65). Supriatna memfokuskan perhatian pada tokoh-tokoh penting yang sudah dikenal secara umum. Nana tidak memasukkan tokoh-tokoh (antagonis) yang masih kontroversi. Agaknya etika dan nilai-nilai yang diharapkan pada pemunculan tokoh-tokoh yang sudah popular didorong oleh usaha Nana untuk memperkenalkan peristiwa masa lalu sebagai bagian dari masa lalu bangsa ini sendiri secara jujur. Nana juga banyak memasukkan tokoh-tokoh perempuan sebagai manifestasi semangat ideologi gender yang berkembang saat ini. Nampaknya peristiwa masa lalu yang identik dengan organisasi yang berhaluan kiri masih mejadi barang haram untuk dikaji secara ilmiah. Apalagi oleh murid sekolah dasar.


C. PENUTUP
Menyadarkan arti dan makna kebenaran akan fakta sejarah ternyata masih jauh panggang dari api. Kebenaran sejarah yang seakan mudah dan gampang itu pada kenyataannya sulit diterapkan. Tatanan nilai moralitas, ideologis, serta kepentingan lainnya ikut membawa arah kebenaran fakta sejarah semakin menjauh dari harapan bersama. Ketiga buku tersebut lahir pada waktu yang berbeda. Namun tiga-tiganya belum bisa membawa kebenaran sejarah pada titik fakta yang sebenarnya. Peristiwa masa lalu yang pernah lahir sebagai pondasi yang memperkuat keberadaan bangsa ini seakan tidak semuanya diikhlaskan untuk diketahui dan dimaknai dengan kematangan berpikir dan emosi yang empatif. Ketika sejarah juga penuh dengan cerita duka dan memunculkan segolongan manusia yang tidak dikehendaki oleh manusia masa kini, maka pupuslah sejarah masa itu. Periode dan organisasi terlarang seakan terkubur dengan segala dosa-dosa politiknya yang dilakukan oleh generasi penerusnya di awal republik ini berdiri. Jika kita menyalahkan masa lalu begitu saja tanpa melihat setting sosial dan budaya sebenarnya sama saja kita berlaku kejam terhadap anak bangsa. Mereka juga berhak tahu untuk apa buku sejarah itu diciptakan dan untuk apa kebenaran fakta dipertahankan. 

D. DAFTAR PUSTAKA

Supriatna, Nana. 2004. Pengetahuan Sosial. Kenali Lingkungan Sosialmu. Bandung: C.V. Citra Praya.

Saidihardjo. 2004. Cakrawala Pengetahuan Sosial untuk Kelas 5B. Surakarta: Tiga Serangkai.

Wardana, Datta, Basri, Yusmar, dan Imran, Amrin. 1997. Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah dasar Kelas 5. Jakarta: DEPDIKBUD.

Joened, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. 1992. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal


R. Boediono Gubernur Jawa Tengah 1949-1954: Suatu Tinjauan Kepemimpinan*

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang dan Permasalahan

R. Boediono yang pernahh menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah masa bakti 1949-1954 adalah putra kelahiran Bojonegoro. Ia adalah putra dari Raden Ario Adipati Soemantri Koesoemoadinegoro, seorang bupati Bojonegoro dalam periode 1915-1936 dan ibunya bernama Sutji.


R. Boediono dilahirkan dari keluarga bangsawan yang menganut agama Islam. Adapun susunan putera-puteri R.A.A. Soemantri Koesoemoadinegoro adalah sebagai berikut:
1. R. M. Boediono
2. R. Ay. Wimoerti Syarif Hgidayat
3. R. Ay. Hariati Mohammad Satrio
4. R. Ay. Siti Mirjati Soemakto
5. R. Ay. Koesnaeni
6. R. M. Boediardjo
7. R. Aj. Mariani Siti Fatimah
8. Meninggal sebelum dilahirkan
9. R. Aj. Retno Ambarwulan
10. R. Ay. Koestantinah
11. R. A. Ay. Djoewariyah Soekiyat
12. R. Ay. Hariani Soedjito


Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga bangsawan feodal Jawa jelas sekali R. Boedioo memanggul beban sangat besar. Tanggung jawabnya untuk meneruskan tradisi kepemimpinan panggreh praja setingkat bupati akan siap dipanggul di pundaknya pada saatnya nanti.


R. Boediono menyadari kondisi keluarganya yang seperti itu. Malah ia bersyukur sekali orang tuanya lebih memaksakan dirinya untuk menempuh pendidikan kepamongprajaan Mosvia di Probolinggo meskipun pad awalnya ia tidak bercita-cita di bidang itu.


Aspek kepemimpinannya terlihat semenjak ia anak-anak. Pola feodalisme dan patriarkhis dalam keluarganya membentuk tanggung jawab yang besar untuk membawa nama keluarga R.A.A. Soemantri Koesoemoadinegoro.


Seperti layaknya pemuda terpelajar saat itu, R. Boediono tidak menghabiskan waktu sehari-hari untuk perbuatan yang sia-sia. Seluruh waktu habis untuk kegiatan belajar bahasa dan kepamongprajaan. 


Pendidikan AMS jurusan bahasa memudahkan ia untuk menguasai bahasa asing seperti Belanda, Perancis dan Inggris. Oleh karena kepandaiannya ia dengan cepat menamatkan pendidikan Mosvia itu. Tugas pertamanya adalah menjadi pamong praja di Malang.


Saat itu Jawa masih dikuasai oleh pemerintah Kolonial Belanda. Kondisi pemerintahan di bawah penguasa Belanda ini tidak membawa persoalan yang cukup berarti pada diri R. Boediono. Profesionalisme selaku anggota Pangreh praja dalam kerangka administrasi pemerintah Kolonial Belanda terlihat sekali dalam penyelesaian tugas-tugas keseharian yang dibebankan kepadanya. Karena prestasi-prestasinya itulah maka ia memperoleh kenaikan pangkat yang tergolong cepat.
Di samping itu, R. Boediono yang memiliki sikap suka menolong yang kesusahan ini sangat terkenal pada masa itu. Sikap ini semakin menambah kecintaan rakyat pada dirinya ketika karir kepangrehprajaannnya mening-kat.


Dalam perkembangan berikutnya ketika pemerintah Kolonial Belanda mengalami beragam kesulitan menghadapi persoalan elit pergerakan nasional maka R. Boediono juga bisa menempatkan posisinya dengan baik. Selaku pamongpraja yang digaji pemerintah ia tetap melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya tanpa tercecer, namun selaku orang yang terdidik dan memiliki pergaulan luas dengan kaum pergerakan hatinya juga tersentuh dengan cita-cita perjaungan bangsa yang mulai itu. Ia memilih jalan tengah. Ia aktif juga dalam kegiatan organisasi kepemudaan yang legal formal demi cita-cita kemerdekaan bangsa. 


Oleh karena itu tulisan ini akan membahas secara tuntas bagaimana latar belakang R. Boediono ini. Mengapa pada awal kemerdekaan Indonesia ia mendapat kepercayaan pemerintah pusat untuk mejadi Gubernur Jawa Tengah? Bagaimana gaya kepmimpinan beliau dan faktor-faktor apa yang menyebabkan ia memiliki gaya kepemimpinan yang seperti itu? 

2. Landasan Teori
2. 1. Kepemimpinan

Menurut Good (1973) kepemimpinan merupakan suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka mau berbuat ssuatu demi tercapainya tujuan bersama. Pernyataan ini dipertegas oleh Wilis (1967). Menurutnya kepemimpinan merupakan segenap bentuk bantuan yang diberikan oleh seseorang bagi penetapan dan pencapaian tujuan kelompok. Hampir sama dengan konsep itu adalah Siagian (1983). Dengan pendekatan manajemen ia mengatakan bahwa kepemimpinan mempunyai makna sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain agar rela, mampu dan dapat mengikuti keinginan manajemen demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan efisien, efektif, dan ekonomis.


Seorang pemimpin harus memiliki pengaruh yang kuat di mata masyarakat. Ia mampu mempengaruhi psikologis pribadi-pribdai lain untuk mengikuti apa yang diinginkannya demi tujuan kelompok atau masyarakat yang bersangkutan. Menurut Terry (1972) pemimpin mempunyai ciri-ciri: cerdas, inisiatif, kekuatan, kematangan perasaan, daya cpta, meyakinkan, kemahiran berkomunikasi, ketenangan diri, cerdik, dan berperan serta dalam pergaulan. Feldman dan Arnold mempertegas pernyataan ini. Menurut mereka bahwa seorang pemimpin dituntut memiliki: pertama, sifat kepribadian: penyesuaian diri, sikap giat dan tegas, berpengaruh, keseimbangan jiwa dan konrol, kebebasan, keaslian dan daya cipta, kejujuran pribadi, dan percaya diri; kedua, kemampuan: kecerdasan, pertimbangan, dan kemampuan membuat keputusan, pengetahuan, dan pandai bicara; ketiga, kemahiran sosial: kemampuan memperoleh kerjasama, kemampuan adminsitrasi, mampu bekerja sama, terkenal dan berwibawa, suka brgaul, peran serta sosial, dan kebijaksanaan dan diplomasi.
 
2. 2. Pendekatan Sifat, Perilaku, dan Kontingensi
Pendektan sifat dalam kepemimpinan sering kali berbeda. Namun Freeman menyampaiakan ciri-ciri pemimpin yang seharusnya ada pada seorang pemimpin seperti: rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.


Pendekatan perilaku dilakukan untuk melihat sejauhmana perilaku menjadi karakter dan gaya tersendiri dalam memimpin. Pendekatan perilaku yang digunaka tulisan ini untuk melihat kepemimpinan R. Boediono adalah model Likert (1967) di mana ia membagi gaya kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu eksploitative authoritative, benevolent authoritative, concultative leadership, dan participative group leadership.


Dalam melihat kepemimpinan R. Boediono agaknya lebih condong untuk didekati dengan pendekatan perilaku gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.


Selain itu, untuk mengupas kepemimpinan R. Boediono maka akan digunakan pula pendekatan kontingensi dengan model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt. Menurut mereka ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam memilih gaya kepemimpinannya. Tiga faktor itu adalah kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. Model ini merupakan suatu garis yang diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku terpusat pada pemimpin dan diakhiri dengan titik yang menunjukkan perilaku yang terpusat pada bawahan.

B. Pembahasan
1. Latar Belakang Keluarga

Lingkungan kehidupan keluarga R. Boediono dilahirkan bersifat priyayi dan feodal. Dalam kehidupan ini tercermin dari bentuk rumah tinggal, cara berpakaian, dan tingkah laku dalam pergaulan. Meskipun demikian, R. Boediono tetap memiliki sifat berbudi halus, sopan, bahasa halus, serta ramah tamah. 


Dalam kehidupan keluarga tampak ada jarak antara anak dengan orang tua. Pengaruh sang Bapak ternyata sangat dominan bagi pembentukan kepribadian R. Boediono. Ia harus belajar dengan baik agar bisa menggantikan posisi sang bapak pada saatnya nanti.

2. Pendidikan
R. Boediono memasuki ELS Bojonegoro dan MULO di Surabaya. Setelah itu melanjutkan ke AMS Afdeling A di Bandung. Karena keaktifan dalam pergerakan nasional pemerintah Belanda menyampaikan teguran dan ancaman pada orang tua R. Boediono agar supaya memberi pengawasan yang lebih ketat terhadap sepak terjang puteranya. Akhirnya R. Boediono terpaksa meninggalkan bangku AMS bahasa Bandung dan meneruskan ke Mosvia Probolinggo dan melanjutkan pula setelah itu di Bestuur Academic Jakarta.

3. Masa Dewasa
Ketika masih bersekolah di AMS A, R. Boediono sangat aktif sebagai anggota Jong Indonesia dan Nafsiah (calon istrinya) adalah anggotab Perhimpunan Putri Indonesia. Sebagai seorang putera bupati ia berjiwa rendah hati dan selalu bersikap baik terhadap sesamanya. Ia tidak senang apabila ada orang yang memperbincangkan orang lain. Meskipun demikian ia dapat pula bersikap tegas dan disiplin. Sikap ini diperoleh berkat pola asuh dan pendidikan yang diperoleh dari orang tuanya.


Demikian pula ketika R. Boediono sudah berkeluarga dan punya anak, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya pada dirinya. 

4. Karir dalam Pamong Praja
Pada usia 25 tahun R. Boediono mulai menampakkan diri dalam masyarakat dengan bekerja sebagai pamongpraja di Malang. Setelah itu ia diangkat sebagai asisten Inlandsch Bestuursambtenaar di karesidenan Surabaya. Pada saat itu pula ia diberbantukan sebagai Wedana Jobokuto.


Kurang lebih dua tahun kemudian R. Boediono pindah tugas sebagai A.I.B. Veld Politie di Kepanjen Malang. Dua tahun setelah itu ia dpindahkan ke Probolinggo yakni sebagai A.I.B. Afd. M.P. pada Gewest Recherche Probolinggo.


Tanggal 19 Pebruari 1935 ia diangkat menjadi onderdistrikthoofd di daerah karesidenan Malang. Sebelas bulan kemudian R. Boediono diangkat sebagai Asisten Wedana Onderdistrict Ngajum.
Tanggal 22 Maret 1937 R. Boediono dipindahkan ke onderdistrik Kraton. Tanggal 3 Agustus 1939 ia dipindahkan di onderdistrict Pasuruan.


Untuk memenuhi kepentingan dan urusan-urusan kedinasan seringkali ia mennjau daerah-daerah guna melihat secara langsung segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugasnya, sehingga hubungan antara atasan dan bawahan dapat berjalan dengan baik dan sekaligus tercipta kelancaran mekanisme kerja yang efisien dan efektif. 


Salah satu keistimewaan R. Boediono sewaktu menjabat pamong praja adalah taktik dan strateginya dalam menciptakan keamanan di daerahya.

5. Masa Pendudukan Jepang
Pada saat pendudukan Jepang R. Boediono belum sempat menyelesaikan pendidikannya di Bestuur Academie. Ia dikembalikan ke Jawa Timur dan ditempatkan d Kabupaten Malang sebagai Sai Kyucho pada bulan April 1942. Pada bulan Agustus 1942 ia dipindahkan lagi ke Patalan Probolinggo menjabat sebagai asisten Wedana.


Menyadari akan arti perjuangan kemerdekaan tanah air, maka R. Boedioo meskipun secara formal bekerja pada Jepang akan tetapi sebagai seorang nasionalis ia tetap berjuang menggalang kerjasama dengan rekan-rkan sewaktu masih kuliah di Bandung di maa ia berteman dengan Sutan Syahrir yang sama-sama belajar di AMS. Ide-ide nasionalisme banyak dipetik kala itu. Konspsi nasionalsme ini terus dipupuk dan disalurkan melalui gerakan-gerakan bawah tanah pada waktu pemerintahan bala tentara Jepang. 


Pada bulan Juli 1945 R. Boediono dipndahtugaskan dari Kraksan ke Sukapura Proboloinggo. Ia menjabat sebagai Wedana. Kenaikan jabatan ini merupakan prestasi kerja yang istimewa. 

6. Pengabdian di Jawa Tengah
Begitu mendengar berita proklamasi jiwa R. Boediono terpangil untuk mengabdi pada republik maka ia mengambil keputusan bahwa ia harus meninggalkan pekerjaan, keluarga dan daerah tempat tinggalnya. Di Jakarta ia bergabung dengan rekan-rekan seperjuangannya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.


Masa itu berarti mulailah ia bergabung dengan Republik Indonesia yang baru berdiri. Ia mejadi orang kepercayaan Sutan Syahrir. Apalagi pada saat masa revolusi yang masih kacau, ia diberi kepercayaan untuk menjadi residen Banyumas sejak tanggal 17 Agustus 1946. Di sana ia ternyata pandai mengambil hati dan menempatkan diri diantara bupati kawasan Banyumas yang pada umumnya mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakatnya. Sehingga dengan salah satu modal itu ia dapat melakukan koordinasi yang baik untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan perjuangan.


Ketika aksi agresi milietr dan polisional Belanda, R. Boediono melakukan keputusan penting yang dapat menyelamatkan kondisi pemerintahan karesidenan Banyumas. Ia mengkoordinir langsung aksi serangan balik atas apa yang dilakukan Belanda di wilayahnya. Atas jasa dan kecerdikannya maka peemrintah pusat mempercayakan wilayah karesidenan Pekalongan untuk dipimpinnya juga. 


Selama masa perjuangan itu terutama di medan gerilya R. Boediono dapat bekerjasama bahu membahu dengan para pemimpin pejuang lannya baik dari tentara atau rakyat biasa. Dengan sesama residen ia sering bertukar pikiran dan melakukan koordinasi untuk menghadapi Belanda.

7. Menjadi Gubernur Jawa Tengah
Dari medan perang ia dipanggil pemerintah pusat untuk mengemban tugas sebagai gubernur Jawa tengah. Ia menggantikan posisi Mr. Wongsoneogoro. 


Selama R. Boediono menjabat gubernur Jawa Tengah ada banyak hal yang sudah dilakukan. Dalam kurun waktu antara 1949-1954 ia melakukan kebijakan:
a. Menyampaikan keinginan agar ada penetapan status hukum yang pasti atas enam daerah karesidenan menjadi propinsi Jawa Tengah dan juga pembentukan kabupaten otonom serta menetapkan status kota-kota tertentu mejadi kota besar di Jawa Tengah.
b. Menetapkan pegawai urusan catatan sipil.
c. Pembentukan bagian tata hukum.
d. Kepegawaian.
e. Mengusulkan tunjangan bagi pegawai di daerah kacau.
f. Pengangkatan bekas pegawai swapraja.
g. Pembentukan seksi pensiun kantor Gubernur Jawa Tengah.
h. Penanganan masalah pegawai desa.
i. Pengangkatan pegawai kampung 
j. Menyelenggarakan kursus cepat pamong desa.
k. Penanganan masalah keuangan.
l. Perbaikan dan pembangunan perumahan para kepala daerah dan kantor-kantornya.
m. Sarana penunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
n. Mengadakan perkreditan desa.
o. Pembelian padi oleh pemerintah.
p. Pembentukan panitia pembangunan wilayah hutan dan pertanian.
q. Mengatasi masalah pengangguran.
r. Pengadaan sarana pengangkutan umum.
s. Pembersihan rawa pening
t. Penanggulan bahaya gunung merapi.
u. Upaya penghapusan desa perdikan.
v. Usaha pemberantasan buta huruf.
w. Demobilisasi.

8. Analisa Kepemimpinan
a) Melalui Pendekatan Sifat
Latar belakang R. Boediono yang berasal dari kalangan priyayi, membuat ia memiliki sifat yang sangat santun, rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.


Sifat-sifat di atas bisa terbentuk berkat pembudayaan yang berasal dari keluarganya sendiri. Model kepriyayian dari Raden Ario Adipati Soemantri Koesoemoadinegoro yang merupakan ayahanda R. Boediono, memang memberikan ruang belajar yang positip untuk mengembangkan kepribadian yang positip pula. Tidak banyak golongan priyayi yang memiliki ciri khas dan karakter seperti di atas. Umumnya kalangan feudal malah memberikan pendidikan feudal bagi keluarga dan familinya.


Justru R. Boediono mampu belajar dari lingkungan yang memberikan kemanjaan dan penghormatan yang berlebihan. Masyarakat sekitar yang notabene rakyat biasa memberikan penghormatan pada para bangsawan adalah hal yang biasa saat itu. Namun, R. Boediono akan menolak jika rakyat memberikan sendiko dhawuh yang berlebihan sehingga merendahkan derajad dan diri mereka. R. Boediono tidak pernah menegakkan muka. Ia tetap memandang sama terhadap masyarakat sekitarnya. Perasaan sombong tidak pernah muncul sedikit pun. 
 
b) Melalui Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku dilakukan untuk melihat sejauhmana perilaku menjadi karakter dan gaya tersendiri dalam memimpin. Pendekatan perilaku yang digunaka tulisan ini untuk melihat kepemimpinan R. Boediono adalah model Likert (1967) di mana ia membagi gaya kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu eksploitative authoritative, benevolent authoritative, concultative leadership, dan participative group leadership.


Dalam melihat kepemimpinan R. Boediono agaknya lebih condong untuk didekati dengan pendekatan perilaku gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.


Aspek perilaku kepemimpinan R. Boediono terlihat manakala ia menyusun strategi dalam melakukan pengamanan lingkungan saat masih menjabat wedana. Ia mengajak bawahannya untuk berunding bagaimana cara menangkap aksi pencurian yang saat itu sedang banyak terjadi. Berkat komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan maka ia mampu melaksanakan konsep pengamanan yang efektif di lingkungannya.


Di samping itu, ketika ia menjabat menjadi residen di Banyumas, ia tidak melupakan peran serta para bupati yang ada di kawasan Banyumas. Ia bertanya tentang suka duka, peluang, usaha, dan tantangan dari para bupati bawahannya tersebut. Ia yang membuka komunikasi dengan bupati-bupati itu sehingga mereka merasa diuwongke dan dihargai keberadaannya. Atas sikap ini maka para bupati semakin loyal dan menghormati R. Boediono. Dan karena kedisplinan, ketegasan, keramahan, dan sekaligus andhap ansor maka ia ditunjuk untuk merangkap menjadi residen Pekalongan.


Jauh sebelum itu, ia rela melepaskan jabatannya sebagai wedana ketika Indonesia modern baru berdiri. Ia menyongsong kemerdekaan dengan ikut serta membantu para elit pergerakan nasional untuk berdiplomasi dan berjuang di jalur militer. Hal ini berarti R. Boediono bergerak lagsung di masyarakat atas nama perjuangan bangsa. 

c) Melalui Pendekatan Kontingensi
Selain itu, untuk mengupas kepemimpinan R. Boediono maka akan digunakan pula pendekatan kontingensi dengan model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt. Menurut mereka ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam memilih gaya kepemimpinannya. Tiga faktor itu adalah kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. 


Sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan dalam hal ini kharisma, pengetahuan, dan berpendidikan maka R. Boediono mampu mengarahkan rakyat yang menjadi bawahannya. Rakyat akan mengikuti kata pemimpin, jika pemimpinnya mempunyai kekuatan yang terdapat di dalamnya. Kekharismatikan yang dimiliki R. Boediono dilator belakangi dirinya yang berasal dari kalngan priyayi. Namun itu bukan satu faktor penentu, justru karena keaktifan R. Boediono di jalur perjuangan kebangsaan ini membuat namanya dikenal baik oleh masyarakat dari berbagai kalangan. 


Kekuatan bawahan saat itu begitu kagum dengan sosok kepemimpinan R. Boediono. Masyarakat yang masih bergelayut pada suasan zaman revolusi kemerdekaan merasa terayomi dengan pemimpin mereka yang bernama R. Boediono ini. Mereka merasa nyaman dengan figure da karakter sikap yang dimiliki oleh R. Boediono.


Kekompakan antara atsan dan bawahan tercipta oleh situasi da kondisi zaman yang mendukungnya. Masa penjajahan dan revolusi membuat mereka bisa bersatu dalam suasana yang penuh dengan kebersamaan. Mereka bahu-membahu menyerang lawan demi tegaknya kemerdekaan bangsa. 

C. Penutup
Dari perjalanan kehidupan R. Boediono dari sikap perbuatan dan pemikirannya dapat dilihat beberapa kesimpulan yang penting. Pertama ia sebagai pribadi yang terlahir dari keluarga priyayi feodal masih tumbuh sikap pribadi yang moderat dan berwasawasan kerakyatan.


Dari sisi sifat ia memenuhi kriteria sebagai pemimpin karena memiliki sifat seperti rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.


Dari sisi perilaku ia mempunyai sikap atau gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.


Sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan dalam hal ini kharisma, pengetahuan, dan berpendidikan maka R. Boediono mampu mengarahkan rakyat yang menjadi bawahannya. Rakyat akan mengikuti kata pemimpin, jika pemimpinnya mempunyai kekuatan yang terdapat di dalamnya. Kekharismatikan yang dimiliki R. Boediono dilatarbelakangi dirinya yang berasal dari kalngan priyayi. Namun itu bukan satu faktor penentu, justru karena keaktifan R. Boediono di jalur perjuangan kebangsaan ini membuat namanya dikenal baik oleh masyarakat dari berbagai kalangan.


DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan politik di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Abdullah, Hamid. 1989. Potret Tingkah Laku Pemuda dalam Revolusi. Yogyakarta: Seminar MSI.

Burhanuddinn. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakrta: Bumi Aksara.

Kahin, Geogrge Mc. Turnan. 1961. Nationalism dan Revolution in Indonesia. New York: Cornell University Press.

Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Soetomo. 1990. R. Boediono. Semarang: Pemda Tingkat I Jateng Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah tahun 1990.

Wahab, Abdul Aziz. 1997. Educational Managemet. Bandung: LPPs IKIP Bandung.

Soegito, H.A.T. 2003. Konsep dasar Kepemimpinan dan Kepemimpinan Pendidikan. Semarang: Makalah PPs UNNES.


*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal


TAFSIR GENDER DI SEKOLAH*

Meski kita sudah memasuki era globalisasi, pendidikan berwawasan gender kerap luput dari perhatian para guru dalam mendidik siswanya di di sekolah. Pembelajaran berbasis gender dianggap satu wilayah yang kurang jelas dan gelap. Guru dalam pembelajaran kelas tidak pernah memberikan contoh yang konkrit bagaimana dan seperti apa hingga anak didik bisa mengetahui dan mempunyai pandangan sendiri tentang gender. Mengapa bisa demikian?


Masih sering terdengar bahwa meski masyarakat Indonesia yang mempunyi latar pendidikan tinggi terkadang mereka belum memiliki kesadaran gender yang sesuai dengan apa yang diharapkan selama ini. Gender dianggap sesuatu yang mengada-ngada dan bahkan tidak sesuai dengan setting budaya yang masih menganggap segala sesuatu bersifat patriarkhis. Padahal kalau kita mau jujur usaha pemerintah sendiri dalam hal ini sudah begitu maksimal. Pemerintah melalui departemen atau dinas terkait sudah memberikan himbauan tentang betapa perspektif gender dalam kehidupan bermasyarakat yang kondisi sosial budaya Indonesia yang berbeda-beda sangatlah penting.


Salah satu bidang yang dibidik sebagai akar permasalahan mengapa gender kurang begitu menjadi urgensi persoalan selama ini adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan formal adalah pintu masuk utama seorang anak mengenal gender. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, posisi dan peran guru sangatlah penting untuk mensosialisasikan persoalan gender pada siswa sekolah dasar dan menengah. Jika orang tua karena pendidikan yang rendah dianggap gagal memberikan penyampaian pesan gender dalam benak anak-anak mereka, maka guru di dalam pembelajaran kelas dapat memberikan alternatif peran untuk mengenalkan tentang bagaimana dan seperti apa masyarakat terbedakan antara laki-laki dan perempuan secara historis dan kultural yang mempengaruhi peran-peran domestik dan publik mereka. Namun sayangnya peran pokok guru dalam hal ini sering pula tidak optimal karena faktor budaya patriarkhis yang terlalu kuat serta interpretasi agama yang cenderung keliru memposisikan perempuan dalam ranah publik.


Oleh karena itu, agar seorang guru mempunyai titik pijak yang sama untuk menafsirkan persoalan gender tersebut maka di bawah ini ada beberapa pertimbangan yang bisa dilakukan: 
Pertama, pada prinsipnya pemberian sosialisasi gender dapat dimulai dalam bentuk pelajaran apa saja. Pada pelajaran yang berbau eksakta tentu saja pesan gender harus masuk secara halus, tersamar, dan terselubung melalui simbol-simbol yang tidak mengandung dominasi laki-laki. Pada pelajaran ilmu sosial, gender dapat dimasukkan sebagai materi utuh, sebagian, atau terselubung yang didasarkan atas proporsi dan kebutuhan yang ada. 


Kedua, guru harus memasukkan materi gender dalam setiap rencana pendidikan yang ada. Materi gender atau bernuansa gender tetap harus dimasukkan dalam rencana pendidikan sebagai bentuk konsistensi pelaporan tugas secara tertulis.


Ketiga, secara sosial budaya, tata tertib di sekolah maupun tata aturan tak tertulis yang ada di kelas maupun di sekolah diupayakan untuk pembentukan kesadaran siswa akan gender. Terkadang ada beberapa poin dalam tata tertib yang sengaja melanggengkan struktur kelaki-lakian. Peraturan atau norma mengenai pembentukan struktur pengurus kelas, regu piket kelas, serta pembagian tugas sehari-hari di kelas juga sering dilakukan atas persepsi perbedaan laki-laki dan perempuan. Misalnya tugas menyapu kelas adalah perempuan dan laki-laki hanya bertugas menghapus papan tulis. Papan tulis dalam hal ini simbol publik karena peran dan pekerjaannya lebih nampak di depan bapak atau ibu guru yang sedang mengajar, sedangkan menyapu di dilakukan pada saat pagi hari, sebelum bel masuk, sepi, dan menjadi simbol pekerjaan domestik karena tidak terlihat oleh bapak atau ibu guru yang mengajar. 


Meski tidak semua sekolah berani dan mencoba melakukan perubahan hal itu karena pertimbangan budaya dan agama (barangkali), namun usaha untuk itu harus ada. Oleh karena itu setiap sekolah harus mencoba mewajibkan para wali kelas untuk melakukan perubahan struktur dan regu kerja. Anak didik perempuan bukan lagi diposisikan sebagai sekretaris dan bendahara yang pernah dikonstruksikan sebagai profesi dan posisi yang pantas bagi perempuan saja, namun cobalah untuk menggantinya menjadi ketua kelas dan jabatan-jabatan struktur kelas yang dulu menjadi monopoli kaum laki-laki. 


Keempat, guru harus membedah materi pelajaran yang selama ini bias gender. Materi yang hanya melanggengkan posisi dan dominasi laki-laki atas perempuan bisa direduksi dan dihilangkan sama sekali. Contoh-contoh penggambaran yang terkait materi pelajaran yang memakai simbol laki-laki harus diseimbangkan dengan simbol-simbol keperempuanan. Foto-foto dalam pelajaran sosiologi tidak harus foto kaum laki-laki saja dengan atribut sosialnya. Tokoh-tokoh dalam karangan buku sastra yang dikaji tidak semata laki-laki dengan kuasanya saja. Materi pelajaran sejarah tidak hanya membahas masa lalu yang penuh dengan kekuatan dan kejayaan laki-laki saja atas nama politik, ekonomi, militer, dan agama. Sejarah tentang perempuan dan perjuangannya perlu ditampilkan. 


Kelima, Kepala Sekolah mewajibkan setiap guru memasukkan pesan gender dalam pembelajaran mapel di kelas. Peran kepala sekolah sangat penting untuk memberikan paksaan pada bapak atau ibu guru memberikan semangat bergender ria. Kepala sekolah pun dapat memberikan contoh pelaksanaan gender secara konkrit. Misalnya pembentukan kepanitiaan sekolah untuk berbagai kegiatan haruslah menyeimbangkan peran guru laki-laki dan perempuan secara proporsional dan jelas. Ketidakmengertian gender kepala sekolah akan menciptakan budaya bias gender yang dapat merusak pemaknaan gender itu sendiri bagi siswa yang ada dis ekolah tersebut.


Apabila semua pertimbangan dan persyaratan di atas sudah dilakukan bukan berarti persoalan gender akan lebih jelas dan terselesaikan begitu saja. Keberhasilan mengenalkan perilaku sadar gender berhubungan pula dengan latar budaya dan pemahaman keagamaan yang melingkari lembaga persekolahan yang terkait. Oleh karena itu strategi yang sesuai untuk memberikan dan menanamkan nilai-nilai harmonisasi peran laki-laki dan perempuan itu adalah memberikan ruang diskusi yang intensif antara berbagai pihak agar menghasilkan formulasi pengkajian gender yang sesuai dengan harapan bersama

*Penulis: Muslichin, guru SMA 2 Kendal.

SERTIFIKASI GURU: TITIK-TITIK KELEMAHAN*

Gaung sertifikasi pada bulan-bulan ini sudah tidak terdengar lagi. Sertifikasi yang pada awal tahun 2008 seolah menjadi buah bibir itu gemanya semakin mengecil dan terpuruk di pojok pembicaraan guru. Namun demikian, program pemerintah itu ternyata masih menyisakan efek dan dampak yang buruk bagi tindakan para guru dalam menyikapinya.

Kita tahu bahwa adanya sertifikasi membuat para guru bersibukria menyiapkan segala sesuatunya agar mampu menerobos proses seleksi yang dilakukan oleh tim penilai sertifikasi. Terlalu bersemangatnya mereka, ada dan banyak yang melakukan tindak penambahan nilai melalui cara-cara yang kurang sehat dan menjurus pada penipuan nilai. Mereka melakukan kecurangan berjamaah hanya agar angka kreditnya mencapai dan melampaui poin 850.

Jika para guru beramai-ramai mengikuti seminar dalam rangka mendapatkan poin nilai tinggi itu masih dianggap wajar, karena di situ masih ada proses pembelajaran dan penyampaian informasi akademik narasumber kepada guru meski dengan cara paksa dan ngetoki. Kecurangan yang dianggap parah dan tidak bisa dimaklumi adalah jika para guru itu sudah terjebak pada pembuatan lks, modul, dan PTK tanpa melalui prosesi yang wajar dan benar. Oleh karena bernafsu agar nilainya tinggi, mereka rela menjual idealismenya untuk mereduplikasi karya-karya orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Karya orang lain yang tidak pernah dibuat sengaja dibajak agar oknum guru bisa mendapat nilai tinggi tanpa harus bersusah-payah. Mereka karena suatu hal kurang membaca literatur tiba-tiba sudah mempunyai modul belajar yang cukup bermutu yang dikerjakan dalam waktu super singkat. Mereka yang semula tidak tahu menahu tentang Penelitian Tindakan Kelas tiba-tiba juga sudah mempunyai laporan PTK lengkap dengan data-data perijinan yang dibuat surut tanggalnya. Yang lebih tragis adalah mereka memanfaatkan rental pengetikan untuk mencetak ulang LKS atau modul yang jelas milik guru lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Kadang ada yang hanya mengganti cover LKS atau Modul dengan cover baru yang ada nama oknum guru tersebut.

Kecurangan tidak berhenti di situ saja, ada oknum guru yang ikut mendompleng pembimbingan siswa yang menjadi pemenang dalam lomba akademik maupun nonakademik. Jika awalnya dalam pembimbingan lomba siswa, kepala sekolah menugaskan dua guru sebagai pembimbing siswa, tiba-tiba saja dalam surat tugas yang baru bisa muncul beberapa guru yang merasa menjadi pembimbing dari siswa yang berprestasi dan menjadi pemenang. Seolah perilaku guru itu seperti semut yang memperebutkan gula. Hal ini maklum saja mengingat untuk pemenang lomba tingkat provinsi poin angka kredit sertifikasinya adalah 20.

Lalu, bagaimana agar perilaku guru yang demikian tidak terulang lagi pada sertifikasi angkatan selanjutnya? Jelas sekali tim penilai sertifikasi harus mampu bersikap tegas, teliti, dan hati-hati dalam mengamati dan menilai arsip-arsip surat tugas pembimbingan, sertifikat lomba, LKS, Modul, dan PTK yang dimiliki guru. Jika pada sertifikasi guru angkatan awal 2008 tim penilai mengharuskan para guru melampirkan sertifikat seminar, workshop, dan pelatihan, maka pada angkatan selanjutnya para guru harus bisa membuktikan bahwa semua LKS, Modul, dan PTK yang telah disusunnya benar-benar karya asli yang dihasilkannya. Cross check antara LKS, Modul, dan PTK di antara para guru wajib dilaksanakan agar dapat diminimalisir kecurangan dan duplikasi karya orang lain. Proses ini pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Namun demikian, untuk mengantisipasi agar jangan terjadi lagi jelas perlu dilakukan.

Tim penilai perlu memberikan hukuman atau sanksi tegas bagi para guru yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen atau reduplikasi karya orang lain. Jika ada sanksi berupa sistem gugur bagi guru yang melakukan kecurangan, maka hal ini akan memberikan tekanan, contoh, dan efek jera bagi guru lain yang berniat coba-coba.

Terakhir, tanamkan pada para guru bahwa sertifikasi adalah program pemerintah yang intinya ingin mengangkat derajat dan harkat manusia yang berprofesi guru secara ekonomi dengan cara-cara yang bermoral dan beretika. Jika guru gara-gara ingin sejahtera malah melakukan kecurangan yang menodai citra guru, apalah artinya dilaksanakan sertifkasi guru, wong cepat atau lambat semua guru pasti sudah disertifikasi. Jangan sampai kepingin cepat sejahtera malah melakukan cara-cara yang amoral dan haram: menjiplak karya orang lain!
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal


DUKUN KALANG, PEREMPUAN, DAN RANAH PUBLIK*


Umumnya membicarakan persoalan gender terkait dengan pembagian wilayah kerja dan aktifitas antara kaum laki-laki dan perempuan. Meski gender adalah konstruksi yang diciptakan secara historis dan kultural, namun kerap masyarakat kita yang semakin cerdas ini masih pula terjebak pada dikotomi perbedaan lelaki dan perempuan dalam memaknai suatu peran tertentu pada pelaku tradisi dalam masyarakat. Jarang ada pandangan baru tentang bagaimana reposisi peran dimaknai secara bersama-sama, baik dari sudut pandang wilayah domestik sekaligus publik. Oleh karena itu kita terkadang terjebak pada term dan pendefinisian dari apa yang kita buat sendiri, sehingga bukan upaya penjernihan dari suatu masalah melainkan pemaksaan analisis yang kabur dan rancu.

Andaikat persoalan gender tidak berangkat pada usaha untuk menyamakan posisi perempuan terhadap dominasi laki-laki, maka kita akan sedikit lega dan mengena dalam memberikan makna terhadap pelaku tradisi yang notabene justru dilakukan oleh kaum perempuan. Kaum perempuan pada bentuk tradisi kuno yang masih tetap dilestarikan acapkali menjadi figur sentral dan utama yang dipercaya memimpin jalannya ritual.

Pada tradisi Kalang, banyak terlihat bagaimana jalannya ritual itu dipimpin oleh seorang perempuan yang dipanggil dukun. Ritual obong yang sangat terkenal itu yang menjadi pemimpin ritualnya adalah perempuan. Demikian pula ritual gegalungan gegumbregan yang memimpin adalah perempuan. Mengapa perempuan justru diberi kepercayaan yang tinggi sebagai pemimpin kegiatan ritual? Bagaimana aspek historis dan kultural mengapa bisa muncul hal itu? Serta bagaimana posisi laki-laki dalam kegiatan ritual maupun sosial kesehariannya?

Adanya dukun kalang perempuan adalah sesuatu yang lumrah saja jika kita melilhat adanya cerita legenda Calon Arang yang sangat terkenal itu. Dengan kekuatan spiritual dan daya linuwihnya ia mampu membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pihak yang mempunyai kuasa atas apa saja termasuk menggantikan posisi laki-laki sebagai subordinat dirinya. Airlangga yang disimbolisasikan sebagai kekuatan laki-laki saja tidak mampu memiliki kesaktian untuk menandingi Calon Arang hingga akhirnya menyusun strategi penipuan atas nama perkawinan antara muridnya Bahula dengan Ratna, anak Calon Arang.

Seakan cerita itu diamini bagi komunitas Kalang untuk melihat posisi dukun Kalang sebagai inti kebudayaan mereka. Legenda Kalang yang terkait dengan cerita Bali itu sangatlah jauh, hanya saja dalam beberapa hal menunjukkan segi kemiripan tertentu. Satu Legenda Kalang mengatakan bahwa nenek moyang orang Kalang berasal dari babi hutan (nenek) dan anjing (bapak). Babi hutan yang kehausan meminum air kencing dari raja yang bernama Dampo Awang. Beberapa selang kemudian babi hutan itu hamil dan melahirkan perempuan cantik yang bernama Dewi Nawangwulan. Ketika Dewi dewasa ia menikah dengan seekor anjing yang bernama Belang Mayungyang, seekor anjing berkelamin jantan yang jika malam hari berubah menjadi satria keturunan dewata. Dari perkawinan keduanya lahirlah seerang anak yang bernama Kalangjaya. Singkat cerita karena Kalangjaya membunuh anjing (bapaknya) dan babi hutan (neneknya), maka ibunya mengalami kesedihan luar biasa dan menyusun sebuah rangkaian ritual agar arwah dari kedua jenasah orang yang dicintainya bisa moksa dan sempurna. 

Dari cerita itulah maka eksistensi mengapa perempuan mendapatkan kepercayaan sebagai dukun dimulai. Kepercayaan yang tumbuh pada masa animisme dan dinamisme pula menjadikan perempuan sebagai pelaku sentral tradisi masyarakat Indonesia. Jika dilihat pola kekerabatan zaman dahulu yang bercorak matriarkhat, jelas bahwa perempuan menempati posisi penting bagi keutuhan sebuah komunitas. Perempuanlah sebagai pihak yang mengawali perkembangan aktifitas cocok-tanam dan berkebun pada masa itu. Laki-laki disibukkan dengan aktifitas publik berburu binatang dan meramu, maka perempuan mulai melakukan aktivitas cocok tanam sebagai pengusir bosan terlalu lama menunggu kedatangan bahan konsumsi yang dibawa kaum laki-lakinya.  

Kelelahan dan kesibukan laki-laki itulah membuka kesempatan bagi perempuan untuk menggantikan posisi di dalam kegiatan ritual keagamaan. Dukun Kalang bagai seorang manager perusahaan yang mengatur segala sesuatunya agar sesuai dengan harapannya. Kelengkapan ritual, sesaji, bahan pangan, biji, kembang telon, wakul, baju, ingkung, sego kukul, puspa, dan pancaka. Namun demikian, meski pemimpin tradisi Kalang adalah perempuan namun untuk keutuhan sebuah upacara mereka tetap membutuhkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang masih mempunyai ikatan darah dengan dukun Kalang. Pembuatan Puspa tetap dilakukan kaum laki-laki, demikian pula pancaka. Hanya keluarga laki-laki yang bersaudara dengan dukun Kalang yang berhak membuatnya.

Jalannya ritual sepenuhnya dilaksanakan oleh dukun Kalang. Dukun mempunyai kekuatan laksana Calon Arang yang sedang menunjukkan kesaktiannya. Posisinya sebagai perempuan mempunyai kemampuan spiritual membuat yang hadir terpana menyaksikan tahapan upacara yang berjalan. Ia bisa marah dan menangis sesuai dengan latar jenasah yang meninggal. Ia pun mampu menganalisis amal ibadah seseorang yang meninggal dari warna api yang terpancar pada saat pembakaran puspa dan pancaka.

Bagaimana laki-laki menyikapi perbedaan peran yang dilakukan sang dukun. Umumnya laki-laki Kalang mengatakan bahwa adam sing kuwasa hawa sing rekoso, yang artinya apapun pekerjaan yang sulit dan melelahkan diserahkan saja pada perempuan sedangkan pekerjaan yang mudah dilakukan oleh kaum laki-laki. Laki-laki Kalang menganggap diri mereka berkuasa atas perempuannya. Namun demikian dalam praktiknya, dukun Kalang menjadi satu pembuktian tentang peran sosial-budaya yang melebihi apa yang bisa dilakukan kaum laki-laki. Secara teori, laki-laki menganggap berkuasa atas perempuannya, secara praktik perempuanlah yang mampu menunjukkan eksistensinya pada publik. Secara sosial, antara laki-laki Kalang dan perempuan Kalang hampir tidak ada bedanya. Keduanya mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Laki-laki berada di sawah untuk mencangkuli tanah persawahan agar gembur dan subur, sedangkan perempuannya menanami dengan bibit tanaman seperti padi, bawang, atau tembakau. Ketika menunggu musim panen mereka bekerja di sektor dagang. Banyak perempuan Kalang yang ikut menjual sesuatu di pasar-pasar tradisional. Hal ini sama dengan laki-lakinya. Pada saat panen, baik laki-laki dan perempuannya berkecimpung untuk saling membantu memanen hasil tanaman tembakau, padi atau bawang merah yang sering menjadi andalannya. 

Kebersamaan dan keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan Kalang pada tataran aktivitas sosial kemasyarakatan. Laki-laki mempunyai posisi yang sepadan dengan perempuan. Laki-laki bekerja dan perempuannya juga bekerja. Namun demikian perbedaan secara tradisional lebih menonjolkan sosok perempuan sebagai pembawa karakter dan ciri khas kesukuan mereka di mana segala aktivitas ritual pasti yang memimpin adalah perempuan yang tertua dan mendapatkan pulung secara turun-temurun.  

Barangkali juga bergesernya penerimaan laki-laki yang semula di sektor yang domestik dan tertutup ke wilayah publik karena proses perubahan dan perkembangan zaman. Jika dahulu ada kemungkinan laki-laki diposisikan sebagai subordinat perempuan namun karena pertemuan budaya dengan suku bangsa lain akhirnya membuat kaum laki-laki mengadopsi kultur yang patriarkhit ke dalam budaya Kalang sendiri. Semula laki-laki menjadikan perempuan Kalang sebagai panutan tetua mereka, namun lambat laun sisi kepemimpinan perempuan Kalang tereduksi dan hanya tersisa pada posisi dukun Kalang saja, satu posisi yang tetap tangguh melawan pergerakan zaman. 

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.