Rabu, 25 Februari 2009

TENTANG BUKU ELEKTRONIK: SEBUAH RESPON*

Kebijakan pemerintah mengeluarkan buku elektronik (BE) perlu mendapat apresiasi positip dari semua kalangan, lebih-lebih pihak yang bergelut di bidang pendidikan. Di samping buku elektronik diberikan sebagai upaya memangkas biaya yang muncul pada saat pascaproduksi, pemerintah berkeinginan agar buku itu bisa di download semua sekolah ataupun siswa yang berada di mana saja agar terjadi pemerataan kualitas pendidikan antara kota dengan desa maupun antara Jawa dengan luar Jawa.

Untuk mengantisipasi agar harga buku itu terjangkau ketika sudah tercetak maka pemerintah perlu memberi batasan harga maksimal dengan sebutan harga eceran tertinggi (HET). Antara satu buku dengan buku lainnya memiliki HET yang berbeda yang tergantung jumlah halamannya. Pemerintah memberi peluang pada siapa saja untuk mencetak dan menjual buku elektronik asalkan harganya masih di bawah HET yang sudah ditentukan.

Di sisi lain kebijakan yang istimewa ini belum tentu membuahkan hasil dan harapan yang tanpa kelemahan. Pemerintah tentu sudah berusaha menutupi beragam kelemahan yang mungkin muncul di belakang hari. Namun demikian, realitas di lapangan masih terdapat beberapa kelemahan. 

Pertama, adanya BE tentu memberikan bentuk persaingan antara penerbit umum dengan pihak pemerintah. Harga murah yang menguntungkan peserta didik ini akan membawa bentuk kerugian pada penerbit yang biasa mendestribusikan buku ke sekolah-sekolah atau toko buku. Jika pemerintah tidak jeli maka banyak penerbit yang gulung tikar atau minimal mengalami kerugian.

Kedua, tidak semua BE sudah dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Ada beberapa buku yang belum bisa didownload karena buku tersebut belum masuk/dimasukkan dalam internet. BE yang terkait dengan mapel Bahasa Inggris tidak semuanya ada, apalagi mapel sosiologi, geografi, dan sejarah budaya untuk program bahasa. 

Ketiga, tidak banyak sekolah yang sudah berbasis IT. Sekolah di perkotaan secara umum sudah menggunakan teknologi IT sebagai media dan sumber belajar, namun sekolah di desa, pegunungan, luar Jawa, kawasan terisolir/terpencil, mungkin belum mempunyai perangkat multi media yang bisa digunakan untuk mengunduh piranti BE sebagai sumber belajar.

Keempat, peserta didik yang berasal dari kawasan pedesaan atau terpencil sudah pasti belum atau tidak mempunyai piranti IT. Mereka belum mengenal dunia maya sebaik peserta didik yang berasal dari perkotaan.

Kelima, masalah budaya baca. Sudah bukan rahasia umum bahwa minat baca siswa kita belumlah tinggi. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bukti tersebut. Jika siswa diarahkan untuk mengakses BE, maka sudah pasti mereka akan memilih informasi lain yang sekiranya lebih menghibur. Pembiasaan membaca informasi di internet sudah barang tentu terkait dengan seberapa besar siswa mempunyai minat baca yang sama pada buku atau informasi tercetak.

Lalu, apa yang bisa dijadikan solusi untuk memecah kebuntuan itu. Tentu saja banyak usaha untuk mencari alternatif dan menjadikan BE sebagai sumber bacaan yang murah dan penting.
Pertama, pemerintah sejak mula sudah siap membeli hak cipta pengarang BE dengan harga yang pantas. Artinya, BE tetap menumbuhkan persaingan yang sehat antara penerbit swasta dengan pemerintah. Pemerintah sendiri juga memberi peluang bagi pihak swasta untuk bekerja sama dalam menerbitkan BE. Penerbit besar/kecil boleh memperbanyak dan menjual BE kepada masyarakat.

Kedua, sekolah menfasilitasi dan berusaha membuka kesempatan pada siswa untuk mengakses BE melalui media internet yang sudah tersedia. Jika belum tersedia maka menjadi PR sekolah mewujudkan fasilitas IT di sekolahnya masing-masing.

Ketiga, sekolah bekerja sama dengan pihak swasta dalam rangka memperbanyak BE dengan harga yang sudah ditentukan, yaitu di bawah HET. Sangat boleh jika pihak swasta melibatkan diri untuk mencetak dan memperbanyak buku elektronik tersebut dengan harga yang pantas sesuai dengan ketentuan HET dengan sudah memberikan keuntungan pada sekolah yang bersangkutan.

Keempat, sekolah membeli buku elektronik dalam bentuk sudah tercetak minimal sebanyak 40 eksemplar/bidang studi untuk menambah koleksi perpustakaan sekolah. Adanya kebijakan itu berarti sekolah turut mengurangi beban siswa yang kurang mampu. Dengan adanya BE di perpustakaan sekolah berarti siswa mampu mengakses keberadaan isi BE tanpa harus membelinya secara pribadi. Pada jam pelajaran tertentu siswa dapat diarahkan untuk mempergunakan BE tersebut.

Demikian apa yang bisa dilakukan sekolah dalam rangka mewujudkan siswa kreatif dan cerdas dengan basis media Teknologi dan Informasi. Namun BE yang semula berkeinginan untuk memasarkan penggunaan IT di lingkungan sekolah ternyata kembali pada fungsi bahan ajar konvensional karena beberapa keterbatasan yang dimiliki sebuah sekolah. BE tidak lebih buku paket pelajaran biasa yang sering dipergunakan siswa pada umumnya, karena dalam realiastnya terwujud dalam keadaan tercetak dan kurang memaksimalkan interaksi siswa dalam kegiatan pembelajaran.  
*Penulis: Muslichin, guru sejarah SMA 2 Kendal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar