tag:blogger.com,1999:blog-17404460571178261912024-03-14T20:02:12.560+07:00the school articlessebuah kliping tempat menyimpan arsip, kertas kerja, artikel, karangan yang hampir terbuang, karya ilmiah, dan puisi yang pernah terlahir karena keterpaksaan,keterpinggiran,kesedihan, dan kepenatan dari pojok jendela sekolah yang senantiasa merindukan damai.the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.comBlogger16125tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-58068148142811496332009-06-15T14:33:00.003+07:002009-06-15T16:57:53.581+07:00HARGA SEBUAH KEJUJURAN<div align="justify">Ujian sekolah dari tingkat SD sampai dengan SLTA sudah usai. Banyak pihak mengucapkan puji syukur karena tingkat keberhasilan dalam ujian nasional yang tinggi. Sebagai contoh wilayah Jawa Tengah saja tingkat kelulusan untuk Ujian Nasional tingkat SLTA sederajat mencapai 95,30 persen. Bahkan, ada beberapa daerah yang tingkat kelulusannya mencapai 100%. Namun demikian, terasa ada ganjalan yang terselip dalam sanubari kita, apakah nilai kelulusan yang begitu tinggi ini dilakukan dalam proses yang sangat jujur? Ganjalan ini sempat menyembul menjadi pertanyaan-pertanyaan yang berada dalam benak pikir kita, sudah jujurkah kita melaksanakan segala proses ujian itu dengan baik hingga menghasilkan prosentase kelulusan yang begitu tinggi?<br /><br /><span class="fullpost"><br />Di salah satu kota kabupaten yang ada di wilayah Pantura sebagai misal, tingkat keberhasilan beberapa sekolah yang mencapai angka 100 persen menimbulkan beberapa kejanggalan-kejanggalan. Kita tidak menyepelekan peran dari pihak tertentu yang sudah membawa keberhasilan pencapaian prestasi yang gemilang ini. Memang pada dasarnya, Dinas Pendidikan selaku pihak yang terkait pada persoalan itu sudah mempersiapkan sedini mungkin. Kita tidak boleh menutup mata berapa besar biaya yang harus dikucurkan untuk memobilisasi sekolah-sekolah agar mengikuti anjuran kesiapan dan strategi yang harus dilaksanakan sampai di tingkat sekolah. Namun demikian kesiapan yang dinamakan sebagai tim sukses ini terkadang bertindak di luar norma dan batasan prosedur ujian nasional yang baik dan benar.<br /><br />Ujian Nasional sudah berjalan sekian lama. Dari beberapa pelaksanaan ujian nasional tentunya menimbulkan bentuk kecurangan selain prestasi-prestasi di bidang tertentu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaksanaan ujian nasional akhirnya menimbulkan kecurangan yang tidak semakin diminimalisasi, melainkan justru dilengkapi dengan trik dan strategi yang baru sehingga menghasilkan hasil jawaban yang tepat bagi siswa. Kasus yang baru saja terjadi di salah satu sekolah RSBI di Kabupaten Ngawi, ternyata semua siswanya harus melaksanakan ujian nasional ulang karena kedapatan hasilnya tidak lulus semua, dan ketidaklulusan itu disebabkan kecurangan yang melibatkan salah satu oknum guru sekolah tersebut. Kecurangan ini mengingatkan kita akan kasus SMA 2 Semarang yang satu ruang kelas IPA ternyata sebagian besar siswanya tidak lulus karena mendapatkan SMS dari gurunya. Sebetulnya, masih banyak contoh-contoh yang lainnya di mana kecurangan itu sudah dilaporkan pada saat pelaksanaan ujian nasional sedang berlangsung. Berita-berita tentang kecurangan itu menghiasi beragam media yang terbit di tanah air. Namun demikian, banyak sekali model dan modus kecurangan yang tak tertangkap oleh media karena ada bentuk kerjasama yang rapi di antara pihak-pihak terkait. Ada semacam tahu sama tahu terhadap proses ujian nasional. Artinya kolaborasi antara pihak sekolah dengan pengawas ujian berada pada kondisi yang sama-sama membutuhkan atau bahasa gaulnya take and give. Pihak sekolah meminta dengan bahasa dan fasilitas tertentu agar pengawas ujian menjadi lunak, sebaliknya pengawas juga berharap jika mereka mengawasi mendapat penghargaan dan fasilitas yang baik maka berharap bahwa sekolah tersebut juga akan mengirimkan guru pengawas ujian yang sama lunaknya. Katakanlah ada semacam simbiosis mutualisme. Mereka sama-sama harus mendapatkan keuntungan. Jika kesepakatan tak tertulis ini sudah diratifikasi oleh kedua belah pihak maka dengan sendirinya proses melakukan kecurangan dengan berbagai cara siap dimulai. </span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Modus kecurangan pertama bisa terlihat dari banyaknya siswa ketika ujian sekolah meminta diri untuk ke luar ruang ujian dengan alasan perut sakit, ingin buang air kecil atau apa saja. Di kamar kecil tersebut sangat mungkin terjadi proses transferisasi jawaban dari oknum guru pada siswa tertentu. Kedua, siswa menggunakan Hp yang suaranya sudah tidak diaktifkan. Mereka mendapat SMS jawaban umumnya dari siswa ruangan lain bahkan sekolah lain. Terkadang ada pula yang mendapat SMS dari oknum guru sekolah yang bersangkutan. Ketiga, Bagian Tata Usaha memanggil nama-nama tertentu dari peserta ujian yang ada di sekolah tersebut sehubungan dengan masalah administrasi sekolah atau alasan lainnya. Ternyata inisial atau huruf depan nama-nama yang dipanggil itu adalah kode jawaban yang harus dipilih oleh siswa. Keempat, tukang kebon atau tukang sapu sekolah ada yang terlihat aneh. Ia sering menata pot-pot bunga pada posisi tertentu yang bisa dilihat oleh siswa. Adanya pot-pot yang diatur sedemikian rupa oleh tukang sapu itu merupakan kode jawaban yang harus dipilih siswa. Kelima, ada kalanya salah satu guru masuk dan memberikan kertas undangan untuk acara atau kegiatan di dalam ruang ujian, ternyata di dalam lipatan undangan itu ada beberapa jawaban yang harus dipindahkan siswa. <br /></span></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-69417840083474210192009-05-26T15:49:00.008+07:002009-05-27T08:40:10.352+07:00STUDI LANJUT DAN SERTIFIKASI GURU*<div align="justify">Pada dasarnya adanya sertifikasi memberikan harapan dan jaminan akan kemajuan pendidikan di Indonesia. Persoalan mendasar seperti anggaran pendidikan yang rendah dan minimalnya gaji guru sebagai pelaku utama pendidikan di Indonesia akhirnya pupus dengan hadirnya Undang Undang No. 19 tentang Guru dan Dosen tahun 2005.<br /><span class="fullpost"><br /></div><p align="justify">Undang-undang itu telah memberikan dukungan nyata bagi pengembangan pendidikan yang realistis di Indonesia. Pendidikan tidak lagi dianak-tirikan begitu saja. Pemerintah memberikan dukungan nyata melalui anggaran negara sebesar 20% setiap tahunnya. Melalui sertifikasi pemerintah menambakan tunjangan fungsionalnya sebanyak satu kali gaji pokok. Hal ini berarti menambah kesejahteraan yang cukup baik bagi kalangan guru yang selama ini menjadi korban kebijakan.<br /><br /><br /></p><div align="justify">Adanya undang-undang itu memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan aspek profesionalismenya yang selama ini dinomorkanduakan karena mereka sibuk mencari omprengan di sana-sini. Guru kembali fokus untuk memberikan pengajaran yang terbaik bagi peserta didik. Mereka lebih fokus untuk mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan semenjak dahulu. Masalah administrasi pembelajaran lengkap dengan jenis model, media, strategi, pendekatan, dan jenis tagihan/penilaiannya dilakukan kembali dengan lebih lengkap dan utuh.</span></div><div align="justify"><br />Di sisi lain, kenaikan tunjangan guru yang memberikan rasa iri hati bagi pegawai lainnya itu harus diimbangi pula dengan usaha pengembangan diri. Era globalisasi jelas membutuhkan kreativitas para guru untuk menyikapi keadaan yang telah berkembang pesat. Perolehan keilmuan pada saat dahulu harus pula berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi saat ini. Guru tidak boleh puas dengan apa yang sudah dicapai saat ini. Mereka harus berusaha mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan studi lebih lanjut.<br /><br /></div><div align="justify"><br />Jika dahulu studi lanjut bagi guru adalah sesuatu yang muskil, namun sekarang dengan penghasilan dan tunjangan yang cukup besar, mereka dengan mudah bisa melanjutkan studi untuk memperoleh pengetahuan terkini yang sesuai dengan minat jenjang kependidikannya dahulu. Mereka mempunyai tambahan dana untuk membayar biaya perkuliahan per semesternya. Pilihan studi S2 menjadi tumpuan penting manakala biaya ada dan tuntutan keadaan menghendaki demikian.<br /><br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Akan tetapi, kemudahan dan keadaan yang mengharuskan seperti itu tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Meskipun sudah mendapatkan legalisasi sertifikasi guru, mereka tetap tidak beranjak jauh dari posisi dan mentalitasnya yang seperti dahulu. Tunjangan sertifikasi yang cukup besar tidak cukup siginifikan merubah mindset yang tertanam kuat lama. Hampir dapat dipastikan bahwa hanya kurang dari lima prosen guru yang lulus sertifikasi mau melanjutkan studi lanjut.<br /><br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Mengapa mereka tetap tidak ingin melanjutkan studi lebih tinggi? Ada beberapa alasan yang menyebabkan seorang guru tidak melanjutkan studi lanjut.<br /><br /></div><div align="justify">Pertama, faktor usia kerap tidak bisa dipungkiri menjadi alasan yang mendasar bagi seorang guru untuk berpikir tentang studi lanjut. Bagi guru seperti ini pendidikan lanjut bukanlah cita-cita dan upaya pencapaian belajar lebih tinggi. Dengan usia yang sudah tua mereka merasa untuk apa studi lanjut toh mereka sebentar lagi sudah pensiun dan pikun. Bagi cara berpikir mereka, orang tua seharusnya lebih fokus pada ibadah saja bukan pada keinginan yang muluk-muluk dan berpikir yang berat-berat.<br /><br /></div><div align="justify">Di satu sisi cara berpikir seperti ini mendekati kebenaran. Guru yang mendekati pensiun seakan tiada gunanya untuk studi lanjut. Apalagi jika studi lanjut dihubungkan dengan persoalan PAK dan keinginan mengejar jabatan tertentu, jelas posisi mereka semakin jauh dari upaya untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Namun demikian, ada satu kelemahan yang perlu kita kaji bersama dari pernyataan tersebut. Guru yang sudah tua bukan berarti harus berhenti untuk belajar. Belajar pada prinsipnya tidak mengenal batas usia. Usia lansia pun tetap diharapkan terus mengembangkan pengetahuan. Dengan belajar sepanjang hayat, berarti guru tersebut mencegah kepikunan yang mungkin akan menimpanya jika ia tidak membaca dan berpikir.<br /><br /></div><div align="justify">Kedua, pada umumnya guru beranggapan bahwa studi lanjut bagi mereka adalah sesuatu yang muskil. Mengapa? Mereka mempunyai beban ekonomi yang cukup besar. Mereka mempunyai anggapan bahwa gaji dan tunjangan yang diperolehnya tidak untuk mengembangkan potensi dan kemampuan pedagogik dan akademik lainnya, melainkan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Tanggung jawab untuk menyekolahkan anaknya ini adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika mereka nekat untuk studi lanjut, lalu biaya untuk keperluan sehari-hari akan dicari lagi dari mana?<br /><br /></div><div align="justify">Sekilas jawaban tersebut sangat logis. Memang kebutuhan guru sama dengan orang tua lainnya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa beban ekonomi guru sangat besar. Mereka harus mencari biaya hidup dengan penghasilan yang pas-pasan. Mereka juga ingin anak-anak mereka mengeyam pendidikan yang lebih baik. Mereka ingin agar anak-anaknya mendapatkan perguruan tinggi yang bonafid dan terpandang.<br /><br /></div><div align="justify">Sebelum adanya Undang-Undang Guru dan Dosen, jawaban tersebut masuk akal. Dengan gaji yang rendah sangat tidak mungkin guru berkeinginan untuk melanjutkan studi lanjut. Penghasilan mereka hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Demi kuliah anak-anaknya mereka menetapkan pola hidup yang disiplin, keras, dan penuh keprihatinan. Kadang ada guru yang rela bekerja sambilan agar keluarganya bisa hidup, lebih sejahtera, dan bisa menikmati pendidikan yang baik.<br /><br /></div><div align="justify">Namun demikian, jika tunjangan sertifikasi ini benar-benar direalisasikan tanpa diskriminatif tentu saja guru tidak mengalami kesulitan ekonomi yang teramat berat. Khususnya guru yang PNS atau guru tetap yang bekerja di sekolah yang yayasannya kuat, mereka memiliki kelebihan dana yang bisa dialokasikan untuk studi lanjut. Dengan tunjangan dan gaji tetap yang mereka memperoleh, mereka bisa mengelola keuangan dengan lebih baik dan akhirnya bisa menyisakan sedikit untuk melanjutkan pendidikannya. Bukanlah dengan pendidikan lebih tinggi maka akan terbuka kesempatan untuk menggali pundi-pundi ekonomi lebih mendalam dan luas?<br /><br /></div><div align="justify">Ketiga, alasan yang umumnya hinggap di kepala bapak-ibu guru mengapa mereka tidak mau sekolah adalah persoalan mobilitas vertikal yang dipahami secara kaku dan keliru. Mengapa? Hal ini terkait dengan persepsi keberhasilan orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Dalam alam pikiran masyarakat Indonesia muncul persepsi bahwa orang tua yang berhasil mendidik anaknya adalah mereka yang mampu membiayai sekolah anaknya lebih tinggi daripada jenjang pendidikan orang tuanya. Jika orang tuanya lulusan SD, maka anaknya minimal SMP, syukur-syukur SMA atau bahkan sarjana. Inilah potret keberhasilan orang tua Indonesia. Mereka yang mampu membiayai anaknya sampai sarjana berarti orang tua yang sukses dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya.Inilah prinsip mobilitas sosial yang dipahami oleh para orang tua atau masyarakat Indonesia pada umumnya.<br /><br /></div><div align="justify">Kondisi ini memang tidak dapat disalahkan mengingat secara kultural anggapan keberhasilan anak itu lebih dipentingkan pada pola pengasuhan pada keluarga-keluarga semi modern selama ini. Hanya saja, jika persepsi ini digebyah-uyah pada situasi dan kondisi yang berbeda tentu saja menghasilkan sesuatu yang kurang pas. Harusnya persepsi itu jangan dipahami secara kaku dan tidak mau melakukan pemahaman ulang terhadap persepsi itu lagi. Situasi seperti ini berkembang pada benak guru juga. Mereka berpikir biarlah anak mereka yang belajar dengan baik, biarlah orang tua mengalah untuk memberikan biaya studi pada anak-anak mereka. Jika mereka nekat kuliah, pasti orang-orang di sekitar mereka akan mengatakan bahwa mereka adalah orang tua yang egosi, hanya mementingkan diri sendiri.<br /><br /></div><div align="justify">Dengan tunjangan sertifikasi guru, setidaknya ada sedikit dana untuk melanjutkan studi tanpa harus mengurangi hak anak yang sudah diprogramkan selama ini. Dengan demikian biaya sekolah untuk anak tetap dan biaya untuk kuliah sang guru juga bisa disiasati sebaik-baiknya.<br /><br /></div><div align="justify">Keempat, hal ini yang paling parah di mana tunjangan sertifikasi bukan untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya justru untuk mengembangkan konsumsinya yang jelas jauh dari produktifitas kerja guru tersebut. Tunjangan sertifikasi belum diterima tetapi mereka sudah mengajukan kredit untuk beli sepeda motor baru, lemari es, televisi, kapling rumah, dan mobil. Pemerintah sudah berusaha meningkatkan penghasilan guru untuk meningkatkan potensi mereka namun para guru malah sibuk melampiaskan dendam kesumatnya. Dahulu mereka tidak bisa merasakan nikmatnya mengendarai mobil, punya rumah yang bagus, dan sarana modernitas yang baik pula, kini mereka berupaya membeli apa saja yang dahulu tidak bisa terbeli.<br /><br /></div><div align="justify">Tunjangan sertifikasi akhirnya mengalir begitu saja tanpa ada usaha untuk menggunakannya pada kegiatan studi yang terbukti lebih efektif. Para guru terperangkap pada euforia kebebasan seperti halnya gerakan mahasiswa pada awal reformasi. Oleh karena besarnya tunjangan yang mereka peroleh akhirnya mereka menjadi lupa bahwa tunjangan itu adalah sarana untuk mengembangkan potensi keilmuan mereka di antaranya lewat studi lanjut dan pelayanan yang terbaik bagi peserta didik. Harapan pemerintah untuk meningkatkan mutu dan kualitas guru akhirnya pupus sudah ketika praktik di lapangan memperlihatkan bahwa dana yang dialokasikan sangat besar itu tidak mengarah pada tujuan yang dicita-citakan selama ini.<br /><br /></div><div align="justify">Kelima, guru merasa bahwa mereka tidak pantas melanjutkan studi lanjut karena kapasitas kemampuan mereka. Alasan ini cukup mendasar sekali, mengapa? Dahulu para guru yang berasal dari generasi tua mulai mengajar ada yang berijazah SPG, D-2, dan paling tinggi D-3. Ketika mereka sudah S-1 saja mengalami kesulitan untuk lulus, maka mereka berpikir bahwa S-2 pasti akan lebih menyulitkan mereka lagi untuk menyelesaikan masa studinya. Ketakutan mengikuti program reguler studi lanjut menyebabkan mereka akhirnya melakukan jalan pintas memilih program studi lanjut pada perguruan tinggi yang kurang ternama hanya untuk mendapatkan kemudahan mendapatkan gelar dan ijasah saja. Akibatnya, dalam jangka waktu banyak lulusan program S-2 tanpa legalitas ijasah yang jelas.<br /><br /></div><div align="justify">Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal<br /></span><br /></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-60777948941041598922009-05-25T07:42:00.006+07:002009-05-25T11:37:51.121+07:00NASIONALISME IMAJINER*<div align="justify">Nasionalisme mungkin kata yang tak asing lagi bagi para pemuda Indonesia saat ini. Ketidakasingan itu dapat terlihat pada peranan pendidikan sejarah dan pendidikan kewarganegaraan yang diberikan pada para pemuda Indonesia ketika mereka masih berstatus sebagai pelajar di bangku sekolah. Mereka mendapatkan doktrin dan muatan materi, konsep, ataupun teori nasionalisme itu dari tokoh-tokoh seperti Otto Bauer, Ernest Renan, Hans Kohn, dan Lothrop Stoddard dan sebagainya. Namun demikian apa yang sudah didapatkan para pemuda itu ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman nasionalisme pada era globalisasi yang suasananya berbeda pada realitas historis jaman dahulu dulu. Mengapa bisa demikian?<br /><span class="fullpost"><br />Situasi dan kondisi itu bisa dipahami sejauh kita menyadari bahwa model dan materi pembelajaran sejarah maupun PKn kurang melesat memenuhi tuntutan jaman. Jaman berubah namun materi yang diajarkan seakan jalan ditempat. Guru yang mengajar pun rata-rata cukup puas dengan bekal dan bahan mengajar yang seperti itu. Terkadang mereka puas dengan apa yang sudah diberikan dan dipahami selama kuliah di lembaga pencetak guru. Terkadang mereka menganggap bahwa materi itu masih cespleng untuk mengajari anak didiknya dengan sebaik-baiknya.<br /><br /></span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Pada dasarnya mapel sejarah berisi data-data historis tentang apa yang telah diperbuat pemuda bangsa ini pada awal abad ke-20. Materi pergerakan nasional yang digawangi oleh pemuda seperti Dr. Soetomo. Dr. Wahidin Soedirohusodo, Soewardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Tirto Adisoerjo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan sebagainya memulai mengenalkan konsep organisasi dan kebangsaan meskipun dalam tataran dan ruang lingkup yang sangat sempit. Konsep kebangsaan itu makin lama makin <em>massiv</em> ketika perilaku politik kolonial Belanda tidak memberikan ruang bagi para pemuda itu untuk berekspresi sesuai dengan tuntutan kebebasan pada situasi yang tidak seimbang saat itu.<br /><br /></span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Namun demikian, sikap kebangsaan para pemuda itu tidak muncul begitu saja, mereka memiliki rasa kebangsaan itu karena praktik penjajahan yang sangat lama yang telah melahirkan kesengsaraan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemelaratan sebagai bangsa yang terjajah. Adanya perlakuan seperti itu menyebabkan muncul perasaan senasib sepenanggungan dan kehendak bersatu dari segenap komponen bangsa yang berbeda etnis dan bahasanya itu. <br /><br /></span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Bentuk-bentuk perlawanan dari bangsa Indonesia belum mampu menjawab dan menuntaskan penderitaan yang teramat kejam. Perlawanan Diponegoro, Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Teuku Cik Di Tiro, Pattimuran, Hassanudin, dan sebagainya hanya mengoyahkan sedikit kekuasaan Belanda di wilayah-wilayah tertentu. Perlawanan itu umumnya mengalami kegagalan yang disebabkan belum adanya kesepakatan untuk apa mereka melakukan perlawanan fisik dalam perspektif nasional. Perlawanan daerah itu akhirnya pun <em>punah</em> karena belum adanya kesatuan sikap antara pejuang dalam lingkup nasional.<br /><br /></span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Politik etis van Deventer membuka celah bagi para pemuda untuk mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada negeri ini. Para pemuda yang berasal dari ningrat memiliki akses yang terbatas sebetulnya untuk memasuki area pendidikan Kolonial. Namun dengan serba keterbatasan ningrat yang berpikiran maju menyuruh anak-anak mereka untuk memasuki jenjang demi jenjang pendidikan Kolonial setinggi mungkin. Mereka berpikir bahwa dengan pendidikan yang dimilikinya akan menambah bekal dan kemampuan anak mereka mendapatkan posisi di birokrasi kepamongprajaan pemerintah Kolonial Belanda. <br /><br /></span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Ketika anak-anak ningrat menyelesaikan studinya, banyak dari mereka yang justru tidak memasuki wilayah birokrasi sebagai wujud penerapan keilmuan mereka. Mereka justru tertarik untuk berjuang menuntut perubahan yang terpenting bagi masa depan Indonesia. Nasinalisme mereka terbentuk untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang sempat terhina selama berabad-abad. </span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Tuntutan nasionalisme begitu riil dan konkrit disuarakan oleh generasi 1920-an. Perjuangan lewat forum organisasi dan partai begitu nyata kehadiran dan tuntutannya karena ada musuh yang begitu nampak bentuknya untuk disingkirkan keberadaannya dari negeri ini. Musuh itu adalah Belanda lalu Jepang yang datang tahun 1942. <br /><br /></span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Bagaimana dengan situasi sekarang? Bagaimana dengan konsep nasionalisme versi buku mapel sejarah dan PKn itu, apakah materinya sudah bisa memberikan pemahaman pada anak didik pada situasi yang berbeda? </span><span class="fullpost">Pada materi pelajaran sejarah, jelas sekali dibutuhkan upaya memahamkan apa yang sudah menjadi jalinan sejarah itu untuk ditarik garis kesimpulannya dan mencoba membandingkan semangat kepemudaan menanggapi perubahan jaman yang sangat cepat ini. Realitas sejarah dengan kenyataan yang muncul pada masa kini jelas berbeda. Anak muda jaman dahulu memang memiliki kepekaan sosial begitu besar karena tuntutan kondisi yang ada dan musuh politik yang jelas nampak ada. Pada masa sekarang, kita semakin merasa kabur terhadap fenomena kepemudaan yang dilakukan. Pemuda sekarang identik dengan ketidaktahuan akan persoalan yang melanda bangsa. Pandangan seperti ini agaknya diperkuat oleh pembenaran yang dikatakan bapak dan ibu guru yang mengajar di sekolah. Perbedaan sudut pandang yang dilegitimasi oleh buku-buku pelajaran baik mapel sejarah maupun PKn menjadi sesuatu yang dipegang teguh oleh guru ketika memberikan transfer pengetahuan pada anak didiknya. Meskipun tidak semua guru begitu, namun secara umum guru pengajar sejarah dan PKn memiliki pandangan yang sama ketika mengajarkan konsep-konsep keilmuan itu pada anak didiknya yang dianggap tidak mengerti apa-apa. Guru menganggap bahwa konsep nasionalisme yang ditawarkan melalui buku-buku paket itu statusnya sudah final dan sudah tidak bisa dibantah lagi. Artinya guru menganggap bahwa melalui bukti dan fakta sejarah yang terkait dengan konsep nasionalisme itu sudah teruji situasi dan waktu. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan pada anak didik, meskipun anak didik sendiri yang kritis sudah merasa jenuh dan bosan.<br /><br /></span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Namun demikian, ada secercah harapan ketika kita membuka buku pelajaran PKn kelas X di mana pada halaman awal anak didik sudah dibekali beberapa konsep nasionalisme. Dalam pembahasan selanjutnya buku itu kita dihadapkan pada persoalan konkrit yang begitu besar seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi isyu besar untuk dipecahkan berdasarkan konsep nasionalisme tersebut. Bagi guru yang kolot dan konservatif mungkin persoalan nasionalisme tidak terkait dengan KKN bangsa ini yang akut. Nasionalisme memang berbicara tentang kebangsaan. Nasionalisme terlahir karena penderitaan kebangsaan dan untuk itu ada kesepakatan antar elemen-elemen yang terpinggirkan itu untuk menyatu dan berkehendak. Oleh karena itu sangat cocok sebetulnya jika persoalan bangsa yang begitu bobrok ini turut diperbincangkan melalui sudut pandang kecintaan kita terhadap negeri yang bernama Indonesia ini. Jika KKN itu jelas meniadakan dan menghancurkan tatanan normatif yang menjadi sokoguru dan penyokong NKRI maka sudah pasti sebagai generasi muda kita turut berkecimpung dan bergerak untuk menghilangkan unsur-unsur KKN itu dengan cara-cara elegan dan bersahaja juga.<br /><br /></span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Persoalan nasionalisme juga harus diperlebar wilayah pemahamannya. Nasionalisme bukan barang mati untuk ditafsirkan secara tunggal semata. Guru sejarah harusnya berada di garda depan untuk turut memberikan pemahaman itu pada generasi yang sedang tumbuh ini. Nasionalisme tidak kaku hanya berlaku ketika bangsa kita terjajah dan dieksploitasi oleh pihak asing pada masa lalu, namun nasionalisme sangat pantas untuk mempersoalkan pula situasi ekonomi yang tidak adil pada situasi terkini. Bagaimana guru membahas persoalan ekonomi bangsa dan ikon-ikon penting yang menjadi simbol-simbol nasionalisme baru ini yang perlu disosialisasikan dan dimunculkan pada setiap pembelajaran di kelas. Agaknya guru sejarah dan PKn perlu membaca ulang konsep nasionalisme imajinernya Bennedict Anderson agar mampu memberkan rambu-rambu yang sesuai dengan realitas Indonesia yang sudah berubah.</span></div><div align="justify"><span class="fullpost"></span></div><div align="justify"><span class="fullpost">*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. </span></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-47220216620461984282009-05-20T08:56:00.004+07:002009-05-20T11:40:04.660+07:00KEBANGKITAN NASIONAL: SIMBOLISME SEMATA?*<div align="justify">Hari ini seratus satu tahun kebangkitan nasional, banyak sudah segala sesuatu yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun segenap rakyat Indonesia untuk mewujudkan makna dari sebuah kebangkitan bangsa. Sejak awal kebangkitan nasional disuarakan oleh Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 1908 bangsa ini sudah mulai bersepakat tentang penting sebuah kesadaran memiliki meskipun waktu itu Boedi Oetomo sejatinya adalah organisasi yang lingkup kegiatannya bergerak di bidang sosial budaya.<br /><br /></div><div class="'fullpost" align="justify">Boedi Oetomo mengawali bangsa Indonesia ini dengan semangat pemuda akan pentingnya sebuah organisasi. Ia lahir karena kebuntuan antara kebijakan pemerintah Kolonial dengan kehendak rakyat tanah jajahan yang tak pernah mendapatkan ruang apresiasi yang adil dan bijak. Pemerintah Kolonial tentu saja menjadikan situasi negeri yang saat itu belum berani mengangkat identitas keindonesiaan membatasi pengakuan hak-hak politik dan kebebasan berbicara atas nama apa saja.<br /><br />Lalu, dalam rentang waktu yang relatif singkat bermuncullah organisasi massa yang berbasis kerakyatan, nasionalisme, ataupun keagamaan yang berlomba-lomba menghiasi wajah sejarah Indonesia. Berdirilah Syarekat Dagang Islam, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, PKI, PNI, Parindra, Gerindo, dan lain sebagainya yang menambah dinamika inetelektualitas dan wajah pergerakan nasional. Dengan tampilan organisasi-organisasi itu, mereka lantang dan berani mengotak-ngatik kesombongan Kolonial di Indonesia itu. Semakin lama organisasi-organisasi itu meniupkan angin kebebasan, demokrasi, dan sayup-sayup mulai terdengar semangat kemerdekaan yang bertambah keras dan masif. <br /><br />Situasi kolonial memberikan peluang bagi anak bangsa untuk bersatu dan bangkit melawan ketidakadilan, kesengsaraan, dan kemiskinan yang ditancapkan pemerintah Kolonial Belanda. Rakyat yang menderita terlalu lama akhirnya memiliki kesadaran untuk memulai dan mengorganisasi diri dalam satu wadah yang efektif melawan kekuasaan Kolonial. Mereka menentang segala bentuk ketidakadilan yang tersistematisasi dalam struktur yang tidak imbang. Meskipun lama, akhirnya perjuangan yang diawali oleh Boedi Oetomo dapat membuahkan hasil yang berupa ikrar Sumpah Pemuda dan puncaknya adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.<br /><br />Ketika bangsa kita sudah mencapai apa yang selama ini menjadi isyu pergerakan nasional masa itu, maka yang terjadi adalah bangsa ini mengalami sebuah kebingungan untuk menata kembali isu-isu yang mampu memberi dorongan untuk melakukan kebangkitan kembali. Saat ini tak ada sebuah persoalan yang mampu membangkitkan kembali semangat kebangsaan Indonesia yang justru mengalami antiklimaks pascaproklamasi kemerdekaan. Mengapa bisa terjadi seperti itu?<br /><br />Setiap tahun kita pasti melaksanakan ritual kebangkitan kebangsaan dengan memasang atribut kebangsaan yang sekiranya sesuai dengan tema-tema pembangunan. Upacara diselenggarakan baik di instansi pemerintahan maupun sekolah-sekolah. Pembina upacara pun tidak ketinggalan memberikan pidato pengarahan tentang makna kebangkitan kebangsaan. Guru sejarah atau PKn juga dipaksa untuk menyempatkan materi pergerakan nasional di sela-sela pelajaran yang jauh dari pembahasan itu.<br /><br />Secara normatif dan formal, kita sebagai generasi penerus bangsa ini sudah dianggap memiliki kesadaran bersejarah, berbangsa, dan bernegara yang cukup tinggi. Di mana-mana ornamen kebangkitan bangsa dapat terlihat pada spanduk-spanduk yang dipasang di instansi pemerintah, sekolah, dan sarana publik. Di setiap televisi kita melihat iklan layanan pemerintah yang berkaitan dengan hari kebangkitan ini. Namun ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam sanubari kita: apakah yang dilakukan oleh anak bangsa itu tidak sekedar simbolisme semata atau ritualitas semu yang kosong makna?<br /><br />Mengapa? ada banyak penjelasan yang mungkin bisa kita ungkapkan dalam hal ini. Jelasnya bahwa kekosongan makna terlihat pada apatisme anak muda bangsa ini dalam menelaah isyu-isyu nasional. Kesadaran mereka belum cukup matang untuk menanggapi persoalan-persoalan yang menghinggapi keadaan negeri ini. Setiap peristiwa besar yang menyangkut nasib dan masa depan bangsa ini terlewatkan begitu saja tanpa rasa kepedulian yang kental.<br /><br />Di sisi lain sikap apresiasi mereka terhadap upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengisi masa pembangunan yang indah ini adalah nol besar. Mereka banyak menghamburkan waktu untuk hal-hal yang sifatnya rekreatif. Kapan mereka bisa bangkit kalau keseharian mereka habis untuk memperbincangkan persoalan remeh-temeh percintaan, pacaran, dan gosip artis?<br /><br />Singkatnya, kebangkitan nasional adalah keniscayaan sebuah bangsa untuk menolak dan mengalahkan situasi dan kondisi bangsa yang melemahkan dan merugikan perjalanan mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk itu, bangsa ini harus tetap bangkit agar apa yang sudah digariskan dalam semboyan kebangsaan kita tetap terjaga dengan baik. Jika kita hanya terpaku dan puas dengan ritualitas upacara dan spanduk yang hanya berisi narasi besar saja, maka kita sebetulnya belum bangkit akan kesadaran yang semestinya. Agaknya, kita masih jauh dari cita-cita itu. <br /></div><div class="'fullpost" align="justify"></div><div class="'fullpost" align="justify">Penulis: Muslichin, guru SMA 2 Kendal.</div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-83720361632922679192009-04-12T12:58:00.014+07:002009-05-20T08:52:55.220+07:00KETERPESONAAN PADA RAUT TRADISI<p align="justify"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 129px; height: 93px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYor5DuBrSYIFmCwXw97DJ5u-3iHg-ZBJ48oRPZ7_JH5JGrHI0gB8ktCFvzGcwY8okTFQt3eRYQihbxAeTKaOGhwij8MR87Ievf-k2eiWXOeC7861FtS0LW94-Cj3AyDIn0NrsjBNZS8OB/s320/BALI2.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5323680986802089490" border="0" />Melihat Bali dari dekat, seakan ada di hadapan kita bayang-bayang masa lalu keindonesiaan yang tetap lestari dan terjaga dengan formulasi ritus melalui gerak, pekik, dan bahasa yang apik. Bali menawarkan pesona kelaluan yang mengindah secara alami, sesuai dengan panorama alamnya yang mendukung: sawah, subak, bukit-bukit, terasiring, pura, danau, dan tentu saja pantai-pantai keramatnya. <div class="fullpost"> Orang-orang yang lalu lalang dengan antribut ritual mereka begitu <em>eman</em> kalau ditinggalkan oleh mata yang mengerti. Orang-orang yang berhias, pura yang terbungkus janur kuning, patung yang diselimuti warna hitam dan putih, hiasan bunga-bunga melati yang terselip diantara telinga gadis-gadis Bali yang cantik, kerancakan gamelan Bali yang riang dan lincah, tarian Barong, Kecak dan Pendet yang magis, serta sesaji berupa warna yang ditaruh di setiap perempatan atau pohon-pohon rindang.</p><p align="justify"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 150px; height: 113px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuHuVL6rpyFhge_Z1GOjakB0NPOf5jiKzib24dLqDxsmaaZti9LgoMR25toqctZp5AiXchGxKoZsL_7SnJegnKxrueNanmUI8fqzRlkfG1Qi_5HGUpQkdHyM-UBUdA0SR7JJK8DS6i22O1/s320/BALI10.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5323682063715969074" border="0" />Tawaran keindahan tidak berhenti begitu saja. Tawa dan ramah mereka yang terlukis lewat ekspresi dan tatapan mata menyuguhkan bahwaa Bali adalah bangunan seni masa lalu yang tetap ada untuk disyukuri pada masa kini. Bali bukan semata museum budaya dan tradisi kelampauan kita saja, namun ia adalah masterpiece dari seniman dan Brahmana yang mewujud melalui ragam tradisi dan budayanya yang tetap terjaga dengan baik.</p><p align="justify">Keindahan adalah ibadah. Dari kekaguman itu muncul rasa syukur bahwa Bali mengada untuk kita. Keindahan itu menjadikan kita sadar bahwa keberagaman dan kultur harus memunculkan apresiasi yang memuncak lewat puji dan keimanan yang semakin mendalam, jauh melalui lubuk, dan bersama menyublim untuk menjalin ikatan berdasarkan keperbedaan yang dipercontohkan pada Bali. </p><p align="justify"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 130px; height: 103px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh54cKPdwZgQdRyqH5P3-WQmWFC7KO6af6D4MjUx7yLniSoxQeGWu5C1N-f2aM7pAXTBcb3Uz30wRuu9qNbXSN5JpxO-Fm4bpm0BA5uCApFhPSTGTnnoduOcQNKk0oq70ollCSPMRF4Fqpx/s320/BALI6.jpeg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5323680995166241378" border="0" />Bali sebagai realitas kultural yang harus dikunjungi oleh sebagian besar wisatawan dari Jawa memberikan kemungkinan untuk itu. Ia hadir sebagai pengingat pada generasi Indonesia yang sedang tumbuh, bahwa Indonesia ada karena tradisi dan nilai-nilai kultur masa lalu yang tetap harus menyala, tumbuh, dan terjaga baik. Tanpa itu, mungkin kita bukan lagi pantasi untuk mengaku sebagai orang Indonesia. (3 Foto diambil dari beberapa sumber di internet).</div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-4927293183825130702009-04-12T12:45:00.005+07:002009-04-13T11:27:39.426+07:00LINTASAN KESILAMAN DALAM POTRET*<p align="justify">Masa lalu kadang memancarkan nuansa peneduh bagi manusia kini yang menghadapi masalah yang mengakarabinya. Manusia menoleh dan menengok ke masa lalu untuk memperoleh jawaban atas problematika hidup yang ia alami. Oleh karena itu, betapa beruntungnya manusia ketika ia memiliki lintasan masa lalu yang panjang dan mendalam pada negeri dan tanah tempat ia hidup hidup dan tersenyum selama ini. Sebaliknya betapa sedih dan muramnya manusia ketika masa lalu tak pernah hadir secara lengkap dan utuh sebagai akar manusia hidup pada masa kini.</p><p align="justify">Demikian pula wajah negeri kita: Indonesia. Indonesia ada karena memiliki akar lintasan kesilaman yang panjang. Negeri Indonesia lahir karena perjumpaan antara lokalitas yang lentur dengan isme-isme dari luar yang berwajah santun, lunak, kejam, atau keras. Semua datang menghampiri dan menyapa dalam wujud perdagangan, kulak, dan barter hingga salah satu dari mereka berkeinginan untuk menaklukkan nusantara karena silau dengan rempah-rempah. </p><p align="justify">Maka, kita mengakrabi VOC, EIC, dan orang-orang Portugis maupun Spanyol dengan bendera dagang mereka. Bertubi-tubi mereka hadir dalam senyum ramah untuk mendapatkan monopoli atas rempah-rempah dan produk nonmigas yang kita kaya untuk itu. Hongi, devide et impera, cultuure procenten menjadi alat penindas yang lunak menutupi niatan kejam mereka. Negeri kita terpuruk tanpa pemersatu layaknya jaman emas Sriwijaya dan Majapahit. </p><p align="justify">Negeri ini yang pernah jaya mengarungi samudera lewat sahabat bugis akhirnya terperosok dalam ketidakberdayaan akibat tidak memahami apa sejatinya nusantara itu. Saat itu kerajaan tradisional masih berwatak feodal agraris. Tak satu pun kerajaan yang mampu memperkuat sektor maritim sebagai satu kekuatan utama untuk pertahanan bangsa. Apa yang dikatakan Pramudya Ananta Toer sangat benar, bahwa bangsa ini telah terjadi arus balik. Kita yang pernah jaya di lautan akhirnya kandas dan menerima Barat dengan budayanya menggantikan posisi priyayi-priyayi kita yang ternina-bobokan lewat gaji-gaji kolonial mereka. </p><p align="justify">Belandalah yang dengan sabar meladeni negeri ini dengan keramahtamahan yang mendua dan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menyuburkan kemiskinan masyarakat Indonesia. Wertheim, D.H. Burger, maupun Boeke mengatakan hal itu. Dan kita tidak bisa berkata apapun. Bagi rakyat negeri ini, tak apalah mereka dijajah Belanda, <em>wong</em> sebelumnya para priyayi mereka menjajah lebih dari apa yang telah dilakukan orang Belanda. Kita melalui masa-masa di mana Belanda menerapkan rodi, diganti sebentar dengan sewa tanah, dilanjutkan lagi dengan tanam paksa, ekonomi liberal, dan politik etis. </p><p align="justify">Lewat edukasi sebagai pilar politik etis, kita disadarkan untuk menghormati dan merefleksikan kembali apa sebenarnya kolonialisme dan imperialisme yang saat itu Belanda mulai kehilangan pamor-pamor kekuatan politik dan ekonominya karena persoalan perang dunia I dan II yang membahayakan situasi negerinya di Eropa. Kita bangkit untuk mengorganisasi kekuatan rakyat melalui partai-partai politik. Budi Oetomo memang lahir mengawali keberanian berorganisasi, tapi ia bukanlah organ terbuka yang benar-benar membawa semangat perjuangan. Untunglah, Indische Partij bangkit untuk menyadarkan pemuda saat itu tentang pentingnya negeri ini serta peluang yang memungkinkan bagi keterlibatan rakyat Indonesia untuk membentuk dan mencintai negeri sendiri tanpa tangan-tangan kejam bangsa lain. Puncaknya adalah sumpah pemuda yang dengan kekuatan politik seadanya berani melawan arus kuat yang terjadi saat itu.</p><p align="justify">Yah, negeri ini tercipta lewat keberanian pemuda-pemuda yang secara sengaja mengenyam pendidikan barat. Mereka terlahir sebagai intelektual yang sadar akan nasib bangsa. Mereka dididik lewat sistem pengajaran Belanda dan akhirnya menjelma menjadi kekuatan penting untuk melawan Belanda sendiri. </p><p align="justify">Tujuh belas tahun lewat dari peristiwa besar itu, negeri ini memiliki keberanian untuk memerdekakan dirinya. Jepang yang sempat mampir tidak mempunyai kekuatan untuk menciptakan status quo. Sekutu dan Nica datang terlambat. Soekarno dan Hatta yang didukung pemuda Indonesia berhasil mengumumkan tentang harkat dan martabat bangsa Indonesia pada dunia luar. Meski berjalan alot, akhirnya dunia luar mengakui lewat konferensi demi konferensi yang meletihkan dan menghabiskan berdarah-darah pemuda yang kurang terdidik untuk maju di depan mocong senapan Nica dan sekutu. </p><p align="justify">Sejarah mewartakan pada kita bagaimana laju republik yang bernama Indonesia terhuyung-huyung untuk mencapai cita-cita seperti yang digariskan dalam preambule UUD 1945. Masa liberalisme yang tidak jelas, masa demokrasi terpimpin yang akrab dengan konsep Nasakomnya, masa Orde Baru yang awalnya membawa semangat pembangunan dan pernah menumbuhkan perekonomian hingga 8%, serta akhirnya masa sekarang: reformasi.</p><p align="justify">Lewat sejarah, kita bercermin bagaimana dunia politik mewarnai carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara. Masa reformasi bukanalah suatu masa yang terpisah dengan realitas sebelumnya. Hendaknya, generasi masa ini melihat dengan jujur pada air kesilaman yang mengalir yang membentuk spektrum yang luas tentang apa yang ada dan mengada pada kini dan esok. </p><p align="justify">Lalu, apapun yang sudah menjadi lintasan historis negeri ini, buatlah itu sebagai wadah reflektif kebanggaan dan jati diri Indonesia. Dengan itu, mungkin kita lebih bisa membuka diri dan merekah binar senyum kita melihat betapa berkecamuknya beban yang menghimpit negeri ini. </p><p align="justify">*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.</p>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-91279061014179576412009-04-07T09:19:00.000+07:002009-04-07T10:05:09.041+07:00MENGEJA JAMAN: PEMILU BAGI GURU*<p align="justify">Dua hari lagi, pesta perhelatan akbar di mulai. Masyarakat yang sudah memenuhi kriteria dari sisi usia akan bersama-sama menyumbangkan suaranya demi suatu perubahan. Pemilu legislatif menjadi ajang dan katup pengharapan bagi masyarakat untuk memberikan apa yang terbaik bagi negeri ini. Meskipun hanya satu suara dari setiap individu, itu sudah cukup untuk memberikan andil yang optimal bagi jalannya negeri ini lima tahun mendatang.</p><p align="justify">Beberapa warna ideologi partai menawarkan pukau dan daya tarik tersendiri bagi para pemilih. Apakah mereka tertarik akan warna dan ideologi partai tertentu itu menjadi pilihan bagi setiap pemilih untuk menggunakannya baik secara sadar maupun paksaan. Kita tahu, iklan-iklan politik menggantikan program dan platform kepartaiann. Iklan mempunyai bahasa gambar dan kata yang menghipnotis orang-orang untuk merasa dan tidak lagi berpikir jernih mengenai siapa dan apa yang akan dipilihnya. </p><p align="justify">Sisi emosional dan solidaritas primordial cepat akan lambat menjadi acuan bagi partai untuk menciptakan pilihan yang terbatas bagi para pemilih. Orang-orang masih terjebak pada gejala primordialisme dan politik aliran. Barangkali, mereka menyukai ketokohan yang menjulang bertaburan cahaya bintang, namun itu tetap tidak mengubah pendirian orang-orang untuk memilih berdasarkan alasan-alasan ideologi. </p><p align="justify">Bagi orang-orang yang berlatar belakang pendidikan yang tinggi dengan titel yang panjang disandang, politik bukan hanya obralan janji yang memang tak pernah dibuktikan realitasnya. Politik adalah secuil permainan yang tak dibutuhkan prosesnya seperti apa yang penting menghasilkan sosok-sosok yang pemenang yang pantas dihormati karena dipilih oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Mereka menjadi pragmatis dan apatis karena proses pergulatan intelektual dengan realitas politik dari masa ke masa.</p><p align="justify">Lalu, bagaimana dengan sosok guru? Bagaimana guru memaknai persoalan politik melalui perkelahian partai-partai dalam pemilu dua hari mendatang? Ternyata menarik sekali apa yang menjadi pilihan guru dalam menyuarakan aspirasinya. Rata-rata guru menganggap bahwa perubahan itu perlu dilakukan. Mereka tidak juga betah dengan kemapanan yang sunyi dan bahkan pengap dengan slogan dan bahasa meta narasi yang tidak berkaitan dengan dunia yang akrab dengan hari-hari mereka. Mereka berharap bahwa dengan pemilu 2009 akan banyak perubahan yang menyangkut posisi kedirian mereka. Mereka ingin parpol membawa dan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan payung hukum bagi undang-undang sertifikasi guru dan dosen. </p><p align="justify">Namun ada juga guru yang berpandangan berbeda. Mereka ini ingin agar pemilu menjadi ajang pertempuran ideologi yang pada akhirnya dimenangkan oleh ideologi kelompoknya. Guru yang tertarik ideologi keislaman ingin agar produk hukum ketatanegaraan diselimuti oleh nafas keislaman. Mereka menganggap bahwa sudah saatnya Islam menjadi sesuatu yang formal untuk semua aturan kelembagaan dan sosial masyarakat Indonesia. Mereka cenderung menolak pluralisme. </p><p align="justify">Di sisi lain, ada yang lebih condong beraliran nasionalisme. Mereka ingin agar republik terjaga integrasinya melalui semangat yang dimunculkan dari parpol yang pluralistik dan multikultur. Ada yang condong memilih warna ideologi kuning, ada yang merah, dan ada yang biru. Ketiganya menawarkan hal yang sama. Dan ketiganya memberikan harga mati bahwa republik harus mengada melalui semangat multikultur yang tak boleh luntur.</p><p align="justify">Terakhir, sebagian guru masih terlihat kurang bergairah untuk menatap hari esok. Mereka tetap meyakini bahwa republik akan tetap sama dengan hari-hari kemarin. Tak ada lagi daun yang berguguran, tak ada lagi hujan, dan tak ada lagi kemarau yang disebabkan oleh kekuatan besar yang bernama pemilu. Daun, hujan, dan kemarau akan muncul silih berganti karena alam yang memintanya. Pemilu tidak akan merubah apapun. Orang-orang tetap masih banyak yang menganggur, BBM senantiasa mengalami kenaikan harga, biaya sekolah tinggi, sembako mahal, dan tunjangan guru tidak turun-turun. Mereka ini adalah kelompok yang pragmatis-realistis. Mereka inilah yang melihat lubang hitam yang menganga begitu besar yang siap menenggelamkan republik tercinta jika orang-orangnya (para guru) masih ternina-bobokan dengan hiruk-pikuk ideologi yang absurd dengan kader-kader partai yang penuh kamuflase!</p><p align="justify">Kendal, 7 April 2009</p><p align="justify">*Penulis: Muslichin, guru sejarah SMA 2 Kendal.</p><p> </p>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-13131788944759238942009-03-04T16:40:00.000+07:002009-03-04T16:47:16.313+07:00KEBENARAN FAKTA SEJARAH DALAM MATERI PERGERAKAN NASIONAL BUKU PELAJARAN KELAS 5 SEKOLAH DASAR*<div align="justify"><br /><strong>A. PENDAHULUAN</strong><br />Buku pelajaran IPS Sekolah Dasar yang memuat materi pelajaran sejarah umumnya menyimpan materi yang sifat pembahasannya masih ringan dan umum. Buku-buku pelajaran IPS tersebut tidak banyak memberikan luapan materi yang mendalam mengenai pokok-pokok masalah yang dibahasnya. Pemberian materi seperti itu tentunya tidak lepas dari persoalan usia dan kematangan berpikir anak sekolah dasar yang belum menyamai anak SMP, apalagi SMA. Anak-anak sekolah dasar ini diberi materi yang sifatnya masih hafalan. Nampaknya hal ini sesuai dengan tingkatan kognitif menurut klasifikasi Bloem. </div><div align="justify"><br />Namun demikian jangan sampai materi pelajaran sejarah yang ditulis dalam buku-buku pelajaran tersebut menyimpang dari fakta sejarah yang sebenarnya. Pembahasan materi sejarah masa pergerakan Indonesia di kelas 5 SD seringkali ada beberapa materi yang tidak sesuai dengan buku referensi dan babonnya. Hal ini sengaja atau tidak saya sendiri tidak tahu, yang jelas buku itu sudah beredar di pasaran, dan menjadi tanggung jawab seorang guru untuk memonitor perkem-bangannya. </div><div align="justify"><br />Pada dasarnya penulisan sejarah dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah dasar sampai menengah merujuk pada buku sumber dan buku induk yang sudah dikenali. Ketentuan dan kepastian dari buku pelajaran itu menjadi sesuatu yang mendasar manakala paparan faktanya mendekati kebenaran buku induk atau buku aslinya. Akan tetapi pada kenyataannya ada beberapa buku pelajaran yang dikarenakan memiliki alasan dan kepentingan tertentu pula ketika harus disampaikan pada anak didik kebenaran-kebenaran fakta yang tersaji dalam buku pelajaran itu malah dinomorduakan.</div><div align="justify"><br />Pada dasarnya untuk memudahkan penyampaian informasi buku induk kepada anak didik dibutuhkan perantara yag berupa buku teks atau buku pelajaran yang memiliki cakupan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami peserta didik yang memiliki keterbatasan cakrawala dan informasi. Adakalanya peserta didik dijadikan alasan utama mengapa sebuah buku pelajaran perlu dibuat. Dalam pengertian ini, jangan sampai bukiu pelajaran malah mejadi beban yang sulit dimengerti pada anak didik. Anak didik sedapat mungkin harus dapat mengetahui informasi sejarah dari buku pelajaran lebih dahulu. </div><div align="justify"><br />Sekali lagi, kenyataan di lapangan berbicara lain. Umumnya penulis buku pelajaran terkadang lupa kalau memiliki tanggung jawab utama untuk memaparkan fakta yang dikeluarkannya. Fakta sejarah yang muncul pada akhirnya harus menempati posisi kedua dibandingkan dengan sisi moralitas dan etika yang ingin ditonjokkannya. Penulis buku merasa dibatasi oleh kewajibannya untuk menulis sesuai dengan kerangka normatif yang ada. Jika kita melihat buku-buku produk kurikulum 1994 cenderung hati-hati untuk memaparkan suatu fakta sejarah. Mereka lebih menuruti kemampuan pemerintah daripada informasi yang sebenarnya sampai pada peserta didik.</div><div align="justify"><br />Pemberian materi PSPB di bangku sekolah dasar sampai SMA pada masa Orde Baru setidaknya mencitrakan hal tersebut. Pemerintah memberikan muatan versi sejarah yang sesuai dengan kepentingan pemerintah saat itu. Sejarah Indonesia modern yang ditampilkan sarat muatan politis dan ideologis. Materi yang disampaikan ibaratnya memberi penguatan ideologis bagi ide-ide pembangunan yang pada saat Orde Baru berkuasa dicanangkan dengan gencar. Pemerintah Orde Baru mempunyai kewajiban untuk mengarahkan kesadaran peserta didik terhadap wawasan sejarah yang dimilliki dalam pikiran dan hati mereka. Sejarah menjadi satu mata pelajaran yang dianggap sangat efektif sebagai sarana indoktrinasi. </div><div align="justify"><br />Oleh karena itu, dari sinilah tulisan ini mulai berpijak. Kenyataan sejarah dalam buku teks pelajaran SD ternyata memiliki banyak kandungan fakta yang kabur. Pembahasan persoalan sejarah pergerakan Nasional tidaklah murni dan bebas dari kepentingan tertentu. Dalam beberapa buku pelajaran ada upaya untuk menenggalamkan apa yang terjadi pada organisasi-organisai pergerakan saat itu, terutama organisasi yang dianggap sarat dengan ideologi kiri. <br /> Ketika kita menyadari dari sisi etika dan moralitas mungkin hal seperti ini bisa dimaafkan dan ditoleransi, namun jika akhirnya menenggalamkan kebenaran fakta itu sendiri apalah artinya seorang anak harus belajar sejarah.</div><div align="justify"><br />Dengan demikian saya cukup sadar diri untuk mencoba memberikan ulasan yang cukup obyektif terhadap kajian kebenaran buku pelajaran kelas 5 Sekolah Dasar. Saya tidak berupaya untuk meyalahkan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam konteks ini. Apa yang saya tulis di sini sejujurnya adalah rasa keprihatinan saya ketika membaca kebenaran fakta sejarah terhempas hanya karena etika dan sopan santun sejarah yang dibuat oleh penguasa Orde Baru yang ironisnya masih tetap berlangsung di era reformasi ini. Saya sebetulnya ikut merasakan kepedihan manakala tidak ada orang lain yang kompeten dalam hal ini berbicara atas nama kebenaran sejarah. Memang benar kata orang, menegakkan pedang sejarah itu adalah pekerjaan yang berat dan berbahaya. Tidak setiap orang mampu dan berani melakukan hal itu, setidaknya sampai hari ini. <br /><br /><strong>B. PEMBAHASAN</strong><br />Dalam buku karangan Datta Wardana bersama dua temannya: Yusmar basri dan Amrin Imran yang berjudul Ilmu Pengetahuan Sosial 3 untuk Sekolah Dasar Kelas 5 penulis menemukan kebenaran sejarah yang agak kabur. Buku yang ditulis tahun 1997 jelas sekali berisi informasi perihal Sarekat Islam yang kurang jelas. Muatan materinya sangat sedikit. Materi yang sedikit itu jelas kurang mampu mengajak peserta didik untuk memahami latar sosial terjadinya peristiwa.</div><div align="justify"><br />Di samping itu ada fakta yang sangat kental muatan ideologisnya. Salah satu informasi yang masih menjadi bagian pembahasan Sarekat Islam dituliskan sebagai berikut:<br />“Sekitar tahun 1920-an ada orang-orang yang berpaham komunis menjadi anggota SI. Diantaranya ada yang menjadi pemimpin cabang SI. Pada waktu itu seseorang boleh saja menjadi anggota beberapa organisasi. Orang-orang yang berpaham komunis itu dikeluarkan dari SI. Mereka mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).</div><div align="justify"><br />Kegiatan PKI merugikan Pergerkan Nasional. Pada akhir tahun 1926 dan awal 1927 mereka memberontak terhadap pemerintah. Pemberontakan itu tidak disiapkan dengan matang dan dengan mudah ditumpas pemerintah. Ribuan orang ditangkap dan dipenjarakan. Ada pula yang dibuang ke Digul di Irian. Sebagian besar diantaranya bukan orang komunis, mereka menjadi korban ambisi PKI.</div><div align="justify"><br />"PKI dibubarkan oleh pemerintah Belanda. Belanda menuduh Pergerakan Nasional sebagai gerakan komunis. Beberapa waktu lamanya Pergerakan Nasional lumpuh.” <br /> <br />Melihat konteks fakta dalam kalimat tersebut jelas sekali bahwa ada upaya untuk mendeskreditkan peran PKI sebagai organisasi Pergerakan nasional yang cukup punya nyali dan karakter radikal. Pada saat itu sebenarnya PKI merupakan organisasi pergerakan yang bercorak modern dan berideologi marxisme. Artinya banyak sekali tokoh-tokoh nasional pergerakan sangat hormat pada pejuang dan aggota PKI karena keberanian dalam bentuk nyata mengatakan ‘merdeka’ bagi Indonesia. Banyak tokoh pergerakan Indonesia yang kompromi dengan kebijakan Belanda, PKI malah mati-matian menentang hegemoni kekuasaan Hindia Belanda yang tidak berpihak pada rakyat Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Semaun, Darsono, Alimin, sampai Muso yang masih sangat muda mejadi bagian hingar bingar situasi perpolitikan saat itu. PKI sebagai wadah organisasi pergerakan berani melakukan tindakan melawan Belanda secara nyata. Sebelum peristiwa perlawanannya terhadap Belanda tahun 1926, sebelumnya sudah ada usaha protes melalui pemogokan buruh pabrik gula, kereta api, rokok dan sebagainya yang terjadi secara intensif. </div><div align="justify"><br />Buku ini juga mengulas secara ringan saja kegagalan PKI yang disebabkan oleh kekurangmatangan sumber daya manusia dalam mengatur strategi untuk menjatuhkan Belanda. Di sini kita tidak berbicara tentang ideologi. Apa yang ditulis oleh penulis buku pelajaran ini sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. </div><div align="justify"><br />Wardana dan kawan-kawan hanya melihat sepak terjang dan kesalahan PKI pada masa Republik Indonesia sudah berdiri di negeri yang sah. Kegagalan pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta menjadi satu kerangka metode untuk menjustifikasi dan menghakimi peran PKI di masa lalu. Hal ini jelas tidak fair dan jauh dari obyektif. Wardana bahkan ikut-ikutan memberikan peristilahan yang sebetulnya keliru dalam memandang perlawanan PKI tahun 1926 ini. Harusnya ia tidak melekatkan kata “Pemberontakan” dalam konteks perlawanan yang dilakukan PKI saat itu.</div><div align="justify"><br />Seharusnya Wardana mampu melihat di mana setting perlawan PKI dilakukan. Apakah PKI melakukan perlawanan terhadap negara Kesatuan RI ataukah justru Indonesia sendiri masih dijajah Belanda. Di sini terjadi apa yang para ahli menyebutnya sebagai anakronisme. Apa itu anakronisme? Wardana salah dalam memilah waktu masa lalu sebagai satu kerangka analisa terhadap masalah yang dikupas. Analoginya: Apakah pemberontakan PETA adalah sebagai suatu kesalahan? Apakah pemberontakan Cina melawan kekuasaan VOC juga sebagai kesalahan? Apakah pemberontakan Diponegoro dan pahlawan-pahlawan lainnya di tanah air kita ini juga sebagai kesalahan?</div><div align="justify"><br />Ada lagi usaha Wardana untuk melemahkan peran PKI dalam percaturan politik pergerakan saat itu. Ketika PKI dinyatakan gagal maka Wardana menulis bahwa kesalahan itu terletak pada rendahnya sumber daya manusia yang tidak mampu mengatur pola strategi pemberontakan. Di samping itu ia menambahkan bahwa setelah perlawanan itu dinyatakan gagal, maka mengakibatkan laju jalannya roda pergerakan nasional terhambat dalam jangka waktu yang lama.</div><div align="justify"><br />Hal ini jelas terjadi miskonsepsi dalam melihat sejarah Indonesia. Wardana tidak mengetahui fakta yang sebenarnya bahwa organisasi pergerakan itu tetap berjalan seperti biasanya. Ada tidaknya intensitas kontrol ketat atas jalannya roda organisasi pergerakan saat itu bukan tergantung dari perbuatan PKI semata. Artinya organisasi yang ada saat itu sudah bersama-sama memiliki kesadaran nasionalisme yang cukup tinggi. </div><div align="justify"><br />Upaya pengkambinghitaman jelas nampak di sini. Seorang penulis sejarah sebenarnya tahu apa yang ditulisannya itu menyimpang jauh apa tidak dari sumber resmi sejarah. Ketika penyimpangan itu sudah dilegitimasi sedemikian rupa oleh sistem yang mendukungnya, maka jelas sekali sejarah menjadi sebuah pelajaran yang kehilangan relevansi dan fungsinya bagi manusia generasi sekarang. Mempelajari sejarah berarti memperkuat penipuan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya yang masih belia dan tidak tahu apa-apa.</div><div align="justify"><br />Dalam buku selanjutnya akan kita kaji lagi bagaimana buku pelajaran tidak selamanya steril dari kepentingan politik tertentu. Buku kedua ini ditulis oleh Saidihardjo. Judul bukunya adalah Cakrawala Pengetahuan Sosial untuk Kelas 5 SD/MI terbiitan Tiga Serangkai tahun 2004. Dalam buku ini agaknya penulis buku tidak menyelipkan fakta tentang organisasi pergerakan tokoh pergerakan yang berhaluan kiri. Agaknya Saidihardjo selaku penulis buku tidak mau beresiko menerima tikaman sosial dari masyarakat atas tulisan yang dianggap berbau kiri. Padahal berdasarkan Kompetensi dasar ke-6 jelas sekali tertuliskan “Kemampuan memahami perjuangan para tokoh dalam melawan penjajah dan tokoh pergerakan nasional di Indonesia.” Sedangkan pada hasil belajarnya pada indikator ke-3 disebutkan “Mengidentifikasi tokoh-tokoh penting pergerakan nasional dan tokoh-tokoh pejuang setempat.”</div><div align="justify"><br />Dari kompetensi dasar dan hasil belajar di atas jelas sekali bahwa wewenang untuk menambahkan fakta sejarah tergantung dari penulis sendiri. Namun sayangnya, penulis hanya mengisikan tokoh-tokoh pergerakan dan organisasi yang bersifat umum seperti Budi Utomo dan Indishe Partij dalam sajian yang sudah baku dan sederhana. Andaikan penulis berani menyajikan sejarah SI saja tentu saja akan menambah menarik pembahasan dan sajian fakta buku pelajaran. </div><div align="justify"><br />Kurikulum 2004 di atas ini memang masih menempatkan bahan ajar dari buku pelajaran secara mandiri. Berbeda dengan buku dalam kurikulum 2006 atau KTSP ini penulis buku dan guru apalagi, mempunyai wewenang untuk mengembangkan, menambah, dan mengurangi mteri mana yang cocok dan sesuai dengan setting sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam buku ketiga ini dapat kita lihat bagaimana dan seperti apa buku pelajaran dapat diposisikan semestinya. Buku karya Nana Supriatna setidaknya memberikan ilustrasi tersebut. Buku yang berjudul Pengetahuan Sosial Kenali Lingkungan Sosialmu terbitan CV Citra Praya Bandung tahun 2004 ini membuat bab khusus tentang masa pergerakan nasional. Nana Supriatna memasukan masa pergerakan pada Bab 6 yang berjudul Perjuangan Melawan Penjajah dan Pergerakan Nasional Indonesia (h. 65). Supriatna memfokuskan perhatian pada tokoh-tokoh penting yang sudah dikenal secara umum. Nana tidak memasukkan tokoh-tokoh (antagonis) yang masih kontroversi. Agaknya etika dan nilai-nilai yang diharapkan pada pemunculan tokoh-tokoh yang sudah popular didorong oleh usaha Nana untuk memperkenalkan peristiwa masa lalu sebagai bagian dari masa lalu bangsa ini sendiri secara jujur. Nana juga banyak memasukkan tokoh-tokoh perempuan sebagai manifestasi semangat ideologi gender yang berkembang saat ini. Nampaknya peristiwa masa lalu yang identik dengan organisasi yang berhaluan kiri masih mejadi barang haram untuk dikaji secara ilmiah. Apalagi oleh murid sekolah dasar.<br /><br /><br />C. PENUTUP<br />Menyadarkan arti dan makna kebenaran akan fakta sejarah ternyata masih jauh panggang dari api. Kebenaran sejarah yang seakan mudah dan gampang itu pada kenyataannya sulit diterapkan. Tatanan nilai moralitas, ideologis, serta kepentingan lainnya ikut membawa arah kebenaran fakta sejarah semakin menjauh dari harapan bersama. Ketiga buku tersebut lahir pada waktu yang berbeda. Namun tiga-tiganya belum bisa membawa kebenaran sejarah pada titik fakta yang sebenarnya. Peristiwa masa lalu yang pernah lahir sebagai pondasi yang memperkuat keberadaan bangsa ini seakan tidak semuanya diikhlaskan untuk diketahui dan dimaknai dengan kematangan berpikir dan emosi yang empatif. Ketika sejarah juga penuh dengan cerita duka dan memunculkan segolongan manusia yang tidak dikehendaki oleh manusia masa kini, maka pupuslah sejarah masa itu. Periode dan organisasi terlarang seakan terkubur dengan segala dosa-dosa politiknya yang dilakukan oleh generasi penerusnya di awal republik ini berdiri. Jika kita menyalahkan masa lalu begitu saja tanpa melihat setting sosial dan budaya sebenarnya sama saja kita berlaku kejam terhadap anak bangsa. Mereka juga berhak tahu untuk apa buku sejarah itu diciptakan dan untuk apa kebenaran fakta dipertahankan. <br /><br /></div><div align="justify"></div><div align="justify"><strong>D. DAFTAR PUSTAKA<br /><br /></strong>Supriatna, Nana. 2004. <em>Pengetahuan Sosial. Kenali Lingkungan Sosialmu</em>. Bandung: C.V. Citra Praya.<br /><br />Saidihardjo. 2004. <em>Cakrawala Pengetahuan Sosial untuk Kelas 5B</em>. Surakarta: Tiga Serangkai.<br /><br />Wardana, Datta, Basri, Yusmar, dan Imran, Amrin. 1997.<em> Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah dasar Kelas 5</em>. Jakarta: DEPDIKBUD.<br /><br />Joened, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. 1992. <em>Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV</em>. Jakarta: Balai Pustaka.<br /></div><div align="justify"></div><div align="justify"><br />*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal<br /><br /><br /></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-72589461864049805582009-03-04T15:21:00.001+07:002009-03-04T15:41:00.365+07:00R. Boediono Gubernur Jawa Tengah 1949-1954: Suatu Tinjauan Kepemimpinan*<p></p><p align="justify"><strong>A. Pendahuluan<br />1. Latar Belakang dan Permasalahan</strong><br />R. Boediono yang pernahh menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah masa bakti 1949-1954 adalah putra kelahiran Bojonegoro. Ia adalah putra dari Raden Ario Adipati Soemantri Koesoemoadinegoro, seorang bupati Bojonegoro dalam periode 1915-1936 dan ibunya bernama Sutji.</p><p align="justify"><br />R. Boediono dilahirkan dari keluarga bangsawan yang menganut agama Islam. Adapun susunan putera-puteri R.A.A. Soemantri Koesoemoadinegoro adalah sebagai berikut:<br />1. R. M. Boediono<br />2. R. Ay. Wimoerti Syarif Hgidayat<br />3. R. Ay. Hariati Mohammad Satrio<br />4. R. Ay. Siti Mirjati Soemakto<br />5. R. Ay. Koesnaeni<br />6. R. M. Boediardjo<br />7. R. Aj. Mariani Siti Fatimah<br />8. Meninggal sebelum dilahirkan<br />9. R. Aj. Retno Ambarwulan<br />10. R. Ay. Koestantinah<br />11. R. A. Ay. Djoewariyah Soekiyat<br />12. R. Ay. Hariani Soedjito</p><p align="justify"><br />Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga bangsawan feodal Jawa jelas sekali R. Boedioo memanggul beban sangat besar. Tanggung jawabnya untuk meneruskan tradisi kepemimpinan panggreh praja setingkat bupati akan siap dipanggul di pundaknya pada saatnya nanti.</p><p align="justify"><br />R. Boediono menyadari kondisi keluarganya yang seperti itu. Malah ia bersyukur sekali orang tuanya lebih memaksakan dirinya untuk menempuh pendidikan kepamongprajaan Mosvia di Probolinggo meskipun pad awalnya ia tidak bercita-cita di bidang itu.</p><p align="justify"><br />Aspek kepemimpinannya terlihat semenjak ia anak-anak. Pola feodalisme dan patriarkhis dalam keluarganya membentuk tanggung jawab yang besar untuk membawa nama keluarga R.A.A. Soemantri Koesoemoadinegoro.</p><p align="justify"><br />Seperti layaknya pemuda terpelajar saat itu, R. Boediono tidak menghabiskan waktu sehari-hari untuk perbuatan yang sia-sia. Seluruh waktu habis untuk kegiatan belajar bahasa dan kepamongprajaan. </p><p align="justify"><br />Pendidikan AMS jurusan bahasa memudahkan ia untuk menguasai bahasa asing seperti Belanda, Perancis dan Inggris. Oleh karena kepandaiannya ia dengan cepat menamatkan pendidikan Mosvia itu. Tugas pertamanya adalah menjadi pamong praja di Malang.</p><p align="justify"><br />Saat itu Jawa masih dikuasai oleh pemerintah Kolonial Belanda. Kondisi pemerintahan di bawah penguasa Belanda ini tidak membawa persoalan yang cukup berarti pada diri R. Boediono. Profesionalisme selaku anggota Pangreh praja dalam kerangka administrasi pemerintah Kolonial Belanda terlihat sekali dalam penyelesaian tugas-tugas keseharian yang dibebankan kepadanya. Karena prestasi-prestasinya itulah maka ia memperoleh kenaikan pangkat yang tergolong cepat.<br />Di samping itu, R. Boediono yang memiliki sikap suka menolong yang kesusahan ini sangat terkenal pada masa itu. Sikap ini semakin menambah kecintaan rakyat pada dirinya ketika karir kepangrehprajaannnya mening-kat.</p><p align="justify"><br />Dalam perkembangan berikutnya ketika pemerintah Kolonial Belanda mengalami beragam kesulitan menghadapi persoalan elit pergerakan nasional maka R. Boediono juga bisa menempatkan posisinya dengan baik. Selaku pamongpraja yang digaji pemerintah ia tetap melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya tanpa tercecer, namun selaku orang yang terdidik dan memiliki pergaulan luas dengan kaum pergerakan hatinya juga tersentuh dengan cita-cita perjaungan bangsa yang mulai itu. Ia memilih jalan tengah. Ia aktif juga dalam kegiatan organisasi kepemudaan yang legal formal demi cita-cita kemerdekaan bangsa. </p><p align="justify"><br />Oleh karena itu tulisan ini akan membahas secara tuntas bagaimana latar belakang R. Boediono ini. Mengapa pada awal kemerdekaan Indonesia ia mendapat kepercayaan pemerintah pusat untuk mejadi Gubernur Jawa Tengah? Bagaimana gaya kepmimpinan beliau dan faktor-faktor apa yang menyebabkan ia memiliki gaya kepemimpinan yang seperti itu? <br /><br /><strong>2. Landasan Teori<br />2. 1. Kepemimpinan</strong><br />Menurut Good (1973) kepemimpinan merupakan suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka mau berbuat ssuatu demi tercapainya tujuan bersama. Pernyataan ini dipertegas oleh Wilis (1967). Menurutnya kepemimpinan merupakan segenap bentuk bantuan yang diberikan oleh seseorang bagi penetapan dan pencapaian tujuan kelompok. Hampir sama dengan konsep itu adalah Siagian (1983). Dengan pendekatan manajemen ia mengatakan bahwa kepemimpinan mempunyai makna sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain agar rela, mampu dan dapat mengikuti keinginan manajemen demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan efisien, efektif, dan ekonomis.</p><p align="justify"><br />Seorang pemimpin harus memiliki pengaruh yang kuat di mata masyarakat. Ia mampu mempengaruhi psikologis pribadi-pribdai lain untuk mengikuti apa yang diinginkannya demi tujuan kelompok atau masyarakat yang bersangkutan. Menurut Terry (1972) pemimpin mempunyai ciri-ciri: cerdas, inisiatif, kekuatan, kematangan perasaan, daya cpta, meyakinkan, kemahiran berkomunikasi, ketenangan diri, cerdik, dan berperan serta dalam pergaulan. Feldman dan Arnold mempertegas pernyataan ini. Menurut mereka bahwa seorang pemimpin dituntut memiliki: pertama, sifat kepribadian: penyesuaian diri, sikap giat dan tegas, berpengaruh, keseimbangan jiwa dan konrol, kebebasan, keaslian dan daya cipta, kejujuran pribadi, dan percaya diri; kedua, kemampuan: kecerdasan, pertimbangan, dan kemampuan membuat keputusan, pengetahuan, dan pandai bicara; ketiga, kemahiran sosial: kemampuan memperoleh kerjasama, kemampuan adminsitrasi, mampu bekerja sama, terkenal dan berwibawa, suka brgaul, peran serta sosial, dan kebijaksanaan dan diplomasi.<br /> <br /><strong>2. 2. Pendekatan Sifat, Perilaku, dan Kontingensi</strong><br />Pendektan sifat dalam kepemimpinan sering kali berbeda. Namun Freeman menyampaiakan ciri-ciri pemimpin yang seharusnya ada pada seorang pemimpin seperti: rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.</p><p align="justify"><br />Pendekatan perilaku dilakukan untuk melihat sejauhmana perilaku menjadi karakter dan gaya tersendiri dalam memimpin. Pendekatan perilaku yang digunaka tulisan ini untuk melihat kepemimpinan R. Boediono adalah model Likert (1967) di mana ia membagi gaya kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu eksploitative authoritative, benevolent authoritative, concultative leadership, dan participative group leadership.</p><p align="justify"><br />Dalam melihat kepemimpinan R. Boediono agaknya lebih condong untuk didekati dengan pendekatan perilaku gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.</p><p align="justify"><br />Selain itu, untuk mengupas kepemimpinan R. Boediono maka akan digunakan pula pendekatan kontingensi dengan model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt. Menurut mereka ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam memilih gaya kepemimpinannya. Tiga faktor itu adalah kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. Model ini merupakan suatu garis yang diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku terpusat pada pemimpin dan diakhiri dengan titik yang menunjukkan perilaku yang terpusat pada bawahan.<br /><br /><strong>B. Pembahasan<br />1. Latar Belakang Keluarga</strong><br />Lingkungan kehidupan keluarga R. Boediono dilahirkan bersifat priyayi dan feodal. Dalam kehidupan ini tercermin dari bentuk rumah tinggal, cara berpakaian, dan tingkah laku dalam pergaulan. Meskipun demikian, R. Boediono tetap memiliki sifat berbudi halus, sopan, bahasa halus, serta ramah tamah. </p><p align="justify"><br />Dalam kehidupan keluarga tampak ada jarak antara anak dengan orang tua. Pengaruh sang Bapak ternyata sangat dominan bagi pembentukan kepribadian R. Boediono. Ia harus belajar dengan baik agar bisa menggantikan posisi sang bapak pada saatnya nanti.<br /><br /><strong>2. Pendidikan</strong><br />R. Boediono memasuki ELS Bojonegoro dan MULO di Surabaya. Setelah itu melanjutkan ke AMS Afdeling A di Bandung. Karena keaktifan dalam pergerakan nasional pemerintah Belanda menyampaikan teguran dan ancaman pada orang tua R. Boediono agar supaya memberi pengawasan yang lebih ketat terhadap sepak terjang puteranya. Akhirnya R. Boediono terpaksa meninggalkan bangku AMS bahasa Bandung dan meneruskan ke Mosvia Probolinggo dan melanjutkan pula setelah itu di Bestuur Academic Jakarta.<br /><br /><strong>3. Masa Dewasa</strong><br />Ketika masih bersekolah di AMS A, R. Boediono sangat aktif sebagai anggota Jong Indonesia dan Nafsiah (calon istrinya) adalah anggotab Perhimpunan Putri Indonesia. Sebagai seorang putera bupati ia berjiwa rendah hati dan selalu bersikap baik terhadap sesamanya. Ia tidak senang apabila ada orang yang memperbincangkan orang lain. Meskipun demikian ia dapat pula bersikap tegas dan disiplin. Sikap ini diperoleh berkat pola asuh dan pendidikan yang diperoleh dari orang tuanya.</p><p align="justify"><br />Demikian pula ketika R. Boediono sudah berkeluarga dan punya anak, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya pada dirinya. <br /><br /><strong>4. Karir dalam Pamong Praja</strong><br />Pada usia 25 tahun R. Boediono mulai menampakkan diri dalam masyarakat dengan bekerja sebagai pamongpraja di Malang. Setelah itu ia diangkat sebagai asisten Inlandsch Bestuursambtenaar di karesidenan Surabaya. Pada saat itu pula ia diberbantukan sebagai Wedana Jobokuto.</p><p align="justify"><br />Kurang lebih dua tahun kemudian R. Boediono pindah tugas sebagai A.I.B. Veld Politie di Kepanjen Malang. Dua tahun setelah itu ia dpindahkan ke Probolinggo yakni sebagai A.I.B. Afd. M.P. pada Gewest Recherche Probolinggo.</p><p align="justify"><br />Tanggal 19 Pebruari 1935 ia diangkat menjadi onderdistrikthoofd di daerah karesidenan Malang. Sebelas bulan kemudian R. Boediono diangkat sebagai Asisten Wedana Onderdistrict Ngajum.<br />Tanggal 22 Maret 1937 R. Boediono dipindahkan ke onderdistrik Kraton. Tanggal 3 Agustus 1939 ia dipindahkan di onderdistrict Pasuruan.</p><p align="justify"><br />Untuk memenuhi kepentingan dan urusan-urusan kedinasan seringkali ia mennjau daerah-daerah guna melihat secara langsung segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugasnya, sehingga hubungan antara atasan dan bawahan dapat berjalan dengan baik dan sekaligus tercipta kelancaran mekanisme kerja yang efisien dan efektif. </p><p align="justify"><br />Salah satu keistimewaan R. Boediono sewaktu menjabat pamong praja adalah taktik dan strateginya dalam menciptakan keamanan di daerahya.<br /><br /><strong>5. Masa Pendudukan Jepang</strong><br />Pada saat pendudukan Jepang R. Boediono belum sempat menyelesaikan pendidikannya di Bestuur Academie. Ia dikembalikan ke Jawa Timur dan ditempatkan d Kabupaten Malang sebagai Sai Kyucho pada bulan April 1942. Pada bulan Agustus 1942 ia dipindahkan lagi ke Patalan Probolinggo menjabat sebagai asisten Wedana.</p><p align="justify"><br />Menyadari akan arti perjuangan kemerdekaan tanah air, maka R. Boedioo meskipun secara formal bekerja pada Jepang akan tetapi sebagai seorang nasionalis ia tetap berjuang menggalang kerjasama dengan rekan-rkan sewaktu masih kuliah di Bandung di maa ia berteman dengan Sutan Syahrir yang sama-sama belajar di AMS. Ide-ide nasionalisme banyak dipetik kala itu. Konspsi nasionalsme ini terus dipupuk dan disalurkan melalui gerakan-gerakan bawah tanah pada waktu pemerintahan bala tentara Jepang. </p><p align="justify"><br />Pada bulan Juli 1945 R. Boediono dipndahtugaskan dari Kraksan ke Sukapura Proboloinggo. Ia menjabat sebagai Wedana. Kenaikan jabatan ini merupakan prestasi kerja yang istimewa. <br /><br /><strong>6. Pengabdian di Jawa Tengah</strong><br />Begitu mendengar berita proklamasi jiwa R. Boediono terpangil untuk mengabdi pada republik maka ia mengambil keputusan bahwa ia harus meninggalkan pekerjaan, keluarga dan daerah tempat tinggalnya. Di Jakarta ia bergabung dengan rekan-rekan seperjuangannya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.</p><p align="justify"><br />Masa itu berarti mulailah ia bergabung dengan Republik Indonesia yang baru berdiri. Ia mejadi orang kepercayaan Sutan Syahrir. Apalagi pada saat masa revolusi yang masih kacau, ia diberi kepercayaan untuk menjadi residen Banyumas sejak tanggal 17 Agustus 1946. Di sana ia ternyata pandai mengambil hati dan menempatkan diri diantara bupati kawasan Banyumas yang pada umumnya mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakatnya. Sehingga dengan salah satu modal itu ia dapat melakukan koordinasi yang baik untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan perjuangan.</p><p align="justify"><br />Ketika aksi agresi milietr dan polisional Belanda, R. Boediono melakukan keputusan penting yang dapat menyelamatkan kondisi pemerintahan karesidenan Banyumas. Ia mengkoordinir langsung aksi serangan balik atas apa yang dilakukan Belanda di wilayahnya. Atas jasa dan kecerdikannya maka peemrintah pusat mempercayakan wilayah karesidenan Pekalongan untuk dipimpinnya juga. </p><p align="justify"><br />Selama masa perjuangan itu terutama di medan gerilya R. Boediono dapat bekerjasama bahu membahu dengan para pemimpin pejuang lannya baik dari tentara atau rakyat biasa. Dengan sesama residen ia sering bertukar pikiran dan melakukan koordinasi untuk menghadapi Belanda.<br /><br /><strong>7. Menjadi Gubernur Jawa Tengah</strong><br />Dari medan perang ia dipanggil pemerintah pusat untuk mengemban tugas sebagai gubernur Jawa tengah. Ia menggantikan posisi Mr. Wongsoneogoro. </p><p align="justify"><br />Selama R. Boediono menjabat gubernur Jawa Tengah ada banyak hal yang sudah dilakukan. Dalam kurun waktu antara 1949-1954 ia melakukan kebijakan:<br />a. Menyampaikan keinginan agar ada penetapan status hukum yang pasti atas enam daerah karesidenan menjadi propinsi Jawa Tengah dan juga pembentukan kabupaten otonom serta menetapkan status kota-kota tertentu mejadi kota besar di Jawa Tengah.<br />b. Menetapkan pegawai urusan catatan sipil.<br />c. Pembentukan bagian tata hukum.<br />d. Kepegawaian.<br />e. Mengusulkan tunjangan bagi pegawai di daerah kacau.<br />f. Pengangkatan bekas pegawai swapraja.<br />g. Pembentukan seksi pensiun kantor Gubernur Jawa Tengah.<br />h. Penanganan masalah pegawai desa.<br />i. Pengangkatan pegawai kampung <br />j. Menyelenggarakan kursus cepat pamong desa.<br />k. Penanganan masalah keuangan.<br />l. Perbaikan dan pembangunan perumahan para kepala daerah dan kantor-kantornya.<br />m. Sarana penunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.<br />n. Mengadakan perkreditan desa.<br />o. Pembelian padi oleh pemerintah.<br />p. Pembentukan panitia pembangunan wilayah hutan dan pertanian.<br />q. Mengatasi masalah pengangguran.<br />r. Pengadaan sarana pengangkutan umum.<br />s. Pembersihan rawa pening<br />t. Penanggulan bahaya gunung merapi.<br />u. Upaya penghapusan desa perdikan.<br />v. Usaha pemberantasan buta huruf.<br />w. Demobilisasi.<br /><br /><strong>8. Analisa Kepemimpinan</strong><br /><strong>a) Melalui Pendekatan Sifat</strong><br />Latar belakang R. Boediono yang berasal dari kalangan priyayi, membuat ia memiliki sifat yang sangat santun, rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.</p><p align="justify"><br />Sifat-sifat di atas bisa terbentuk berkat pembudayaan yang berasal dari keluarganya sendiri. Model kepriyayian dari Raden Ario Adipati Soemantri Koesoemoadinegoro yang merupakan ayahanda R. Boediono, memang memberikan ruang belajar yang positip untuk mengembangkan kepribadian yang positip pula. Tidak banyak golongan priyayi yang memiliki ciri khas dan karakter seperti di atas. Umumnya kalangan feudal malah memberikan pendidikan feudal bagi keluarga dan familinya.</p><p align="justify"><br />Justru R. Boediono mampu belajar dari lingkungan yang memberikan kemanjaan dan penghormatan yang berlebihan. Masyarakat sekitar yang notabene rakyat biasa memberikan penghormatan pada para bangsawan adalah hal yang biasa saat itu. Namun, R. Boediono akan menolak jika rakyat memberikan sendiko dhawuh yang berlebihan sehingga merendahkan derajad dan diri mereka. R. Boediono tidak pernah menegakkan muka. Ia tetap memandang sama terhadap masyarakat sekitarnya. Perasaan sombong tidak pernah muncul sedikit pun. <br /> <br /><strong>b) Melalui Pendekatan Perilaku<br /></strong>Pendekatan perilaku dilakukan untuk melihat sejauhmana perilaku menjadi karakter dan gaya tersendiri dalam memimpin. Pendekatan perilaku yang digunaka tulisan ini untuk melihat kepemimpinan R. Boediono adalah model Likert (1967) di mana ia membagi gaya kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu eksploitative authoritative, benevolent authoritative, concultative leadership, dan participative group leadership.</p><p align="justify"><br />Dalam melihat kepemimpinan R. Boediono agaknya lebih condong untuk didekati dengan pendekatan perilaku gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.</p><p align="justify"><br />Aspek perilaku kepemimpinan R. Boediono terlihat manakala ia menyusun strategi dalam melakukan pengamanan lingkungan saat masih menjabat wedana. Ia mengajak bawahannya untuk berunding bagaimana cara menangkap aksi pencurian yang saat itu sedang banyak terjadi. Berkat komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan maka ia mampu melaksanakan konsep pengamanan yang efektif di lingkungannya.</p><p align="justify"><br />Di samping itu, ketika ia menjabat menjadi residen di Banyumas, ia tidak melupakan peran serta para bupati yang ada di kawasan Banyumas. Ia bertanya tentang suka duka, peluang, usaha, dan tantangan dari para bupati bawahannya tersebut. Ia yang membuka komunikasi dengan bupati-bupati itu sehingga mereka merasa diuwongke dan dihargai keberadaannya. Atas sikap ini maka para bupati semakin loyal dan menghormati R. Boediono. Dan karena kedisplinan, ketegasan, keramahan, dan sekaligus andhap ansor maka ia ditunjuk untuk merangkap menjadi residen Pekalongan.</p><p align="justify"><br />Jauh sebelum itu, ia rela melepaskan jabatannya sebagai wedana ketika Indonesia modern baru berdiri. Ia menyongsong kemerdekaan dengan ikut serta membantu para elit pergerakan nasional untuk berdiplomasi dan berjuang di jalur militer. Hal ini berarti R. Boediono bergerak lagsung di masyarakat atas nama perjuangan bangsa. <br /><br /><strong>c) Melalui Pendekatan Kontingensi</strong><br />Selain itu, untuk mengupas kepemimpinan R. Boediono maka akan digunakan pula pendekatan kontingensi dengan model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt. Menurut mereka ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam memilih gaya kepemimpinannya. Tiga faktor itu adalah kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. </p><p align="justify"><br />Sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan dalam hal ini kharisma, pengetahuan, dan berpendidikan maka R. Boediono mampu mengarahkan rakyat yang menjadi bawahannya. Rakyat akan mengikuti kata pemimpin, jika pemimpinnya mempunyai kekuatan yang terdapat di dalamnya. Kekharismatikan yang dimiliki R. Boediono dilator belakangi dirinya yang berasal dari kalngan priyayi. Namun itu bukan satu faktor penentu, justru karena keaktifan R. Boediono di jalur perjuangan kebangsaan ini membuat namanya dikenal baik oleh masyarakat dari berbagai kalangan. </p><p align="justify"><br />Kekuatan bawahan saat itu begitu kagum dengan sosok kepemimpinan R. Boediono. Masyarakat yang masih bergelayut pada suasan zaman revolusi kemerdekaan merasa terayomi dengan pemimpin mereka yang bernama R. Boediono ini. Mereka merasa nyaman dengan figure da karakter sikap yang dimiliki oleh R. Boediono.</p><p align="justify"><br />Kekompakan antara atsan dan bawahan tercipta oleh situasi da kondisi zaman yang mendukungnya. Masa penjajahan dan revolusi membuat mereka bisa bersatu dalam suasana yang penuh dengan kebersamaan. Mereka bahu-membahu menyerang lawan demi tegaknya kemerdekaan bangsa. <br /><br /><strong>C. Penutup</strong><br />Dari perjalanan kehidupan R. Boediono dari sikap perbuatan dan pemikirannya dapat dilihat beberapa kesimpulan yang penting. Pertama ia sebagai pribadi yang terlahir dari keluarga priyayi feodal masih tumbuh sikap pribadi yang moderat dan berwasawasan kerakyatan.</p><p align="justify"><br />Dari sisi sifat ia memenuhi kriteria sebagai pemimpin karena memiliki sifat seperti rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.</p><p align="justify"><br />Dari sisi perilaku ia mempunyai sikap atau gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.</p><p align="justify"><br />Sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan dalam hal ini kharisma, pengetahuan, dan berpendidikan maka R. Boediono mampu mengarahkan rakyat yang menjadi bawahannya. Rakyat akan mengikuti kata pemimpin, jika pemimpinnya mempunyai kekuatan yang terdapat di dalamnya. Kekharismatikan yang dimiliki R. Boediono dilatarbelakangi dirinya yang berasal dari kalngan priyayi. Namun itu bukan satu faktor penentu, justru karena keaktifan R. Boediono di jalur perjuangan kebangsaan ini membuat namanya dikenal baik oleh masyarakat dari berbagai kalangan.<br /></p><p align="justify"><br /></p><p align="justify"><strong>DAFTAR PUSTAKA<br /><br /></strong>Alfian. 1986. <em>Pemikiran dan Perubahan politik di Indonesia</em>. Jakarta: PT Gramedia<br /><br />Abdullah, Hamid. 1989. <em>Potret Tingkah Laku Pemuda dalam Revolusi</em>. Yogyakarta: Seminar MSI.<br /><br />Burhanuddinn. 1994. <em>Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan</em>. Jakrta: Bumi Aksara.<br /><br />Kahin, Geogrge Mc. Turnan. 1961. <em>Nationalism dan Revolution in Indonesia</em>. New York: Cornell University Press.<br /><br />Notosusanto, Nugroho. 1979. <em>Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia</em>. Jakarta: PT. Gramedia.<br /><br />Soetomo. 1990. <em>R. Boediono</em>. Semarang: Pemda Tingkat I Jateng Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah tahun 1990.<br /><br />Wahab, Abdul Aziz. 1997. <em>Educational Managemet</em>. Bandung: LPPs IKIP Bandung.<br /><br />Soegito, H.A.T. 2003. <em>Konsep dasar Kepemimpinan dan Kepemimpinan Pendidikan</em>. Semarang: Makalah PPs UNNES.<br /><br /><br />*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal<br /><br /><br /></p>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-87487900117251060732009-03-04T15:12:00.000+07:002009-03-04T15:16:29.114+07:00TAFSIR GENDER DI SEKOLAH*<p></p><p align="justify">Meski kita sudah memasuki era globalisasi, pendidikan berwawasan gender kerap luput dari perhatian para guru dalam mendidik siswanya di di sekolah. Pembelajaran berbasis gender dianggap satu wilayah yang kurang jelas dan gelap. Guru dalam pembelajaran kelas tidak pernah memberikan contoh yang konkrit bagaimana dan seperti apa hingga anak didik bisa mengetahui dan mempunyai pandangan sendiri tentang gender. Mengapa bisa demikian?</p><p align="justify"><br />Masih sering terdengar bahwa meski masyarakat Indonesia yang mempunyi latar pendidikan tinggi terkadang mereka belum memiliki kesadaran gender yang sesuai dengan apa yang diharapkan selama ini. Gender dianggap sesuatu yang mengada-ngada dan bahkan tidak sesuai dengan setting budaya yang masih menganggap segala sesuatu bersifat patriarkhis. Padahal kalau kita mau jujur usaha pemerintah sendiri dalam hal ini sudah begitu maksimal. Pemerintah melalui departemen atau dinas terkait sudah memberikan himbauan tentang betapa perspektif gender dalam kehidupan bermasyarakat yang kondisi sosial budaya Indonesia yang berbeda-beda sangatlah penting.</p><p align="justify"><br />Salah satu bidang yang dibidik sebagai akar permasalahan mengapa gender kurang begitu menjadi urgensi persoalan selama ini adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan formal adalah pintu masuk utama seorang anak mengenal gender. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, posisi dan peran guru sangatlah penting untuk mensosialisasikan persoalan gender pada siswa sekolah dasar dan menengah. Jika orang tua karena pendidikan yang rendah dianggap gagal memberikan penyampaian pesan gender dalam benak anak-anak mereka, maka guru di dalam pembelajaran kelas dapat memberikan alternatif peran untuk mengenalkan tentang bagaimana dan seperti apa masyarakat terbedakan antara laki-laki dan perempuan secara historis dan kultural yang mempengaruhi peran-peran domestik dan publik mereka. Namun sayangnya peran pokok guru dalam hal ini sering pula tidak optimal karena faktor budaya patriarkhis yang terlalu kuat serta interpretasi agama yang cenderung keliru memposisikan perempuan dalam ranah publik.</p><p align="justify"><br />Oleh karena itu, agar seorang guru mempunyai titik pijak yang sama untuk menafsirkan persoalan gender tersebut maka di bawah ini ada beberapa pertimbangan yang bisa dilakukan: <br />Pertama, pada prinsipnya pemberian sosialisasi gender dapat dimulai dalam bentuk pelajaran apa saja. Pada pelajaran yang berbau eksakta tentu saja pesan gender harus masuk secara halus, tersamar, dan terselubung melalui simbol-simbol yang tidak mengandung dominasi laki-laki. Pada pelajaran ilmu sosial, gender dapat dimasukkan sebagai materi utuh, sebagian, atau terselubung yang didasarkan atas proporsi dan kebutuhan yang ada. </p><p align="justify"><br />Kedua, guru harus memasukkan materi gender dalam setiap rencana pendidikan yang ada. Materi gender atau bernuansa gender tetap harus dimasukkan dalam rencana pendidikan sebagai bentuk konsistensi pelaporan tugas secara tertulis.</p><p align="justify"><br />Ketiga, secara sosial budaya, tata tertib di sekolah maupun tata aturan tak tertulis yang ada di kelas maupun di sekolah diupayakan untuk pembentukan kesadaran siswa akan gender. Terkadang ada beberapa poin dalam tata tertib yang sengaja melanggengkan struktur kelaki-lakian. Peraturan atau norma mengenai pembentukan struktur pengurus kelas, regu piket kelas, serta pembagian tugas sehari-hari di kelas juga sering dilakukan atas persepsi perbedaan laki-laki dan perempuan. Misalnya tugas menyapu kelas adalah perempuan dan laki-laki hanya bertugas menghapus papan tulis. Papan tulis dalam hal ini simbol publik karena peran dan pekerjaannya lebih nampak di depan bapak atau ibu guru yang sedang mengajar, sedangkan menyapu di dilakukan pada saat pagi hari, sebelum bel masuk, sepi, dan menjadi simbol pekerjaan domestik karena tidak terlihat oleh bapak atau ibu guru yang mengajar. </p><p align="justify"><br />Meski tidak semua sekolah berani dan mencoba melakukan perubahan hal itu karena pertimbangan budaya dan agama (barangkali), namun usaha untuk itu harus ada. Oleh karena itu setiap sekolah harus mencoba mewajibkan para wali kelas untuk melakukan perubahan struktur dan regu kerja. Anak didik perempuan bukan lagi diposisikan sebagai sekretaris dan bendahara yang pernah dikonstruksikan sebagai profesi dan posisi yang pantas bagi perempuan saja, namun cobalah untuk menggantinya menjadi ketua kelas dan jabatan-jabatan struktur kelas yang dulu menjadi monopoli kaum laki-laki. </p><p align="justify"><br />Keempat, guru harus membedah materi pelajaran yang selama ini bias gender. Materi yang hanya melanggengkan posisi dan dominasi laki-laki atas perempuan bisa direduksi dan dihilangkan sama sekali. Contoh-contoh penggambaran yang terkait materi pelajaran yang memakai simbol laki-laki harus diseimbangkan dengan simbol-simbol keperempuanan. Foto-foto dalam pelajaran sosiologi tidak harus foto kaum laki-laki saja dengan atribut sosialnya. Tokoh-tokoh dalam karangan buku sastra yang dikaji tidak semata laki-laki dengan kuasanya saja. Materi pelajaran sejarah tidak hanya membahas masa lalu yang penuh dengan kekuatan dan kejayaan laki-laki saja atas nama politik, ekonomi, militer, dan agama. Sejarah tentang perempuan dan perjuangannya perlu ditampilkan. </p><p align="justify"><br />Kelima, Kepala Sekolah mewajibkan setiap guru memasukkan pesan gender dalam pembelajaran mapel di kelas. Peran kepala sekolah sangat penting untuk memberikan paksaan pada bapak atau ibu guru memberikan semangat bergender ria. Kepala sekolah pun dapat memberikan contoh pelaksanaan gender secara konkrit. Misalnya pembentukan kepanitiaan sekolah untuk berbagai kegiatan haruslah menyeimbangkan peran guru laki-laki dan perempuan secara proporsional dan jelas. Ketidakmengertian gender kepala sekolah akan menciptakan budaya bias gender yang dapat merusak pemaknaan gender itu sendiri bagi siswa yang ada dis ekolah tersebut.</p><p align="justify"><br />Apabila semua pertimbangan dan persyaratan di atas sudah dilakukan bukan berarti persoalan gender akan lebih jelas dan terselesaikan begitu saja. Keberhasilan mengenalkan perilaku sadar gender berhubungan pula dengan latar budaya dan pemahaman keagamaan yang melingkari lembaga persekolahan yang terkait. Oleh karena itu strategi yang sesuai untuk memberikan dan menanamkan nilai-nilai harmonisasi peran laki-laki dan perempuan itu adalah memberikan ruang diskusi yang intensif antara berbagai pihak agar menghasilkan formulasi pengkajian gender yang sesuai dengan harapan bersama<br /><br />*Penulis: Muslichin, guru SMA 2 Kendal.<br /></p>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-82078051313955072582009-03-04T15:07:00.001+07:002009-04-12T13:24:40.208+07:00SERTIFIKASI GURU: TITIK-TITIK KELEMAHAN*<div align="justify"></div><div align="justify"><a href="http://sma2kendal.wordpress.com/">Gaung sertifikasi</a> pada bulan-bulan ini sudah tidak terdengar lagi. Sertifikasi yang pada awal tahun 2008 seolah menjadi buah bibir itu gemanya semakin mengecil dan terpuruk di pojok pembicaraan guru. Namun demikian, program pemerintah itu ternyata masih menyisakan efek dan dampak yang buruk bagi tindakan para guru dalam menyikapinya. </div><div align="justify"><br />Kita tahu bahwa adanya sertifikasi membuat para guru bersibukria menyiapkan segala sesuatunya agar mampu menerobos proses seleksi yang dilakukan oleh tim penilai sertifikasi. Terlalu bersemangatnya mereka, ada dan banyak yang melakukan tindak penambahan nilai melalui cara-cara yang kurang sehat dan menjurus pada penipuan nilai. Mereka melakukan kecurangan berjamaah hanya agar angka kreditnya mencapai dan melampaui poin 850. </div><div align="justify"><br />Jika para guru beramai-ramai mengikuti seminar dalam rangka mendapatkan poin nilai tinggi itu masih dianggap wajar, karena di situ masih ada proses pembelajaran dan penyampaian informasi akademik narasumber kepada guru meski dengan cara paksa dan ngetoki. Kecurangan yang dianggap parah dan tidak bisa dimaklumi adalah jika para guru itu sudah terjebak pada pembuatan lks, modul, dan PTK tanpa melalui prosesi yang wajar dan benar. Oleh karena bernafsu agar nilainya tinggi, mereka rela menjual idealismenya untuk mereduplikasi karya-karya orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Karya orang lain yang tidak pernah dibuat sengaja dibajak agar oknum guru bisa mendapat nilai tinggi tanpa harus bersusah-payah. Mereka karena suatu hal kurang membaca literatur tiba-tiba sudah mempunyai modul belajar yang cukup bermutu yang dikerjakan dalam waktu super singkat. Mereka yang semula tidak tahu menahu tentang Penelitian Tindakan Kelas tiba-tiba juga sudah mempunyai laporan PTK lengkap dengan data-data perijinan yang dibuat surut tanggalnya. Yang lebih tragis adalah mereka memanfaatkan rental pengetikan untuk mencetak ulang LKS atau modul yang jelas milik guru lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Kadang ada yang hanya mengganti cover LKS atau Modul dengan cover baru yang ada nama oknum guru tersebut.</div><div align="justify"><br />Kecurangan tidak berhenti di situ saja, ada oknum guru yang ikut mendompleng pembimbingan siswa yang menjadi pemenang dalam lomba akademik maupun nonakademik. Jika awalnya dalam pembimbingan lomba siswa, kepala sekolah menugaskan dua guru sebagai pembimbing siswa, tiba-tiba saja dalam surat tugas yang baru bisa muncul beberapa guru yang merasa menjadi pembimbing dari siswa yang berprestasi dan menjadi pemenang. Seolah perilaku guru itu seperti semut yang memperebutkan gula. Hal ini maklum saja mengingat untuk pemenang lomba tingkat provinsi poin angka kredit sertifikasinya adalah 20.</div><div align="justify"><br />Lalu, bagaimana agar perilaku guru yang demikian tidak terulang lagi pada sertifikasi angkatan selanjutnya? Jelas sekali tim penilai sertifikasi harus mampu bersikap tegas, teliti, dan hati-hati dalam mengamati dan menilai arsip-arsip surat tugas pembimbingan, sertifikat lomba, LKS, Modul, dan PTK yang dimiliki guru. Jika pada sertifikasi guru angkatan awal 2008 tim penilai mengharuskan para guru melampirkan sertifikat seminar, workshop, dan pelatihan, maka pada angkatan selanjutnya para guru harus bisa membuktikan bahwa semua LKS, Modul, dan PTK yang telah disusunnya benar-benar karya asli yang dihasilkannya. Cross check antara LKS, Modul, dan PTK di antara para guru wajib dilaksanakan agar dapat diminimalisir kecurangan dan duplikasi karya orang lain. Proses ini pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Namun demikian, untuk mengantisipasi agar jangan terjadi lagi jelas perlu dilakukan. </div><div align="justify"><br />Tim penilai perlu memberikan hukuman atau sanksi tegas bagi para guru yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen atau reduplikasi karya orang lain. Jika ada sanksi berupa sistem gugur bagi guru yang melakukan kecurangan, maka hal ini akan memberikan tekanan, contoh, dan efek jera bagi guru lain yang berniat coba-coba.</div><div align="justify"><br />Terakhir, tanamkan pada para guru bahwa sertifikasi adalah program pemerintah yang intinya ingin mengangkat derajat dan harkat manusia yang berprofesi guru secara ekonomi dengan cara-cara yang bermoral dan beretika. Jika guru gara-gara ingin sejahtera malah melakukan kecurangan yang menodai citra guru, apalah artinya dilaksanakan sertifkasi guru, wong cepat atau lambat semua guru pasti sudah disertifikasi. Jangan sampai kepingin cepat sejahtera malah melakukan cara-cara yang amoral dan haram: menjiplak karya orang lain! </div><div align="justify"></div><div align="justify">*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal<br /><br /><br /></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-64315694208932394452009-03-04T14:57:00.000+07:002009-03-04T15:04:52.531+07:00DUKUN KALANG, PEREMPUAN, DAN RANAH PUBLIK*<div align="justify"><br />Umumnya membicarakan persoalan gender terkait dengan pembagian wilayah kerja dan aktifitas antara kaum laki-laki dan perempuan. Meski gender adalah konstruksi yang diciptakan secara historis dan kultural, namun kerap masyarakat kita yang semakin cerdas ini masih pula terjebak pada dikotomi perbedaan lelaki dan perempuan dalam memaknai suatu peran tertentu pada pelaku tradisi dalam masyarakat. Jarang ada pandangan baru tentang bagaimana reposisi peran dimaknai secara bersama-sama, baik dari sudut pandang wilayah domestik sekaligus publik. Oleh karena itu kita terkadang terjebak pada term dan pendefinisian dari apa yang kita buat sendiri, sehingga bukan upaya penjernihan dari suatu masalah melainkan pemaksaan analisis yang kabur dan rancu.</div><div align="justify"><br />Andaikat persoalan gender tidak berangkat pada usaha untuk menyamakan posisi perempuan terhadap dominasi laki-laki, maka kita akan sedikit lega dan mengena dalam memberikan makna terhadap pelaku tradisi yang notabene justru dilakukan oleh kaum perempuan. Kaum perempuan pada bentuk tradisi kuno yang masih tetap dilestarikan acapkali menjadi figur sentral dan utama yang dipercaya memimpin jalannya ritual.</div><div align="justify"><br />Pada tradisi Kalang, banyak terlihat bagaimana jalannya ritual itu dipimpin oleh seorang perempuan yang dipanggil dukun. Ritual obong yang sangat terkenal itu yang menjadi pemimpin ritualnya adalah perempuan. Demikian pula ritual gegalungan gegumbregan yang memimpin adalah perempuan. Mengapa perempuan justru diberi kepercayaan yang tinggi sebagai pemimpin kegiatan ritual? Bagaimana aspek historis dan kultural mengapa bisa muncul hal itu? Serta bagaimana posisi laki-laki dalam kegiatan ritual maupun sosial kesehariannya?</div><div align="justify"><br />Adanya dukun kalang perempuan adalah sesuatu yang lumrah saja jika kita melilhat adanya cerita legenda Calon Arang yang sangat terkenal itu. Dengan kekuatan spiritual dan daya linuwihnya ia mampu membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pihak yang mempunyai kuasa atas apa saja termasuk menggantikan posisi laki-laki sebagai subordinat dirinya. Airlangga yang disimbolisasikan sebagai kekuatan laki-laki saja tidak mampu memiliki kesaktian untuk menandingi Calon Arang hingga akhirnya menyusun strategi penipuan atas nama perkawinan antara muridnya Bahula dengan Ratna, anak Calon Arang.</div><div align="justify"><br />Seakan cerita itu diamini bagi komunitas Kalang untuk melihat posisi dukun Kalang sebagai inti kebudayaan mereka. Legenda Kalang yang terkait dengan cerita Bali itu sangatlah jauh, hanya saja dalam beberapa hal menunjukkan segi kemiripan tertentu. Satu Legenda Kalang mengatakan bahwa nenek moyang orang Kalang berasal dari babi hutan (nenek) dan anjing (bapak). Babi hutan yang kehausan meminum air kencing dari raja yang bernama Dampo Awang. Beberapa selang kemudian babi hutan itu hamil dan melahirkan perempuan cantik yang bernama Dewi Nawangwulan. Ketika Dewi dewasa ia menikah dengan seekor anjing yang bernama Belang Mayungyang, seekor anjing berkelamin jantan yang jika malam hari berubah menjadi satria keturunan dewata. Dari perkawinan keduanya lahirlah seerang anak yang bernama Kalangjaya. Singkat cerita karena Kalangjaya membunuh anjing (bapaknya) dan babi hutan (neneknya), maka ibunya mengalami kesedihan luar biasa dan menyusun sebuah rangkaian ritual agar arwah dari kedua jenasah orang yang dicintainya bisa moksa dan sempurna. </div><div align="justify"><br />Dari cerita itulah maka eksistensi mengapa perempuan mendapatkan kepercayaan sebagai dukun dimulai. Kepercayaan yang tumbuh pada masa animisme dan dinamisme pula menjadikan perempuan sebagai pelaku sentral tradisi masyarakat Indonesia. Jika dilihat pola kekerabatan zaman dahulu yang bercorak matriarkhat, jelas bahwa perempuan menempati posisi penting bagi keutuhan sebuah komunitas. Perempuanlah sebagai pihak yang mengawali perkembangan aktifitas cocok-tanam dan berkebun pada masa itu. Laki-laki disibukkan dengan aktifitas publik berburu binatang dan meramu, maka perempuan mulai melakukan aktivitas cocok tanam sebagai pengusir bosan terlalu lama menunggu kedatangan bahan konsumsi yang dibawa kaum laki-lakinya. </div><div align="justify"><br />Kelelahan dan kesibukan laki-laki itulah membuka kesempatan bagi perempuan untuk menggantikan posisi di dalam kegiatan ritual keagamaan. Dukun Kalang bagai seorang manager perusahaan yang mengatur segala sesuatunya agar sesuai dengan harapannya. Kelengkapan ritual, sesaji, bahan pangan, biji, kembang telon, wakul, baju, ingkung, sego kukul, puspa, dan pancaka. Namun demikian, meski pemimpin tradisi Kalang adalah perempuan namun untuk keutuhan sebuah upacara mereka tetap membutuhkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang masih mempunyai ikatan darah dengan dukun Kalang. Pembuatan Puspa tetap dilakukan kaum laki-laki, demikian pula pancaka. Hanya keluarga laki-laki yang bersaudara dengan dukun Kalang yang berhak membuatnya.</div><div align="justify"><br />Jalannya ritual sepenuhnya dilaksanakan oleh dukun Kalang. Dukun mempunyai kekuatan laksana Calon Arang yang sedang menunjukkan kesaktiannya. Posisinya sebagai perempuan mempunyai kemampuan spiritual membuat yang hadir terpana menyaksikan tahapan upacara yang berjalan. Ia bisa marah dan menangis sesuai dengan latar jenasah yang meninggal. Ia pun mampu menganalisis amal ibadah seseorang yang meninggal dari warna api yang terpancar pada saat pembakaran puspa dan pancaka.</div><div align="justify"><br />Bagaimana laki-laki menyikapi perbedaan peran yang dilakukan sang dukun. Umumnya laki-laki Kalang mengatakan bahwa adam sing kuwasa hawa sing rekoso, yang artinya apapun pekerjaan yang sulit dan melelahkan diserahkan saja pada perempuan sedangkan pekerjaan yang mudah dilakukan oleh kaum laki-laki. Laki-laki Kalang menganggap diri mereka berkuasa atas perempuannya. Namun demikian dalam praktiknya, dukun Kalang menjadi satu pembuktian tentang peran sosial-budaya yang melebihi apa yang bisa dilakukan kaum laki-laki. Secara teori, laki-laki menganggap berkuasa atas perempuannya, secara praktik perempuanlah yang mampu menunjukkan eksistensinya pada publik. Secara sosial, antara laki-laki Kalang dan perempuan Kalang hampir tidak ada bedanya. Keduanya mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Laki-laki berada di sawah untuk mencangkuli tanah persawahan agar gembur dan subur, sedangkan perempuannya menanami dengan bibit tanaman seperti padi, bawang, atau tembakau. Ketika menunggu musim panen mereka bekerja di sektor dagang. Banyak perempuan Kalang yang ikut menjual sesuatu di pasar-pasar tradisional. Hal ini sama dengan laki-lakinya. Pada saat panen, baik laki-laki dan perempuannya berkecimpung untuk saling membantu memanen hasil tanaman tembakau, padi atau bawang merah yang sering menjadi andalannya. </div><div align="justify"><br />Kebersamaan dan keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan Kalang pada tataran aktivitas sosial kemasyarakatan. Laki-laki mempunyai posisi yang sepadan dengan perempuan. Laki-laki bekerja dan perempuannya juga bekerja. Namun demikian perbedaan secara tradisional lebih menonjolkan sosok perempuan sebagai pembawa karakter dan ciri khas kesukuan mereka di mana segala aktivitas ritual pasti yang memimpin adalah perempuan yang tertua dan mendapatkan pulung secara turun-temurun. </div><div align="justify"><br />Barangkali juga bergesernya penerimaan laki-laki yang semula di sektor yang domestik dan tertutup ke wilayah publik karena proses perubahan dan perkembangan zaman. Jika dahulu ada kemungkinan laki-laki diposisikan sebagai subordinat perempuan namun karena pertemuan budaya dengan suku bangsa lain akhirnya membuat kaum laki-laki mengadopsi kultur yang patriarkhit ke dalam budaya Kalang sendiri. Semula laki-laki menjadikan perempuan Kalang sebagai panutan tetua mereka, namun lambat laun sisi kepemimpinan perempuan Kalang tereduksi dan hanya tersisa pada posisi dukun Kalang saja, satu posisi yang tetap tangguh melawan pergerakan zaman. <br /><br />*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.<br /></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-65459082745763438992009-02-27T17:19:00.000+07:002009-02-27T17:26:03.047+07:00GOLONGAN MUDA DAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN: SIAPA YANG MEMULAI?*<div align="justify">Sebentar lagi masyarakat Indonesia akan merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-63. Sudah tentu perayaan kemerdekaan ini akan lebih gegap gempita mengingat banyak prestasi yang sudah dicapai selama ini. Di bidang pendidikan saja sudah berapa puluh siswa sekolah menengah yang mencapai kemenangan di berbagai olympiade fisika dan matematika. Dalam jajaran perguruan tinggi dunia, universitas di Indonesia sudah mulai banyak yang masuk ranking 500 perguruan tinggi terbaik di dunia. Pengembangan teknologi yang meningkat dapat dilihat pula dalam prestasi mahasiswa Indonesia yang sudah mampu menciptakan teknologi tepat guna, penggunaan bahan bakar alternatif, dan pemanfaatan tenaga matahari sebagai sumber energi.</div><div align="justify"><br />Di bidang politik, tentu saja banyak kemajuan yang sudah dicapai oleh negeri Indonesia sebagai bangsa yang membuka diri terhadap aspirasi rakyatnya. Era reformasi memberikan peluang yang maksimal bagi siapa saja untuk berekspresi dan memberikan pilihannya lewat partai politik dan pemilu secara langsung. Sejak tahun 1999 kran kebebasan berpolitik menjadi keniscayaan mengingat pada fase Orde Baru kebebasan politik bak mimpi di siang bolong. Orde Reformasi memberikan peluang bagi anak bangsa untuk lebih kreatif memikirkan bangsanya. </div><div align="justify"><br />Dalam perkembangannya, sistem politik dan pemerintahan semakin demokratis. Pada tahun 2004 yang lalu sudah mulai direalisasikan model pemilihan langsung yang memposisikan Susilo Bambang Yudiyono dan Muhammad Yusuf Kalla sebagai presiden dan wapresnya yang didasarkan atas pilihan rakyat. Mendekati empat tahun dari itu sudah mulai berkembang wacana tentang presiden dari golongan muda yang dianggap mampu memberi kesegaran bagi kondisi bangsa yang belum beranjak benar dari krisis multidimensi ini.</div><div align="justify"><br />Sebagian masyarakat sekan terhenyak dari lamunannya, ketika Tifatul Sembiring dari PKS mengajukan usulan tentang perlunya calon presiden yang berusia muda. Menurutnya golongan muda pasti mempunyai ide dan gagasan yang lebih kreatif, cerdas, dan segar untuk menanggulangi keadaan negeri yang kacau ini. Apa yang dilontarkannya ini mendapat sorotan tajam dari lawan-lawan politiknya. Pernyataan itu tentu saja dicounter oleh partai-partai politik yang menjagokan calon presiden yang itu-itu saja. </div><div align="justify"><br />Jika kita mau melihat sejarah kembali tentang beberapa peristiwa penting yang terjadi di negeri ini sudah pasti kita akan tergugah dan sadar bahwa golongan muda atau anak muda mempunyai peran strategis bagi upaya melakukan perubahan yang diinginkan. Alasan pemimpin muda yang diusulkan oleh PKS pasti didasarkan pada asumsi sejarah bahwa merekalah yang menciptakan perubahan bagi masyarakatnya. Pernyataan tokoh PKS itu seakan ingin mengingatkan kita kembali tentang seberapa jauh peranan golongan muda dalam peristiwa-peristiwa penting di negeri ini. Dalam konteks peristiwa besar yang bernama proklamasi seberapa jauh peranan golongan muda terhadap upaya untuk memerdekan bangsanya. </div><div align="justify"><br />Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mengajak kita untuk berdialog kembali dengan masa lalu, apakah memang benar bahwa proklamasi kemerdekaan yang maha penting itu terjadi karena ada sekelompok anak muda yang begitu ngotot memperjuangkan apa yang sudah menjadi semangat bersama semenjak sumpah pemuda digulirkan. Bagaimanakah anak muda itu sampai memunculkan peristiwa Rengasdengklok sebagai bentuk ancaman bagi golongan tua yang dianggapnya membebek terhadap ucapan dan janji kemerdekaan Jepang?<br /><br /><strong>Pemuda dalam Sejarah Indonesia</strong><br />Selama ini, suara perayaan yang meriah setiap tahun terkadang tidak pernah mempersoalkan kembali hakikat kesejarahan peristiwa proklamasi. Artinya peristiwa proklamasi sudah menjadi kenyataan sejarah yang sudah terpatri kuat untuk tidak dipersoalkan kembali. Dalam hal ini tidak upaya untuk merekonstruksi tentang siapa yang lebih berperan dalam proklamasi itu apakah golongan tua ataukah justru golongan muda yang ngotot untuk sesegera mungkin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.</div><div align="justify"><br />Dalam sejarah Indonesia, terbukti jelas bahwa perubahan yang terjadi di bidang politik selalu dilakukan oleh sekelompok anak muda yang cerdas dan tanggap terhadap kondisi lingkungannya. Pendirian partai politik dan organisasi sosial pada masa pergerakan nasional, terlihat bahwa anak muda memprakarsai organisasi yang bercorak modern dan maju. Dalam hal ini dapat disebut Budi utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, PNI, Perhimpunan Indonesia, PKI, dan sebagainya. Puncak dari kesadaran berbangsa yang bermuara pada Sumpah Pemuda juga digawangi oleh anak muda yang sebelumnya terlatih lewat organisasi sosial politik yang dibentuknya. Kondisi bangsa yang kritis, penjajahan, kemelaratan dan pembodohan yang dilakukan oleh penguasa Hindia Belanda menyebabkan anak muda harus berpikir kreatif dan praksis agar ide dan ideologi pembebasan maupun perubahan dapat terjadi negeri yang tidak adil itu. </div><div align="justify"><br />Resiko yang dihadapi mereka pun sangat kejam. Nama-nama anak muda seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara adalah sejumput anak muda yang terbiasa dengan bui dan pembuangan. Beberapa anak muda itu menjadi pemuda yang teruji dan semakin matang dalam mengarungi pahit-getirnya perjuangan demi tegaknya kemerdekaan bagi bumi pertiwi.</div><div align="justify"><br />Pada masa Malaise, perjuangan anak muda semakin jelas dan mantap ketika mereka mengajukan tuntutan kemerdekaan melalui medan volksraad. Volksraad adalah jembatan penting bagi aspirasi politik masa itu yang menginginkan pelimpahan kekuasaan dalam jangka waktu sepuluh tahun secara bertahap. Namun, persoalan waktu yang tidak tepat menjadikan tuntutan anak muda tidak pernah direalisasikan pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Hindia Belanda meng-gantungkan permintaan itu sampai kemudian datang bala tentara Jepang yang menggantikan posisi sebagai penguasa di bumi nusantara.</div><div align="justify"><br />Pada masa Kolonial, tokoh-tokoh muda yang malang melintang di dunia pergerakan Indonesia sudah tidak muda lagi. Baik Soekarno, Hatta, Radjiman, Ki Hajar Dewantara dan lainnya bukan lagi pemuda dua puluhan atau tiga puluhan yang mempunyai idealisme yang sangat tinggi. Mereka berkolaborasi dengan Jepang untuk secara tidak langsung melanggengkan kekuasaan Jepang di Indonesia. Model Kebijakan Jepang yang sangat berbau propagandis diterima rakyat Indonesia berkat senyum dan sosialisasi melalui organisasi Gerakan 3A, Jawa Hokokai, Putera, Fujinkai, dan sebagainya. Media seperti Jawa Shimbun, Asia Raya, dan Kanpo turut menyemarakkan pesan Jepang pada masyarakat Indonesia yang mulai melek huruf. Dalam beberapa hal Bung Karno dan Bung Hatta dianggap terlarut dalam kekuasaan yang diciptakan oleh penguasa Jepang. </div><div align="justify"><br />Para aktivis yang sudah mulai menua itu tidak lagi menyuarakan aspirasi dan suara rakyat yang pernah didengung-dengungkan dahulu. Mereka masuk pada sistem yang tidak mungkin dilawannya. Ide dan gagasannya tentang perjuangan dan kemerdekaan tidak lagi memiliki idealisme yang tinggi. Pendeknya, mereka sudah terkontaminasi dengan kekuasaan yang memanjakannya.<br /><br /><strong>Peristiwa Rengasdengklok: Sebuah Strategi Anak Muda</strong><br />Sebuah masa akan melahirkan generasi yang mampu bersikap kritis dan idealis. Generasi seperti ini lahir karena anak muda yang mengalami langsung tantangan dan situasi yang mencipta mereka untuk berpikir, bergerak, dan berupaya mencari solusi yang terbaik bagi negerinya.</div><div align="justify"><br />Ketika anak muda ini melihat bahwa patron mereka sudah tidak lagi memiliki idealisme dan cita-cita yang semula digemar-gemborkan maka mereka akan mencoba bertindak sendiri. Bagi anak muda seperti Sukarni, Chaerul Shaleh, Adam Malik, Wikana, dan Darwis yang semula mengidolakan Bung Karno dan Bung Hatta, namun karena situasi dan kondisi politik yang tidak menentu dan keraguan dari sikap kedua tokoh patron mereka, akhirnya menyepakati untuk melakukan aksi penculikan sebagai bentuk ketegasan atas keinginan yang menderu untuk memerdekakan bangsa. </div><div align="justify"><br />Anak-anak muda itu tahu bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua tokoh yang sejak dahulu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun karena kedua tokoh itu sudah tidak lagi muda dan terkurung oleh janji-janji kemerdekaan Jenderal Terauchi maka mereka memilih untuk menentukan sendiri kapan kemerdekaan dapat dilaksanakan.</div><div align="justify"><br />Tak mungkin dipungkiri lagi bahwa faktor usia manusia mempengaruhi cara berpikir dalam memecahkan suatu masalah. Golongan tua kalau boleh disebut begitu yang rata-rata melekat pada anggota-anggota BPUPKI mempunyai cara pandang terlalu hati-hati dan memikirkan dampak serta resiko-resiko yang akan dihadapinya.</div><div align="justify"><br />Sebaliknya, anak muda yang memiliki idealisme tinggi cenderung terbawa emosi dan terburu-buru dalam memecahkan suatu masalah. Namun demikian, anak muda mempunyai satu kelebihan bahwa mereka cepat tanggap dengan keadaan sosial politik yang berubah begitu cepat. Artinya ide-ide apa yang terbawa oleh semangat zaman mempengaruhi corak pemikiran mereka. Pada peristiwa itu mereka lebih cepat merespon berita kekalahan Jepang dalam peperangan Asia-Pasifik. Pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki membawa telak Jepang terhadap sekutu. Berita yang tersiar lewat stasiun radio rakitan sendiri anak muda ditambah dengan kekosongan pemerintahan saat itu, mengilhami dan menyadarkan pada anak muda bahwa itulah waktu yang paling sesuai untuk memerdekakan bangsa Indonesia.</div><div align="justify"><br />Namun, baik Bung Karno, Bung Hatta, maupun Ahmad Subardjo seolah tidak bergeming dengan tuntutan anak muda-anak muda itu. Mereka bertiga menolak tawaran yang cenderung memaksa itu. Mereka menganggap bahwa ide kemerdekaan itu sesuatu yang konyol dan tidak realistis. Bagi golongan tua, anak muda seperti Wikana dan Darwis yang datang kepadanya dianggap pemuda ingusan yang tidak punya kemampuan untuk melakukan perubahan. </div><div align="justify"><br />Sindiran dan ejekan golongan tua itu untungnya tidak membuat drop mental anak muda. Darwis dan Wikana justru terpancing emosinya untuk melangkah lebih jauh dari apa yang diperkirakan Bung Karno dan Bung Hatta. Setelah mencapai kesepakatan dengan Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik, mereka untuk menculik Soekarno dan Hatta, serta mengungsikannya ke Rengasdengklok. Tujuan penculikan adalah agar kedua tokoh itu tidak lagi terpengaruh oleh penguasa Jepang dan mau secepatnya merealisasikan keinginan para pemuda. <br /><br /><strong>Proklamasi dan Penolakan Penandatanganan Golongan Muda</strong><br />Pada saat penyusunan proklamasi kemerdekaan selesai, Bung Karno dan Bung Hatta menyerahkan naskah itu kepada forum untuk dimintakan tanda tangan pada semua yang hadir saat itu. Namun, apa yang diinginkan Bung Hatta agar penandatangan naskah itu seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika ditolak oleh Sukarni. Sukarni menganggap bahwa tokoh-tokoh yang hadir adalah boneka atau badut-badut Jepang. </div><div align="justify"><br />Ucapan dan tindakan yang dilakukan Sukarni sudah pasti beralasan mengingat bahwa golongan tua yang duduk dalam BPUPKI maupun PPKI adalah orang-orang yang selama ini dimanja kedudukan dan materi oleh pihak Jepang. Golongan muda justru tidak pernah memasuki gelanggang politik yang disediakan oleh Jepang. Idealismenya tidak mau terkontaminasi fasilitas politik yang sudah dirancang oleh penguasa Jepang. Sukarni dan pemuda lainnya berdiri di luar sebagai pelopor gerakan bawah tanah yang sangat beresiko terhadap bayonet Kenpetai yang setiap saat mengintai gerakannya.</div><div align="justify"><br />Apa yang dilakukan Sukarni seolah mendapat pembenaran karena tidak ada satupun dari hadirin yang memprotes ucapannya. Berarti apa yang diucapkannya Sukarni sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. </div><div align="justify"><br />Sikap idealisme Sukarni dan pemuda lainnya tidak hanya berhenti pada tindakan itu saja. Ia juga menyarankan bahwa yang menandatangani naskah maha penting itu adalah Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Ide yang spontan itu ternyata menjadi solusi kebuntuan yang sempat tercipta. Mengapa yang mengusulkan ide itu justru Sukarni yang usianya lebih muda daripada beberapa generasi tua yang juga hadir di rumah laksamana Maeda itu? Sekali lagi, kelebihan anak muda dalam menyikapi sesuatu adalah kecepatannya tanggap dan merespon suatu hal. Sebagai anak muda tentu mempunyai energi dan kemauan tinggi untuk secara langsung disampaikan pada publik entah itu disukai golongan tua atau tidak. Namun demikian, Sukarni dan pemuda lain menganggap bahwa meski Bung Karno dan Bung Hatta adalah golongan tua, namun figur dan peranannya pada masa pergerakan perlu mendapat apresiasi dan imbalan yang setimpal. Apalagi kedua tokoh itu bagi anak muda menjadi simbol dari perjuangan dan kemerdekaan itu sendiri. <br /><br /><strong>Ketidaksepakatan terhadap Hasil Keputusan PPKI</strong><br />Anak muda yang terpaut usia belasan hingga dua puluhan tahun dibanding generasi tua, mempunyai konsekuensi sikap yang berbeda dalam menilai hasil sidang BPUPKI dan PPKI. Sejak awal anak muda merasa disisihkan dalam setiap pembuatan keputusan penting yang menyangkut nasib bangsa. Akibatnya anak muda saat itu sering membuat sidang-sidang tandingan untuk merespon hasil sidang PPKI yang dianggapnya tidak tegas dan menggantung. Anak muda membuat Kongres Pemuda Seluruh Jawa, Gerakan Angkatan Baru Indonesia, Gerakan Rakyat Baroe, dan sebagainya.</div><div align="justify"><br />Generasi muda tidak rela jika republik yang baru berdiri masih menyisakan sesuatu yang berbau Jepang. Badan dan lembaga seperti BPUPKI dan PPKI adalah produk Jepang yang dibuat untuk kepentingan politik Jepang. Apapun hasil dari produk lembaga tersebut sudah pasti akan ditolaknya. Pernah Bung Karno ingin memasukkan pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana ke dalam keanggotaan baru PPKI. Namun mereka tetap menolak dengan alasan yang sudah disebutkan di atas. Keputusan PPKI tentang pembentukan PNI sebagai partai tunggal dan BKR sebagai badan keamanan pengganti Badan Penyelamat Keluarga Perang juga tidak diterima begitu saja. Para pemuda menginginkan semua unsur masyarakat dilibatkan sebagai bukti dan bakti pengabdian pada negeri yang baru berdiri. <br /> <br /><strong>Refleksi: Membandingkan Masa Sekarang</strong><br />Melihat realitas historis tentang sepak terjang anak muda yang berhadapan dengan golongan tua pada saat penting membuat kita bertanya sejauhmana peran anak muda pada kondisi sekarang dalam menghadapi perubahan global. Anak muda yang dicitrakan pemberontak, bandel, anarkhis, dan sulit diatur mempunyai pandangan lebih cepat daripada generasi tua yang mengusung ide yang begitu saja. </div><div align="justify"><br />Proklamasi menjadi satu bukti penting bahwa kemerdekaan terwujud tidak semata peran Bung Karno dan Hatta saja. Justru adanya kasus penculikan keduanya di Rengasdengklok telah membawa akibat sejarah yang luar biasa besarnya. Peristiwa Rengasdengklok telah menjadi bukti bahwa anak muda dengan cara mereka sendiri mampu mewujudkan apa yang sudah dipendam selama ini yang penting bagi nasib bangsa selanjutnya.</div><div align="justify"><br />Ketika Bung Karno masih tetap menghadap Jenderal Nishimira untuk meminta persetujuan melaksanakan proklamasi, anak muda mulai gemas melihat perilaku politik yang masih ewuh dan takut yang dilakukan Soekarno itu. Untung saja para pemuda sudah mengatur semua agar naskah proklamasi segera dirancang di rumah Laksamana Maeda.</div><div align="justify"><br />Pada kondisi sekarang, di mana peristiwa pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI sudah terjadi 62 tahun yang lalu, apakah kaum muda masih membiarkan saja ketika elit politik yang sudah tidak muda lagi menjalankan roda pemerintahan hampir tidak ada perubahan dalam konteks kemajuan? Wacana tentang pemimpin muda barangkali ada benarnya jika dilihat banyaknya kasus KKN yang dilakukan oleh anggota dewan, birokrat, dan dunia perbankan yang pelakunya adalah anak muda yang mulai berumur dan terkontaminasi oleh virus KKN. Jika golongan tua sebagai elit politik tidak merubah perilaku politiknya yang cenderung negatif apakah mereka sudah siap ketika anak muda menuntut pada mereka untuk melempar tongkat estafet kepemimpinan secara paksa? <br /><br />*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.<br /></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-58055775563409752962009-02-27T17:13:00.000+07:002009-02-27T17:16:13.276+07:00MELURUSKAN SEJARAH KENDAL*<div align="justify">Masyarakat Kendal agak sedikit lega dan berbangga hati karena pemerintah akan segera melaksanakan Sosialisasi, Kajian Penelitian dan Penyusunan Buku Sejarah Kendal yang rencananya dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 28 Oktober 2008 di Operational Room Setda Kendal. Beberapa pihak dilibatkan demi suksesnya kegiatan tersebut. Tak lupa pula, Pemda Kendal mengundang para guru sejarah untuk berpartisipasi memberikan masukan agar sosialisasi dan pengkajian buku tentang sejarah Kendal bisa mencapai hasil yang diharapkan. </div><div align="justify"><br />Tanpa mendahului apa yang menjadi kesimpulan dalam kegiatan tersebut, tulisan ini berupaya memberikan gambaran tentang hal apa sajakah yang mendasari kegiatan tersebut, apa yang akan menjadi solusi dari pertemuan menarik itu, dan apa kebermanfaatan dari buku sejarah Kendal yang dihasilkan nantinya. </div><div align="justify"><br />Sebagai warga Kendal sendiri, penulis melihat bahwa dasar pemikiran mengapa pemerintah daerah kendal perlu membuat kajian sejarah Kendal karena beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut antara lain:</div><div align="justify"><br />Pertama, Pemda Kendal perlu mewadahi pendapat para budayawan lokal, guru sejarah, dan pelaku sejarah, maupun masyarakat umum tentang minimnya bahan-bahan tulisan tentang Kendal yang bisa digunakan sebagai sumber referensi. Referensi yang minimal tersebut membatasi para guru untuk mengkisahkan secara utuh tentang apa yang terjadi di Kabupaten Kendal selama periode Hindu-Buddha, Islam, VOC, Kolonial Belanda, Jepang, dan Indonesia Merdeka. </div><div align="justify"><br />Kedua, buku-buku yang mengkaji tentang Kendal belum begitu mempergunakan data-data historis yang ilmiah. Adanya buku Babad Tanah Kendal (BTK) yang sangat terkenal seakan menjadi satu-satunya referensi yang dianggap benar secara historis. Hal ini jelas kurang pas. Tanpa meremehkan jasa penulis BTK, sebetulnya buku tersebut sejak semula bercerita tentang Kendal dari sudut pandang tradisi lisan. Artinya buku tersebut diperuntukan bukan sebagai kitab sejarah, melainkan acuan masyarakat tentang legenda daerahnya. </div><div align="justify"><br />Ketiga, sudah saatnya penulisan sejarah lokal di angkat ke permukaan. Persoalan kurikulum KTSP bidang sejarah memberikan peluang bagi guru dan masyarakat untuk bersama menyusun sebuah konsep pembelajaran yang menitikberatkan pada kondisi lingkungan setempat. Agaknya Pemda Kendal turut berjasa dan berperan dalam menyikapi kondisi ini. Adanya sosialisasi, pengkajian, penelitian dan penyusunan buku Sejarah Kendal merupakan upaya nyata Pemda Kendal untuk mengangkat persoalan sejarrah Kendal sebagai komoditas belajar bagi siswa yang belajar di Kabupaten Kendal. </div><div align="justify"><br />Demikian beberapa pertimbangan singkat yang mungkin menjadi dasar pemikiran Pemda Kendal untuk membuka peluang penulisan sejarah Kendal. Dalam penelitian dan penulisan sejarah Kendal tentu saja akan menghadapi beberapa kendala di lapangan. Kendala itu antara lain adalah: </div><div align="justify"><br />Pertama, persoalan arsip dan sumber sejarah yang sudah tidak mudah ditemukan lagi. Sudah barang tentu arsip dan tulisan masa lalu sulit ditemukan. Budaya menyimpan arsip-arsip tua belum ada pada masyarakat kita. Oleh karena itu pemda harus bersikeras untuk mendapatkan arsip dan sumber sejarah tentang Kendal dengan bekerja sama ARNAS Jakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, atau beberapa perpustakaan terkenal di Leiden Belanda. </div><div align="justify"><br />Kedua, kurangnya tenaga penelitian yang berasal dari lingkungan Pemda Kendal sendiri. Sudah bukan rahasia lagi, pemda setiap kabupaten pasti kurang atau tidak memiliki tenaga ahli yang cakap di bidang penelitian humaniora. Kekurangan tenaga peneliti ini bisa mengambil atau bekerja sama dengan dosen-dosen sejarah yang terdekat seperti Undip dan Unnes. Banyak dosen kedua universitas tersebut memiliki jaringan dengan Universitas Leiden.</div><div align="justify"><br />Ketiga, masalah biaya. Pembiayaan untuk melaksanakan penelitian dan penyusunan buku ini sangat besar. Harusnya seberapa besar biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan hasil yang diperolehnya. Hal ini agak repot jika nuansa proyek malah justru diprioritaskan dalam penyelesaian penelitian ini. Hasilnya nanti tidak lagi karya sejarah yang kaya data malah justru miskin data pendukung. </div><div align="justify"><br />Keempat, kurangnya fokusnya kajian. Kelemahan penyusunan sejarah sebuah kabupaten harusnya melihat aspek apa yang akan dibidik terlebih dahulu. Jika segala aspek akan dikaji seluruhnya dalam waktu yang singkat maka menghasilkan karya sejarah yang overlapping. Sebenarnya akan lebih baik jika Pemda Kendal lebih fokus pada aspek tertentu yang akan dikaji lebh dahulu. Pemda bisa memfokuskan pada aspek politik, ekonomi, sosial atau budaya saja. Secara bertahap pemerintah melaksanakan penyusunan aspek-aspek tersebut hingga akhirnya nanti dapat dicapai tulisan yang komprehensif. </div><div align="justify"><br />Itulah beberapa kendala yang mungkin akan muncul di lapangan. Niat baik pemerintah daerah Kendal bila tidak diimbangi dengan perhatian dan pertimbangan yang masak bisa jadi menghasilkan karya sejarah yang asal saja, tidak ilmiah, dan ngambang. Buku Babad Tanah Kendal yang sudah ada bisa menjadi titik tolak untuk melangkah dalam melakukan penelitian dan penyusunan buku sejarah Kendal. Meskipun buku itu bukan karya sejarah namun data-data yang berupa cerita tutur masih dapat digunakan sebagai bahan sejarah (the collective history). Jika menyangkut peristiwa politik yang terjadi pada masa Indonesia Merdeka, tim penyusun buku tersebut dapat pula meramu data dari para pelaku sejarah yang masih hidup melalui metode oral history, agar penyusun mendapatkan gambaran dan imajinasi masa lalu yang tidak kaku. </div><div align="justify"><br />Akhirnya, harapan masyarakat Kendal dengan adanya buku sejarah Kendal itu adalah memjadikannya sebagai produk yang dapat memberikan satu kebanggaan bagi masyarakat Kendal sendiri. Bukankah suatu masyarakat bangga jika daerahnya mempunyai akar sejarah yang panjang? Buku itu menjadi simbol kedirian dan kelampauan masyarakat Kendal. Jika History of Java saja mampu diciptakan Raffles dalam segala keterbatasan fasilitas, dan mampu memberikan spektrum pengembangan wawasan historis pembacanya akan Jawa pada masa itu, maka buku Sejarah Kendal harus pula mampu menghentikan dahaga informasi tentang kesilaman Kendal. <br /></div><p align="justify">Namun demikian, jangan sampai isi buku sejarah Kendal itu nanti malah menimbulkan semangat primordial yang tidak pada tempatnya. Jangan sampai pula tujuan dan maksud penyusunan buku itu hanya dijadikan sebagai alat legitimasi politik bagi tokoh-tokoh tertentu yang sedang bersiap menghadapi pemilu mendatang.</p><p align="justify">*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.</p><p align="justify"><br /></p><div align="justify"><br /><strong></strong><br /></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-68401395802071947632009-02-25T17:12:00.000+07:002009-02-25T17:26:08.252+07:00KE(TIDAK)SIAPAN GURU DAN SEKOLAH DALAM MENYIKAPI RINTISAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASONAL*<div align="justify">Tuntunan kemajuan zaman meminta perubahan kurikulum yang lebih unggul, terarah, berkualitas, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat global. Pendidikan mau tidak mau mengikuti arus perubahan zaman itu sendiri. Bahkan pendidikan yang baik harus dapat mengantisipasi selera dan gejala perubahan yang akan terjadi. </div><div align="justify"><br />Bentuk antisipasi kebijakan pendidikan menengah terhadap selera perubahan global adalah mewujudkan kurikulum berstandar Internasional. Dalam kurikulum ini mengacu pada keterwujudan output yang memiliki dan keterandalan internasional. Kurikulum ini ingin melahirkan produk dan kualitas lulusan yang sama dengan lulusan sekolah luar negeri seperti Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat serta negara maju yang lainnya.<br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Sebagai wujud konkrit SBI adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar bidang pelajaran MIPA dan bahasa Inggris itu sendiri. Hal ini terkait dengan lemahnya landasan dasar bahasa Inggris sebagai bekal lulusan untuk bersaing di dunia internasional. Siswa yang mampu mempergunakan bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan jelas dianggap memiliki kualifikasi internasional dan kepadanya layak disebut outcomes berkualitas. <br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Oleh karena itu, terlihat pemerintah menitikberatkan sektor bahasa sebagai satu-satunya sumber kelemahan pendidikan di Indonesia tanpa pernah melirik apakah ada sektor lain yang perlu dibenahi dalam mempersiapkan lulusan agar dapat berkompeten di dunia kerja pada masyarakat global ini. <br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Pada dasarnya bahasa adalah alat untuk memahami medium keilmuan agar mudah terjadinya proses transformasi. Bahasa adalah seperangkat simbol yang tersusun untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan dari satu pihak kepada pihak lain. Di sisi lain, Indonesia memiliki beragam suku bangsa yang memiliki bahasa lokal yang berbeda-beda. Dalam penyampaian materi pelajaran sering ditemukan guru menambahkan kosakata bahasa setempat agar siswa lebih tertarik dalam mengikuti pembelajaran. Bagi sekolah yang sudah SBI, kebiasaan dan kreativitas guru dalam mengajar dengan menggunakan bahasa campuran ini dapat dianggap mengganggu upaya mempercepat ketrampilan berbahasa Inggris guru bidang studi MIPA. Realitas di lapangan guru MIPA sangat pandai menguasai materinya tetapi mereka mengalami kesulitan untuk menyampaikan materi MIPA dengan bahasa Inggris. Banyak istilah teknis yang harus dikuasai kembali agar mereka mampu menjelaskan suatu materi pada siswa. Jika dahulu mereka mencampur kosa kata bahasa daerah setempat dengan bahasa Indonesia agar siswa lebih mudah memahami materi, sekarang guru harus konsisten dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pelajaran tersebut, meski dengan terjalinnya komunikasi yang tidak komunikatif dan kaku.<br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk mengurangi gejala seperti itu maka dilaksanakanlah pelatihan dan kursus bahasa Inggris bagi guru SBI. Alhasil, para guru harus berkejaran dengan waktu agar bisa mengajar siswa dengan bahasa Inggris itu. Persiapan yang sangat kurang mau tidak mau harus dilakukan guru agar mereka dapat berbicara di depan siswa-siswanya.<br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Jika guru tersebut menyukai tantangan dan menganggap rintangan adalah medan pertempuran untuk memajukan kualitas SDMnya maka sudah pasti mereka akan cepat belajar dan menguasai bahasa Inggris. Sebaliknya jika gurunya surut semangatnya karena merasa sudah tua maka sudah pasti akan mengalami ketersiksaan untuk menghafal ratusan bahkan ribuan kosakata bahasa Inggris.<br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Ada hal lain yang harus pula dipikirkan pemerintah agar SBI benar-benar memiliki kualifkasi unggul. Selain faktor bahasa yang harus dikuasai lulusan sekolah menengah, pemerintah perlu meningkatkan kualitas SDM guru melalui pelatihan, workshop, penataran, dan studi lanjut. Dengan produk S-1 hasil lulusan lima, sepuluh, bahkan 15 tahun yang lalu sudah pasti ketinggalan zaman. Kebutuhan kualitas siswa SBI harus ditunjang perubahan kurikulum di perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi hanya memproduksi lulusan sebanyak-banyaknya tanpa berpikir bagaimana kualitas SDMnya. Tunjangan sertifikasi guru yang sudah diberikan pada sebagian besar guru S-1 ini harus dipergunakan untuk pengembangan diri dan SDM guru melalui studi lanjut S-2 yang linier dan berbobot. Sayangnya banyak guru mempergunakan dana tunjangan sertifikasinya untuk menambah selera konsumtifnya.<br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Pemerintah perlu pula mengadakan seleksi ulang bagi para guru SBI. Guru SBI bukanlah kumpulan para guru yang sudah sejak dahulu mengajar di sekolah yang kebetulan menjadi proyek SBI. Program SBI akan lebih efektif jika pemerintah membuat sistem seleksi berdasarkan ijasah yang linier dengan bidang studi yang diampu, kemampuan bahasa Inggris, dan kemampuan mengajar dari guru PNS yang ada di daerah atau propinsi yang bersangkutan. Realitas di lapangan, banyak guru yang tersiksa karena harus mengajar dengan bahasa Inggris hanya kebetulan mereka sudah ditempatkan di sekolah tersebut sebelumnya. <br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Dengan ketentuan SBI berarti pula menuntut para guru untuk merubah mindset selama ini. Pola berpikir mereka harus mengalami penyegaran. Guru tidak hanya bertanggung jawab pada saat pembelajaran saja, melainkan perlu melengkapi segala administrasi pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Guru membuat rencana pengajaran yang di dalamya berisi strategi pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Jika dahulu mereka selesai mengajar lalu pulang, sekarang beban dan tanggung jawab guru SBI sangat berat dan melelahkan. <br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">Dengan demikian, apa yang sudah diperjuangkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia agar mampu bersaing di dunia internasional sudah terjawab. Bahasa memang faktor penting yang memegang peranan keberhasilan dalam transformasi pengetahuan. Namun menganggap bahasa Inggris saja sebagai satu-satunya point yang harus dikuasai guru SBI dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran jelas kurang proporsional. Faktor lain seperti kesejahteraan guru, pengembangan SDM guru melalui pendidikan lanjutan, mentalitas guru dalam mengajar, tertib administrasi, serta inovasi dan kreatifitas dalam merencanakan kegiatan pembelajaran perlu diperhatikan pula oleh pemerintah agar nanti program SBI benar-benar ide dan keseriusan pemerintah untuk memajukan pendidikan anak negeri. <br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. <br /><br /><br /></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1740446057117826191.post-25537622216446063632009-02-25T16:20:00.000+07:002009-02-25T16:27:12.033+07:00TENTANG BUKU ELEKTRONIK: SEBUAH RESPON*<div align="justify">Kebijakan pemerintah mengeluarkan buku elektronik (BE) perlu mendapat apresiasi positip dari semua kalangan, lebih-lebih pihak yang bergelut di bidang pendidikan. Di samping buku elektronik diberikan sebagai upaya memangkas biaya yang muncul pada saat pascaproduksi, pemerintah berkeinginan agar buku itu bisa di download semua sekolah ataupun siswa yang berada di mana saja agar terjadi pemerataan kualitas pendidikan antara kota dengan desa maupun antara Jawa dengan luar Jawa.</div><div align="justify"><br />Untuk mengantisipasi agar harga buku itu terjangkau ketika sudah tercetak maka pemerintah perlu memberi batasan harga maksimal dengan sebutan harga eceran tertinggi (HET). Antara satu buku dengan buku lainnya memiliki HET yang berbeda yang tergantung jumlah halamannya. Pemerintah memberi peluang pada siapa saja untuk mencetak dan menjual buku elektronik asalkan harganya masih di bawah HET yang sudah ditentukan.</div><div align="justify"><br />Di sisi lain kebijakan yang istimewa ini belum tentu membuahkan hasil dan harapan yang tanpa kelemahan. Pemerintah tentu sudah berusaha menutupi beragam kelemahan yang mungkin muncul di belakang hari. Namun demikian, realitas di lapangan masih terdapat beberapa kelemahan. </div><div align="justify"><br />Pertama, adanya BE tentu memberikan bentuk persaingan antara penerbit umum dengan pihak pemerintah. Harga murah yang menguntungkan peserta didik ini akan membawa bentuk kerugian pada penerbit yang biasa mendestribusikan buku ke sekolah-sekolah atau toko buku. Jika pemerintah tidak jeli maka banyak penerbit yang gulung tikar atau minimal mengalami kerugian.</div><div align="justify"><br />Kedua, tidak semua BE sudah dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Ada beberapa buku yang belum bisa didownload karena buku tersebut belum masuk/dimasukkan dalam internet. BE yang terkait dengan mapel Bahasa Inggris tidak semuanya ada, apalagi mapel sosiologi, geografi, dan sejarah budaya untuk program bahasa. </div><div align="justify"><br />Ketiga, tidak banyak sekolah yang sudah berbasis IT. Sekolah di perkotaan secara umum sudah menggunakan teknologi IT sebagai media dan sumber belajar, namun sekolah di desa, pegunungan, luar Jawa, kawasan terisolir/terpencil, mungkin belum mempunyai perangkat multi media yang bisa digunakan untuk mengunduh piranti BE sebagai sumber belajar.</div><div align="justify"><br />Keempat, peserta didik yang berasal dari kawasan pedesaan atau terpencil sudah pasti belum atau tidak mempunyai piranti IT. Mereka belum mengenal dunia maya sebaik peserta didik yang berasal dari perkotaan.</div><div align="justify"><br />Kelima, masalah budaya baca. Sudah bukan rahasia umum bahwa minat baca siswa kita belumlah tinggi. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bukti tersebut. Jika siswa diarahkan untuk mengakses BE, maka sudah pasti mereka akan memilih informasi lain yang sekiranya lebih menghibur. Pembiasaan membaca informasi di internet sudah barang tentu terkait dengan seberapa besar siswa mempunyai minat baca yang sama pada buku atau informasi tercetak.</div><div align="justify"><br />Lalu, apa yang bisa dijadikan solusi untuk memecah kebuntuan itu. Tentu saja banyak usaha untuk mencari alternatif dan menjadikan BE sebagai sumber bacaan yang murah dan penting.<br />Pertama, pemerintah sejak mula sudah siap membeli hak cipta pengarang BE dengan harga yang pantas. Artinya, BE tetap menumbuhkan persaingan yang sehat antara penerbit swasta dengan pemerintah. Pemerintah sendiri juga memberi peluang bagi pihak swasta untuk bekerja sama dalam menerbitkan BE. Penerbit besar/kecil boleh memperbanyak dan menjual BE kepada masyarakat.</div><div align="justify"><br />Kedua, sekolah menfasilitasi dan berusaha membuka kesempatan pada siswa untuk mengakses BE melalui media internet yang sudah tersedia. Jika belum tersedia maka menjadi PR sekolah mewujudkan fasilitas IT di sekolahnya masing-masing.</div><div align="justify"><br />Ketiga, sekolah bekerja sama dengan pihak swasta dalam rangka memperbanyak BE dengan harga yang sudah ditentukan, yaitu di bawah HET. Sangat boleh jika pihak swasta melibatkan diri untuk mencetak dan memperbanyak buku elektronik tersebut dengan harga yang pantas sesuai dengan ketentuan HET dengan sudah memberikan keuntungan pada sekolah yang bersangkutan.</div><div align="justify"><br />Keempat, sekolah membeli buku elektronik dalam bentuk sudah tercetak minimal sebanyak 40 eksemplar/bidang studi untuk menambah koleksi perpustakaan sekolah. Adanya kebijakan itu berarti sekolah turut mengurangi beban siswa yang kurang mampu. Dengan adanya BE di perpustakaan sekolah berarti siswa mampu mengakses keberadaan isi BE tanpa harus membelinya secara pribadi. Pada jam pelajaran tertentu siswa dapat diarahkan untuk mempergunakan BE tersebut.</div><div align="justify"><br />Demikian apa yang bisa dilakukan sekolah dalam rangka mewujudkan siswa kreatif dan cerdas dengan basis media Teknologi dan Informasi. Namun BE yang semula berkeinginan untuk memasarkan penggunaan IT di lingkungan sekolah ternyata kembali pada fungsi bahan ajar konvensional karena beberapa keterbatasan yang dimiliki sebuah sekolah. BE tidak lebih buku paket pelajaran biasa yang sering dipergunakan siswa pada umumnya, karena dalam realiastnya terwujud dalam keadaan tercetak dan kurang memaksimalkan interaksi siswa dalam kegiatan pembelajaran. <br /></div><div align="justify"></div><div align="justify">*Penulis: Muslichin, guru sejarah SMA 2 Kendal<br /><br /></div>the scholl articleshttp://www.blogger.com/profile/17077341790896333757noreply@blogger.com0