Senin, 15 Juni 2009

HARGA SEBUAH KEJUJURAN

Ujian sekolah dari tingkat SD sampai dengan SLTA sudah usai. Banyak pihak mengucapkan puji syukur karena tingkat keberhasilan dalam ujian nasional yang tinggi. Sebagai contoh wilayah Jawa Tengah saja tingkat kelulusan untuk Ujian Nasional tingkat SLTA sederajat mencapai 95,30 persen. Bahkan, ada beberapa daerah yang tingkat kelulusannya mencapai 100%. Namun demikian, terasa ada ganjalan yang terselip dalam sanubari kita, apakah nilai kelulusan yang begitu tinggi ini dilakukan dalam proses yang sangat jujur? Ganjalan ini sempat menyembul menjadi pertanyaan-pertanyaan yang berada dalam benak pikir kita, sudah jujurkah kita melaksanakan segala proses ujian itu dengan baik hingga menghasilkan prosentase kelulusan yang begitu tinggi?


Di salah satu kota kabupaten yang ada di wilayah Pantura sebagai misal, tingkat keberhasilan beberapa sekolah yang mencapai angka 100 persen menimbulkan beberapa kejanggalan-kejanggalan. Kita tidak menyepelekan peran dari pihak tertentu yang sudah membawa keberhasilan pencapaian prestasi yang gemilang ini. Memang pada dasarnya, Dinas Pendidikan selaku pihak yang terkait pada persoalan itu sudah mempersiapkan sedini mungkin. Kita tidak boleh menutup mata berapa besar biaya yang harus dikucurkan untuk memobilisasi sekolah-sekolah agar mengikuti anjuran kesiapan dan strategi yang harus dilaksanakan sampai di tingkat sekolah. Namun demikian kesiapan yang dinamakan sebagai tim sukses ini terkadang bertindak di luar norma dan batasan prosedur ujian nasional yang baik dan benar.

Ujian Nasional sudah berjalan sekian lama. Dari beberapa pelaksanaan ujian nasional tentunya menimbulkan bentuk kecurangan selain prestasi-prestasi di bidang tertentu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaksanaan ujian nasional akhirnya menimbulkan kecurangan yang tidak semakin diminimalisasi, melainkan justru dilengkapi dengan trik dan strategi yang baru sehingga menghasilkan hasil jawaban yang tepat bagi siswa. Kasus yang baru saja terjadi di salah satu sekolah RSBI di Kabupaten Ngawi, ternyata semua siswanya harus melaksanakan ujian nasional ulang karena kedapatan hasilnya tidak lulus semua, dan ketidaklulusan itu disebabkan kecurangan yang melibatkan salah satu oknum guru sekolah tersebut. Kecurangan ini mengingatkan kita akan kasus SMA 2 Semarang yang satu ruang kelas IPA ternyata sebagian besar siswanya tidak lulus karena mendapatkan SMS dari gurunya. Sebetulnya, masih banyak contoh-contoh yang lainnya di mana kecurangan itu sudah dilaporkan pada saat pelaksanaan ujian nasional sedang berlangsung. Berita-berita tentang kecurangan itu menghiasi beragam media yang terbit di tanah air.  Namun demikian, banyak sekali model dan modus kecurangan yang tak tertangkap oleh media karena ada bentuk kerjasama yang rapi di antara pihak-pihak terkait. Ada semacam tahu sama tahu terhadap proses ujian nasional. Artinya kolaborasi antara pihak sekolah dengan pengawas ujian berada pada kondisi yang sama-sama membutuhkan atau bahasa gaulnya take and give. Pihak sekolah meminta dengan bahasa dan fasilitas tertentu agar pengawas ujian menjadi lunak, sebaliknya pengawas juga berharap jika mereka mengawasi mendapat penghargaan dan fasilitas yang baik maka berharap bahwa sekolah tersebut juga akan mengirimkan guru pengawas ujian yang sama lunaknya. Katakanlah ada semacam simbiosis mutualisme. Mereka sama-sama harus mendapatkan keuntungan. Jika kesepakatan tak tertulis ini sudah diratifikasi oleh kedua belah pihak maka dengan sendirinya proses melakukan kecurangan dengan berbagai cara siap dimulai.
Modus kecurangan pertama bisa terlihat dari banyaknya siswa ketika ujian sekolah meminta diri untuk ke luar ruang ujian dengan alasan perut sakit, ingin buang air kecil atau apa saja. Di kamar kecil tersebut sangat mungkin terjadi proses transferisasi jawaban dari oknum guru pada siswa tertentu. Kedua, siswa menggunakan Hp yang suaranya sudah tidak diaktifkan. Mereka mendapat SMS jawaban umumnya dari siswa ruangan lain bahkan sekolah lain. Terkadang ada pula yang mendapat SMS dari oknum guru sekolah yang bersangkutan. Ketiga, Bagian Tata Usaha memanggil nama-nama tertentu dari peserta ujian yang ada di sekolah tersebut sehubungan dengan masalah administrasi sekolah atau alasan lainnya. Ternyata inisial atau huruf depan nama-nama yang dipanggil itu adalah kode jawaban yang harus dipilih oleh siswa. Keempat, tukang kebon atau tukang sapu sekolah ada yang terlihat aneh. Ia sering menata pot-pot bunga pada posisi tertentu yang bisa dilihat oleh siswa. Adanya pot-pot yang diatur sedemikian rupa oleh tukang sapu itu merupakan kode jawaban yang harus dipilih siswa. Kelima, ada kalanya salah satu guru masuk dan memberikan kertas undangan untuk acara atau kegiatan di dalam ruang ujian, ternyata di dalam lipatan undangan itu ada beberapa jawaban yang harus dipindahkan siswa.