Jumat, 27 Februari 2009

GOLONGAN MUDA DAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN: SIAPA YANG MEMULAI?*

Sebentar lagi masyarakat Indonesia akan merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-63. Sudah tentu perayaan kemerdekaan ini akan lebih gegap gempita mengingat banyak prestasi yang sudah dicapai selama ini. Di bidang pendidikan saja sudah berapa puluh siswa sekolah menengah yang mencapai kemenangan di berbagai olympiade fisika dan matematika. Dalam jajaran perguruan tinggi dunia, universitas di Indonesia sudah mulai banyak yang masuk ranking 500 perguruan tinggi terbaik di dunia. Pengembangan teknologi yang meningkat dapat dilihat pula dalam prestasi mahasiswa Indonesia yang sudah mampu menciptakan teknologi tepat guna, penggunaan bahan bakar alternatif, dan pemanfaatan tenaga matahari sebagai sumber energi.

Di bidang politik, tentu saja banyak kemajuan yang sudah dicapai oleh negeri Indonesia sebagai bangsa yang membuka diri terhadap aspirasi rakyatnya. Era reformasi memberikan peluang yang maksimal bagi siapa saja untuk berekspresi dan memberikan pilihannya lewat partai politik dan pemilu secara langsung. Sejak tahun 1999 kran kebebasan berpolitik menjadi keniscayaan mengingat pada fase Orde Baru kebebasan politik bak mimpi di siang bolong. Orde Reformasi memberikan peluang bagi anak bangsa untuk lebih kreatif memikirkan bangsanya. 

Dalam perkembangannya, sistem politik dan pemerintahan semakin demokratis. Pada tahun 2004 yang lalu sudah mulai direalisasikan model pemilihan langsung yang memposisikan Susilo Bambang Yudiyono dan Muhammad Yusuf Kalla sebagai presiden dan wapresnya yang didasarkan atas pilihan rakyat. Mendekati empat tahun dari itu sudah mulai berkembang wacana tentang presiden dari golongan muda yang dianggap mampu memberi kesegaran bagi kondisi bangsa yang belum beranjak benar dari krisis multidimensi ini.

Sebagian masyarakat sekan terhenyak dari lamunannya, ketika Tifatul Sembiring dari PKS mengajukan usulan tentang perlunya calon presiden yang berusia muda. Menurutnya golongan muda pasti mempunyai ide dan gagasan yang lebih kreatif, cerdas, dan segar untuk menanggulangi keadaan negeri yang kacau ini. Apa yang dilontarkannya ini mendapat sorotan tajam dari lawan-lawan politiknya. Pernyataan itu tentu saja dicounter oleh partai-partai politik yang menjagokan calon presiden yang itu-itu saja. 

Jika kita mau melihat sejarah kembali tentang beberapa peristiwa penting yang terjadi di negeri ini sudah pasti kita akan tergugah dan sadar bahwa golongan muda atau anak muda mempunyai peran strategis bagi upaya melakukan perubahan yang diinginkan. Alasan pemimpin muda yang diusulkan oleh PKS pasti didasarkan pada asumsi sejarah bahwa merekalah yang menciptakan perubahan bagi masyarakatnya. Pernyataan tokoh PKS itu seakan ingin mengingatkan kita kembali tentang seberapa jauh peranan golongan muda dalam peristiwa-peristiwa penting di negeri ini. Dalam konteks peristiwa besar yang bernama proklamasi seberapa jauh peranan golongan muda terhadap upaya untuk memerdekan bangsanya. 

Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mengajak kita untuk berdialog kembali dengan masa lalu, apakah memang benar bahwa proklamasi kemerdekaan yang maha penting itu terjadi karena ada sekelompok anak muda yang begitu ngotot memperjuangkan apa yang sudah menjadi semangat bersama semenjak sumpah pemuda digulirkan. Bagaimanakah anak muda itu sampai memunculkan peristiwa Rengasdengklok sebagai bentuk ancaman bagi golongan tua yang dianggapnya membebek terhadap ucapan dan janji kemerdekaan Jepang?

Pemuda dalam Sejarah Indonesia
Selama ini, suara perayaan yang meriah setiap tahun terkadang tidak pernah mempersoalkan kembali hakikat kesejarahan peristiwa proklamasi. Artinya peristiwa proklamasi sudah menjadi kenyataan sejarah yang sudah terpatri kuat untuk tidak dipersoalkan kembali. Dalam hal ini tidak upaya untuk merekonstruksi tentang siapa yang lebih berperan dalam proklamasi itu apakah golongan tua ataukah justru golongan muda yang ngotot untuk sesegera mungkin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dalam sejarah Indonesia, terbukti jelas bahwa perubahan yang terjadi di bidang politik selalu dilakukan oleh sekelompok anak muda yang cerdas dan tanggap terhadap kondisi lingkungannya. Pendirian partai politik dan organisasi sosial pada masa pergerakan nasional, terlihat bahwa anak muda memprakarsai organisasi yang bercorak modern dan maju. Dalam hal ini dapat disebut Budi utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, PNI, Perhimpunan Indonesia, PKI, dan sebagainya. Puncak dari kesadaran berbangsa yang bermuara pada Sumpah Pemuda juga digawangi oleh anak muda yang sebelumnya terlatih lewat organisasi sosial politik yang dibentuknya. Kondisi bangsa yang kritis, penjajahan, kemelaratan dan pembodohan yang dilakukan oleh penguasa Hindia Belanda menyebabkan anak muda harus berpikir kreatif dan praksis agar ide dan ideologi pembebasan maupun perubahan dapat terjadi negeri yang tidak adil itu. 

Resiko yang dihadapi mereka pun sangat kejam. Nama-nama anak muda seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara adalah sejumput anak muda yang terbiasa dengan bui dan pembuangan. Beberapa anak muda itu menjadi pemuda yang teruji dan semakin matang dalam mengarungi pahit-getirnya perjuangan demi tegaknya kemerdekaan bagi bumi pertiwi.

Pada masa Malaise, perjuangan anak muda semakin jelas dan mantap ketika mereka mengajukan tuntutan kemerdekaan melalui medan volksraad. Volksraad adalah jembatan penting bagi aspirasi politik masa itu yang menginginkan pelimpahan kekuasaan dalam jangka waktu sepuluh tahun secara bertahap. Namun, persoalan waktu yang tidak tepat menjadikan tuntutan anak muda tidak pernah direalisasikan pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Hindia Belanda meng-gantungkan permintaan itu sampai kemudian datang bala tentara Jepang yang menggantikan posisi sebagai penguasa di bumi nusantara.

Pada masa Kolonial, tokoh-tokoh muda yang malang melintang di dunia pergerakan Indonesia sudah tidak muda lagi. Baik Soekarno, Hatta, Radjiman, Ki Hajar Dewantara dan lainnya bukan lagi pemuda dua puluhan atau tiga puluhan yang mempunyai idealisme yang sangat tinggi. Mereka berkolaborasi dengan Jepang untuk secara tidak langsung melanggengkan kekuasaan Jepang di Indonesia. Model Kebijakan Jepang yang sangat berbau propagandis diterima rakyat Indonesia berkat senyum dan sosialisasi melalui organisasi Gerakan 3A, Jawa Hokokai, Putera, Fujinkai, dan sebagainya. Media seperti Jawa Shimbun, Asia Raya, dan Kanpo turut menyemarakkan pesan Jepang pada masyarakat Indonesia yang mulai melek huruf. Dalam beberapa hal Bung Karno dan Bung Hatta dianggap terlarut dalam kekuasaan yang diciptakan oleh penguasa Jepang. 

Para aktivis yang sudah mulai menua itu tidak lagi menyuarakan aspirasi dan suara rakyat yang pernah didengung-dengungkan dahulu. Mereka masuk pada sistem yang tidak mungkin dilawannya. Ide dan gagasannya tentang perjuangan dan kemerdekaan tidak lagi memiliki idealisme yang tinggi. Pendeknya, mereka sudah terkontaminasi dengan kekuasaan yang memanjakannya.

Peristiwa Rengasdengklok: Sebuah Strategi Anak Muda
Sebuah masa akan melahirkan generasi yang mampu bersikap kritis dan idealis. Generasi seperti ini lahir karena anak muda yang mengalami langsung tantangan dan situasi yang mencipta mereka untuk berpikir, bergerak, dan berupaya mencari solusi yang terbaik bagi negerinya.

Ketika anak muda ini melihat bahwa patron mereka sudah tidak lagi memiliki idealisme dan cita-cita yang semula digemar-gemborkan maka mereka akan mencoba bertindak sendiri. Bagi anak muda seperti Sukarni, Chaerul Shaleh, Adam Malik, Wikana, dan Darwis yang semula mengidolakan Bung Karno dan Bung Hatta, namun karena situasi dan kondisi politik yang tidak menentu dan keraguan dari sikap kedua tokoh patron mereka, akhirnya menyepakati untuk melakukan aksi penculikan sebagai bentuk ketegasan atas keinginan yang menderu untuk memerdekakan bangsa. 

Anak-anak muda itu tahu bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua tokoh yang sejak dahulu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun karena kedua tokoh itu sudah tidak lagi muda dan terkurung oleh janji-janji kemerdekaan Jenderal Terauchi maka mereka memilih untuk menentukan sendiri kapan kemerdekaan dapat dilaksanakan.

Tak mungkin dipungkiri lagi bahwa faktor usia manusia mempengaruhi cara berpikir dalam memecahkan suatu masalah. Golongan tua kalau boleh disebut begitu yang rata-rata melekat pada anggota-anggota BPUPKI mempunyai cara pandang terlalu hati-hati dan memikirkan dampak serta resiko-resiko yang akan dihadapinya.

Sebaliknya, anak muda yang memiliki idealisme tinggi cenderung terbawa emosi dan terburu-buru dalam memecahkan suatu masalah. Namun demikian, anak muda mempunyai satu kelebihan bahwa mereka cepat tanggap dengan keadaan sosial politik yang berubah begitu cepat. Artinya ide-ide apa yang terbawa oleh semangat zaman mempengaruhi corak pemikiran mereka. Pada peristiwa itu mereka lebih cepat merespon berita kekalahan Jepang dalam peperangan Asia-Pasifik. Pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki membawa telak Jepang terhadap sekutu. Berita yang tersiar lewat stasiun radio rakitan sendiri anak muda ditambah dengan kekosongan pemerintahan saat itu, mengilhami dan menyadarkan pada anak muda bahwa itulah waktu yang paling sesuai untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Namun, baik Bung Karno, Bung Hatta, maupun Ahmad Subardjo seolah tidak bergeming dengan tuntutan anak muda-anak muda itu. Mereka bertiga menolak tawaran yang cenderung memaksa itu. Mereka menganggap bahwa ide kemerdekaan itu sesuatu yang konyol dan tidak realistis. Bagi golongan tua, anak muda seperti Wikana dan Darwis yang datang kepadanya dianggap pemuda ingusan yang tidak punya kemampuan untuk melakukan perubahan. 

Sindiran dan ejekan golongan tua itu untungnya tidak membuat drop mental anak muda. Darwis dan Wikana justru terpancing emosinya untuk melangkah lebih jauh dari apa yang diperkirakan Bung Karno dan Bung Hatta. Setelah mencapai kesepakatan dengan Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik, mereka untuk menculik Soekarno dan Hatta, serta mengungsikannya ke Rengasdengklok. Tujuan penculikan adalah agar kedua tokoh itu tidak lagi terpengaruh oleh penguasa Jepang dan mau secepatnya merealisasikan keinginan para pemuda. 

Proklamasi dan Penolakan Penandatanganan Golongan Muda
Pada saat penyusunan proklamasi kemerdekaan selesai, Bung Karno dan Bung Hatta menyerahkan naskah itu kepada forum untuk dimintakan tanda tangan pada semua yang hadir saat itu. Namun, apa yang diinginkan Bung Hatta agar penandatangan naskah itu seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika ditolak oleh Sukarni. Sukarni menganggap bahwa tokoh-tokoh yang hadir adalah boneka atau badut-badut Jepang. 

Ucapan dan tindakan yang dilakukan Sukarni sudah pasti beralasan mengingat bahwa golongan tua yang duduk dalam BPUPKI maupun PPKI adalah orang-orang yang selama ini dimanja kedudukan dan materi oleh pihak Jepang. Golongan muda justru tidak pernah memasuki gelanggang politik yang disediakan oleh Jepang. Idealismenya tidak mau terkontaminasi fasilitas politik yang sudah dirancang oleh penguasa Jepang. Sukarni dan pemuda lainnya berdiri di luar sebagai pelopor gerakan bawah tanah yang sangat beresiko terhadap bayonet Kenpetai yang setiap saat mengintai gerakannya.

Apa yang dilakukan Sukarni seolah mendapat pembenaran karena tidak ada satupun dari hadirin yang memprotes ucapannya. Berarti apa yang diucapkannya Sukarni sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. 

Sikap idealisme Sukarni dan pemuda lainnya tidak hanya berhenti pada tindakan itu saja. Ia juga menyarankan bahwa yang menandatangani naskah maha penting itu adalah Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Ide yang spontan itu ternyata menjadi solusi kebuntuan yang sempat tercipta. Mengapa yang mengusulkan ide itu justru Sukarni yang usianya lebih muda daripada beberapa generasi tua yang juga hadir di rumah laksamana Maeda itu? Sekali lagi, kelebihan anak muda dalam menyikapi sesuatu adalah kecepatannya tanggap dan merespon suatu hal. Sebagai anak muda tentu mempunyai energi dan kemauan tinggi untuk secara langsung disampaikan pada publik entah itu disukai golongan tua atau tidak. Namun demikian, Sukarni dan pemuda lain menganggap bahwa meski Bung Karno dan Bung Hatta adalah golongan tua, namun figur dan peranannya pada masa pergerakan perlu mendapat apresiasi dan imbalan yang setimpal. Apalagi kedua tokoh itu bagi anak muda menjadi simbol dari perjuangan dan kemerdekaan itu sendiri. 

Ketidaksepakatan terhadap Hasil Keputusan PPKI
Anak muda yang terpaut usia belasan hingga dua puluhan tahun dibanding generasi tua, mempunyai konsekuensi sikap yang berbeda dalam menilai hasil sidang BPUPKI dan PPKI. Sejak awal anak muda merasa disisihkan dalam setiap pembuatan keputusan penting yang menyangkut nasib bangsa. Akibatnya anak muda saat itu sering membuat sidang-sidang tandingan untuk merespon hasil sidang PPKI yang dianggapnya tidak tegas dan menggantung. Anak muda membuat Kongres Pemuda Seluruh Jawa, Gerakan Angkatan Baru Indonesia, Gerakan Rakyat Baroe, dan sebagainya.

Generasi muda tidak rela jika republik yang baru berdiri masih menyisakan sesuatu yang berbau Jepang. Badan dan lembaga seperti BPUPKI dan PPKI adalah produk Jepang yang dibuat untuk kepentingan politik Jepang. Apapun hasil dari produk lembaga tersebut sudah pasti akan ditolaknya. Pernah Bung Karno ingin memasukkan pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana ke dalam keanggotaan baru PPKI. Namun mereka tetap menolak dengan alasan yang sudah disebutkan di atas. Keputusan PPKI tentang pembentukan PNI sebagai partai tunggal dan BKR sebagai badan keamanan pengganti Badan Penyelamat Keluarga Perang juga tidak diterima begitu saja. Para pemuda menginginkan semua unsur masyarakat dilibatkan sebagai bukti dan bakti pengabdian pada negeri yang baru berdiri. 
 
Refleksi: Membandingkan Masa Sekarang
Melihat realitas historis tentang sepak terjang anak muda yang berhadapan dengan golongan tua pada saat penting membuat kita bertanya sejauhmana peran anak muda pada kondisi sekarang dalam menghadapi perubahan global. Anak muda yang dicitrakan pemberontak, bandel, anarkhis, dan sulit diatur mempunyai pandangan lebih cepat daripada generasi tua yang mengusung ide yang begitu saja. 

Proklamasi menjadi satu bukti penting bahwa kemerdekaan terwujud tidak semata peran Bung Karno dan Hatta saja. Justru adanya kasus penculikan keduanya di Rengasdengklok telah membawa akibat sejarah yang luar biasa besarnya. Peristiwa Rengasdengklok telah menjadi bukti bahwa anak muda dengan cara mereka sendiri mampu mewujudkan apa yang sudah dipendam selama ini yang penting bagi nasib bangsa selanjutnya.

Ketika Bung Karno masih tetap menghadap Jenderal Nishimira untuk meminta persetujuan melaksanakan proklamasi, anak muda mulai gemas melihat perilaku politik yang masih ewuh dan takut yang dilakukan Soekarno itu. Untung saja para pemuda sudah mengatur semua agar naskah proklamasi segera dirancang di rumah Laksamana Maeda.

Pada kondisi sekarang, di mana peristiwa pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI sudah terjadi 62 tahun yang lalu, apakah kaum muda masih membiarkan saja ketika elit politik yang sudah tidak muda lagi menjalankan roda pemerintahan hampir tidak ada perubahan dalam konteks kemajuan? Wacana tentang pemimpin muda barangkali ada benarnya jika dilihat banyaknya kasus KKN yang dilakukan oleh anggota dewan, birokrat, dan dunia perbankan yang pelakunya adalah anak muda yang mulai berumur dan terkontaminasi oleh virus KKN. Jika golongan tua sebagai elit politik tidak merubah perilaku politiknya yang cenderung negatif apakah mereka sudah siap ketika anak muda menuntut pada mereka untuk melempar tongkat estafet kepemimpinan secara paksa?  

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.

MELURUSKAN SEJARAH KENDAL*

Masyarakat Kendal agak sedikit lega dan berbangga hati karena pemerintah akan segera melaksanakan Sosialisasi, Kajian Penelitian dan Penyusunan Buku Sejarah Kendal yang rencananya dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 28 Oktober 2008 di Operational Room Setda Kendal. Beberapa pihak dilibatkan demi suksesnya kegiatan tersebut. Tak lupa pula, Pemda Kendal mengundang para guru sejarah untuk berpartisipasi memberikan masukan agar sosialisasi dan pengkajian buku tentang sejarah Kendal bisa mencapai hasil yang diharapkan. 

Tanpa mendahului apa yang menjadi kesimpulan dalam kegiatan tersebut, tulisan ini berupaya memberikan gambaran tentang hal apa sajakah yang mendasari kegiatan tersebut, apa yang akan menjadi solusi dari pertemuan menarik itu, dan apa kebermanfaatan dari buku sejarah Kendal yang dihasilkan nantinya. 

Sebagai warga Kendal sendiri, penulis melihat bahwa dasar pemikiran mengapa pemerintah daerah kendal perlu membuat kajian sejarah Kendal karena beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut antara lain:

Pertama, Pemda Kendal perlu mewadahi pendapat para budayawan lokal, guru sejarah, dan pelaku sejarah, maupun masyarakat umum tentang minimnya bahan-bahan tulisan tentang Kendal yang bisa digunakan sebagai sumber referensi. Referensi yang minimal tersebut membatasi para guru untuk mengkisahkan secara utuh tentang apa yang terjadi di Kabupaten Kendal selama periode Hindu-Buddha, Islam, VOC, Kolonial Belanda, Jepang, dan Indonesia Merdeka.  

Kedua, buku-buku yang mengkaji tentang Kendal belum begitu mempergunakan data-data historis yang ilmiah. Adanya buku Babad Tanah Kendal (BTK) yang sangat terkenal seakan menjadi satu-satunya referensi yang dianggap benar secara historis. Hal ini jelas kurang pas. Tanpa meremehkan jasa penulis BTK, sebetulnya buku tersebut sejak semula bercerita tentang Kendal dari sudut pandang tradisi lisan. Artinya buku tersebut diperuntukan bukan sebagai kitab sejarah, melainkan acuan masyarakat tentang legenda daerahnya. 

Ketiga, sudah saatnya penulisan sejarah lokal di angkat ke permukaan. Persoalan kurikulum KTSP bidang sejarah memberikan peluang bagi guru dan masyarakat untuk bersama menyusun sebuah konsep pembelajaran yang menitikberatkan pada kondisi lingkungan setempat. Agaknya Pemda Kendal turut berjasa dan berperan dalam menyikapi kondisi ini. Adanya sosialisasi, pengkajian, penelitian dan penyusunan buku Sejarah Kendal merupakan upaya nyata Pemda Kendal untuk mengangkat persoalan sejarrah Kendal sebagai komoditas belajar bagi siswa yang belajar di Kabupaten Kendal. 

Demikian beberapa pertimbangan singkat yang mungkin menjadi dasar pemikiran Pemda Kendal untuk membuka peluang penulisan sejarah Kendal. Dalam penelitian dan penulisan sejarah Kendal tentu saja akan menghadapi beberapa kendala di lapangan. Kendala itu antara lain adalah: 

Pertama, persoalan arsip dan sumber sejarah yang sudah tidak mudah ditemukan lagi. Sudah barang tentu arsip dan tulisan masa lalu sulit ditemukan. Budaya menyimpan arsip-arsip tua belum ada pada masyarakat kita. Oleh karena itu pemda harus bersikeras untuk mendapatkan arsip dan sumber sejarah tentang Kendal dengan bekerja sama ARNAS Jakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, atau beberapa perpustakaan terkenal di Leiden Belanda. 

Kedua, kurangnya tenaga penelitian yang berasal dari lingkungan Pemda Kendal sendiri. Sudah bukan rahasia lagi, pemda setiap kabupaten pasti kurang atau tidak memiliki tenaga ahli yang cakap di bidang penelitian humaniora. Kekurangan tenaga peneliti ini bisa mengambil atau bekerja sama dengan dosen-dosen sejarah yang terdekat seperti Undip dan Unnes. Banyak dosen kedua universitas tersebut memiliki jaringan dengan Universitas Leiden.

Ketiga, masalah biaya. Pembiayaan untuk melaksanakan penelitian dan penyusunan buku ini sangat besar. Harusnya seberapa besar biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan hasil yang diperolehnya. Hal ini agak repot jika nuansa proyek malah justru diprioritaskan dalam penyelesaian penelitian ini. Hasilnya nanti tidak lagi karya sejarah yang kaya data malah justru miskin data pendukung. 

Keempat, kurangnya fokusnya kajian. Kelemahan penyusunan sejarah sebuah kabupaten harusnya melihat aspek apa yang akan dibidik terlebih dahulu. Jika segala aspek akan dikaji seluruhnya dalam waktu yang singkat maka menghasilkan karya sejarah yang overlapping. Sebenarnya akan lebih baik jika Pemda Kendal lebih fokus pada aspek tertentu yang akan dikaji lebh dahulu. Pemda bisa memfokuskan pada aspek politik, ekonomi, sosial atau budaya saja. Secara bertahap pemerintah melaksanakan penyusunan aspek-aspek tersebut hingga akhirnya nanti dapat dicapai tulisan yang komprehensif. 

Itulah beberapa kendala yang mungkin akan muncul di lapangan. Niat baik pemerintah daerah Kendal bila tidak diimbangi dengan perhatian dan pertimbangan yang masak bisa jadi menghasilkan karya sejarah yang asal saja, tidak ilmiah, dan ngambang. Buku Babad Tanah Kendal yang sudah ada bisa menjadi titik tolak untuk melangkah dalam melakukan penelitian dan penyusunan buku sejarah Kendal. Meskipun buku itu bukan karya sejarah namun data-data yang berupa cerita tutur masih dapat digunakan sebagai bahan sejarah (the collective history). Jika menyangkut peristiwa politik yang terjadi pada masa Indonesia Merdeka, tim penyusun buku tersebut dapat pula meramu data dari para pelaku sejarah yang masih hidup melalui metode oral history, agar penyusun mendapatkan gambaran dan imajinasi masa lalu yang tidak kaku. 

Akhirnya, harapan masyarakat Kendal dengan adanya buku sejarah Kendal itu adalah memjadikannya sebagai produk yang dapat memberikan satu kebanggaan bagi masyarakat Kendal sendiri. Bukankah suatu masyarakat bangga jika daerahnya mempunyai akar sejarah yang panjang? Buku itu menjadi simbol kedirian dan kelampauan masyarakat Kendal. Jika History of Java saja mampu diciptakan Raffles dalam segala keterbatasan fasilitas, dan mampu memberikan spektrum pengembangan wawasan historis pembacanya akan Jawa pada masa itu, maka buku Sejarah Kendal harus pula mampu menghentikan dahaga informasi tentang kesilaman Kendal. 

Namun demikian, jangan sampai isi buku sejarah Kendal itu nanti malah menimbulkan semangat primordial yang tidak pada tempatnya. Jangan sampai pula tujuan dan maksud penyusunan buku itu hanya dijadikan sebagai alat legitimasi politik bagi tokoh-tokoh tertentu yang sedang bersiap menghadapi pemilu mendatang.

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.




Rabu, 25 Februari 2009

KE(TIDAK)SIAPAN GURU DAN SEKOLAH DALAM MENYIKAPI RINTISAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASONAL*

Tuntunan kemajuan zaman meminta perubahan kurikulum yang lebih unggul, terarah, berkualitas, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat global. Pendidikan mau tidak mau mengikuti arus perubahan zaman itu sendiri. Bahkan pendidikan yang baik harus dapat mengantisipasi selera dan gejala perubahan yang akan terjadi. 

Bentuk antisipasi kebijakan pendidikan menengah terhadap selera perubahan global adalah mewujudkan kurikulum berstandar Internasional. Dalam kurikulum ini mengacu pada keterwujudan output yang memiliki dan keterandalan internasional. Kurikulum ini ingin melahirkan produk dan kualitas lulusan yang sama dengan lulusan sekolah luar negeri seperti Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat serta negara maju yang lainnya.
Sebagai wujud konkrit SBI adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar bidang pelajaran MIPA dan bahasa Inggris itu sendiri. Hal ini terkait dengan lemahnya landasan dasar bahasa Inggris sebagai bekal lulusan untuk bersaing di dunia internasional. Siswa yang mampu mempergunakan bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan jelas dianggap memiliki kualifikasi internasional dan kepadanya layak disebut outcomes berkualitas. 
Oleh karena itu, terlihat pemerintah menitikberatkan sektor bahasa sebagai satu-satunya sumber kelemahan pendidikan di Indonesia tanpa pernah melirik apakah ada sektor lain yang perlu dibenahi dalam mempersiapkan lulusan agar dapat berkompeten di dunia kerja pada masyarakat global ini. 
Pada dasarnya bahasa adalah alat untuk memahami medium keilmuan agar mudah terjadinya proses transformasi. Bahasa adalah seperangkat simbol yang tersusun untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan dari satu pihak kepada pihak lain. Di sisi lain, Indonesia memiliki beragam suku bangsa yang memiliki bahasa lokal yang berbeda-beda. Dalam penyampaian materi pelajaran sering ditemukan guru menambahkan kosakata bahasa setempat agar siswa lebih tertarik dalam mengikuti pembelajaran. Bagi sekolah yang sudah SBI, kebiasaan dan kreativitas guru dalam mengajar dengan menggunakan bahasa campuran ini dapat dianggap mengganggu upaya mempercepat ketrampilan berbahasa Inggris guru bidang studi MIPA. Realitas di lapangan guru MIPA sangat pandai menguasai materinya tetapi mereka mengalami kesulitan untuk menyampaikan materi MIPA dengan bahasa Inggris. Banyak istilah teknis yang harus dikuasai kembali agar mereka mampu menjelaskan suatu materi pada siswa. Jika dahulu mereka mencampur kosa kata bahasa daerah setempat dengan bahasa Indonesia agar siswa lebih mudah memahami materi, sekarang guru harus konsisten dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pelajaran tersebut, meski dengan terjalinnya komunikasi yang tidak komunikatif dan kaku.
Sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk mengurangi gejala seperti itu maka dilaksanakanlah pelatihan dan kursus bahasa Inggris bagi guru SBI. Alhasil, para guru harus berkejaran dengan waktu agar bisa mengajar siswa dengan bahasa Inggris itu. Persiapan yang sangat kurang mau tidak mau harus dilakukan guru agar mereka dapat berbicara di depan siswa-siswanya.
Jika guru tersebut menyukai tantangan dan menganggap rintangan adalah medan pertempuran untuk memajukan kualitas SDMnya maka sudah pasti mereka akan cepat belajar dan menguasai bahasa Inggris. Sebaliknya jika gurunya surut semangatnya karena merasa sudah tua maka sudah pasti akan mengalami ketersiksaan untuk menghafal ratusan bahkan ribuan kosakata bahasa Inggris.
Ada hal lain yang harus pula dipikirkan pemerintah agar SBI benar-benar memiliki kualifkasi unggul. Selain faktor bahasa yang harus dikuasai lulusan sekolah menengah, pemerintah perlu meningkatkan kualitas SDM guru melalui pelatihan, workshop, penataran, dan studi lanjut. Dengan produk S-1 hasil lulusan lima, sepuluh, bahkan 15 tahun yang lalu sudah pasti ketinggalan zaman. Kebutuhan kualitas siswa SBI harus ditunjang perubahan kurikulum di perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi hanya memproduksi lulusan sebanyak-banyaknya tanpa berpikir bagaimana kualitas SDMnya. Tunjangan sertifikasi guru yang sudah diberikan pada sebagian besar guru S-1 ini harus dipergunakan untuk pengembangan diri dan SDM guru melalui studi lanjut S-2 yang linier dan berbobot. Sayangnya banyak guru mempergunakan dana tunjangan sertifikasinya untuk menambah selera konsumtifnya.
Pemerintah perlu pula mengadakan seleksi ulang bagi para guru SBI. Guru SBI bukanlah kumpulan para guru yang sudah sejak dahulu mengajar di sekolah yang kebetulan menjadi proyek SBI. Program SBI akan lebih efektif jika pemerintah membuat sistem seleksi berdasarkan ijasah yang linier dengan bidang studi yang diampu, kemampuan bahasa Inggris, dan kemampuan mengajar dari guru PNS yang ada di daerah atau propinsi yang bersangkutan. Realitas di lapangan, banyak guru yang tersiksa karena harus mengajar dengan bahasa Inggris hanya kebetulan mereka sudah ditempatkan di sekolah tersebut sebelumnya. 
Dengan ketentuan SBI berarti pula menuntut para guru untuk merubah mindset selama ini. Pola berpikir mereka harus mengalami penyegaran. Guru tidak hanya bertanggung jawab pada saat pembelajaran saja, melainkan perlu melengkapi segala administrasi pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Guru membuat rencana pengajaran yang di dalamya berisi strategi pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Jika dahulu mereka selesai mengajar lalu pulang, sekarang beban dan tanggung jawab guru SBI sangat berat dan melelahkan. 
Dengan demikian, apa yang sudah diperjuangkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia agar mampu bersaing di dunia internasional sudah terjawab. Bahasa memang faktor penting yang memegang peranan keberhasilan dalam transformasi pengetahuan. Namun menganggap bahasa Inggris saja sebagai satu-satunya point yang harus dikuasai guru SBI dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran jelas kurang proporsional. Faktor lain seperti kesejahteraan guru, pengembangan SDM guru melalui pendidikan lanjutan, mentalitas guru dalam mengajar, tertib administrasi, serta inovasi dan kreatifitas dalam merencanakan kegiatan pembelajaran perlu diperhatikan pula oleh pemerintah agar nanti program SBI benar-benar ide dan keseriusan pemerintah untuk memajukan pendidikan anak negeri.  
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. 


TENTANG BUKU ELEKTRONIK: SEBUAH RESPON*

Kebijakan pemerintah mengeluarkan buku elektronik (BE) perlu mendapat apresiasi positip dari semua kalangan, lebih-lebih pihak yang bergelut di bidang pendidikan. Di samping buku elektronik diberikan sebagai upaya memangkas biaya yang muncul pada saat pascaproduksi, pemerintah berkeinginan agar buku itu bisa di download semua sekolah ataupun siswa yang berada di mana saja agar terjadi pemerataan kualitas pendidikan antara kota dengan desa maupun antara Jawa dengan luar Jawa.

Untuk mengantisipasi agar harga buku itu terjangkau ketika sudah tercetak maka pemerintah perlu memberi batasan harga maksimal dengan sebutan harga eceran tertinggi (HET). Antara satu buku dengan buku lainnya memiliki HET yang berbeda yang tergantung jumlah halamannya. Pemerintah memberi peluang pada siapa saja untuk mencetak dan menjual buku elektronik asalkan harganya masih di bawah HET yang sudah ditentukan.

Di sisi lain kebijakan yang istimewa ini belum tentu membuahkan hasil dan harapan yang tanpa kelemahan. Pemerintah tentu sudah berusaha menutupi beragam kelemahan yang mungkin muncul di belakang hari. Namun demikian, realitas di lapangan masih terdapat beberapa kelemahan. 

Pertama, adanya BE tentu memberikan bentuk persaingan antara penerbit umum dengan pihak pemerintah. Harga murah yang menguntungkan peserta didik ini akan membawa bentuk kerugian pada penerbit yang biasa mendestribusikan buku ke sekolah-sekolah atau toko buku. Jika pemerintah tidak jeli maka banyak penerbit yang gulung tikar atau minimal mengalami kerugian.

Kedua, tidak semua BE sudah dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Ada beberapa buku yang belum bisa didownload karena buku tersebut belum masuk/dimasukkan dalam internet. BE yang terkait dengan mapel Bahasa Inggris tidak semuanya ada, apalagi mapel sosiologi, geografi, dan sejarah budaya untuk program bahasa. 

Ketiga, tidak banyak sekolah yang sudah berbasis IT. Sekolah di perkotaan secara umum sudah menggunakan teknologi IT sebagai media dan sumber belajar, namun sekolah di desa, pegunungan, luar Jawa, kawasan terisolir/terpencil, mungkin belum mempunyai perangkat multi media yang bisa digunakan untuk mengunduh piranti BE sebagai sumber belajar.

Keempat, peserta didik yang berasal dari kawasan pedesaan atau terpencil sudah pasti belum atau tidak mempunyai piranti IT. Mereka belum mengenal dunia maya sebaik peserta didik yang berasal dari perkotaan.

Kelima, masalah budaya baca. Sudah bukan rahasia umum bahwa minat baca siswa kita belumlah tinggi. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bukti tersebut. Jika siswa diarahkan untuk mengakses BE, maka sudah pasti mereka akan memilih informasi lain yang sekiranya lebih menghibur. Pembiasaan membaca informasi di internet sudah barang tentu terkait dengan seberapa besar siswa mempunyai minat baca yang sama pada buku atau informasi tercetak.

Lalu, apa yang bisa dijadikan solusi untuk memecah kebuntuan itu. Tentu saja banyak usaha untuk mencari alternatif dan menjadikan BE sebagai sumber bacaan yang murah dan penting.
Pertama, pemerintah sejak mula sudah siap membeli hak cipta pengarang BE dengan harga yang pantas. Artinya, BE tetap menumbuhkan persaingan yang sehat antara penerbit swasta dengan pemerintah. Pemerintah sendiri juga memberi peluang bagi pihak swasta untuk bekerja sama dalam menerbitkan BE. Penerbit besar/kecil boleh memperbanyak dan menjual BE kepada masyarakat.

Kedua, sekolah menfasilitasi dan berusaha membuka kesempatan pada siswa untuk mengakses BE melalui media internet yang sudah tersedia. Jika belum tersedia maka menjadi PR sekolah mewujudkan fasilitas IT di sekolahnya masing-masing.

Ketiga, sekolah bekerja sama dengan pihak swasta dalam rangka memperbanyak BE dengan harga yang sudah ditentukan, yaitu di bawah HET. Sangat boleh jika pihak swasta melibatkan diri untuk mencetak dan memperbanyak buku elektronik tersebut dengan harga yang pantas sesuai dengan ketentuan HET dengan sudah memberikan keuntungan pada sekolah yang bersangkutan.

Keempat, sekolah membeli buku elektronik dalam bentuk sudah tercetak minimal sebanyak 40 eksemplar/bidang studi untuk menambah koleksi perpustakaan sekolah. Adanya kebijakan itu berarti sekolah turut mengurangi beban siswa yang kurang mampu. Dengan adanya BE di perpustakaan sekolah berarti siswa mampu mengakses keberadaan isi BE tanpa harus membelinya secara pribadi. Pada jam pelajaran tertentu siswa dapat diarahkan untuk mempergunakan BE tersebut.

Demikian apa yang bisa dilakukan sekolah dalam rangka mewujudkan siswa kreatif dan cerdas dengan basis media Teknologi dan Informasi. Namun BE yang semula berkeinginan untuk memasarkan penggunaan IT di lingkungan sekolah ternyata kembali pada fungsi bahan ajar konvensional karena beberapa keterbatasan yang dimiliki sebuah sekolah. BE tidak lebih buku paket pelajaran biasa yang sering dipergunakan siswa pada umumnya, karena dalam realiastnya terwujud dalam keadaan tercetak dan kurang memaksimalkan interaksi siswa dalam kegiatan pembelajaran.  
*Penulis: Muslichin, guru sejarah SMA 2 Kendal