Jumat, 27 Februari 2009

GOLONGAN MUDA DAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN: SIAPA YANG MEMULAI?*

Sebentar lagi masyarakat Indonesia akan merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-63. Sudah tentu perayaan kemerdekaan ini akan lebih gegap gempita mengingat banyak prestasi yang sudah dicapai selama ini. Di bidang pendidikan saja sudah berapa puluh siswa sekolah menengah yang mencapai kemenangan di berbagai olympiade fisika dan matematika. Dalam jajaran perguruan tinggi dunia, universitas di Indonesia sudah mulai banyak yang masuk ranking 500 perguruan tinggi terbaik di dunia. Pengembangan teknologi yang meningkat dapat dilihat pula dalam prestasi mahasiswa Indonesia yang sudah mampu menciptakan teknologi tepat guna, penggunaan bahan bakar alternatif, dan pemanfaatan tenaga matahari sebagai sumber energi.

Di bidang politik, tentu saja banyak kemajuan yang sudah dicapai oleh negeri Indonesia sebagai bangsa yang membuka diri terhadap aspirasi rakyatnya. Era reformasi memberikan peluang yang maksimal bagi siapa saja untuk berekspresi dan memberikan pilihannya lewat partai politik dan pemilu secara langsung. Sejak tahun 1999 kran kebebasan berpolitik menjadi keniscayaan mengingat pada fase Orde Baru kebebasan politik bak mimpi di siang bolong. Orde Reformasi memberikan peluang bagi anak bangsa untuk lebih kreatif memikirkan bangsanya. 

Dalam perkembangannya, sistem politik dan pemerintahan semakin demokratis. Pada tahun 2004 yang lalu sudah mulai direalisasikan model pemilihan langsung yang memposisikan Susilo Bambang Yudiyono dan Muhammad Yusuf Kalla sebagai presiden dan wapresnya yang didasarkan atas pilihan rakyat. Mendekati empat tahun dari itu sudah mulai berkembang wacana tentang presiden dari golongan muda yang dianggap mampu memberi kesegaran bagi kondisi bangsa yang belum beranjak benar dari krisis multidimensi ini.

Sebagian masyarakat sekan terhenyak dari lamunannya, ketika Tifatul Sembiring dari PKS mengajukan usulan tentang perlunya calon presiden yang berusia muda. Menurutnya golongan muda pasti mempunyai ide dan gagasan yang lebih kreatif, cerdas, dan segar untuk menanggulangi keadaan negeri yang kacau ini. Apa yang dilontarkannya ini mendapat sorotan tajam dari lawan-lawan politiknya. Pernyataan itu tentu saja dicounter oleh partai-partai politik yang menjagokan calon presiden yang itu-itu saja. 

Jika kita mau melihat sejarah kembali tentang beberapa peristiwa penting yang terjadi di negeri ini sudah pasti kita akan tergugah dan sadar bahwa golongan muda atau anak muda mempunyai peran strategis bagi upaya melakukan perubahan yang diinginkan. Alasan pemimpin muda yang diusulkan oleh PKS pasti didasarkan pada asumsi sejarah bahwa merekalah yang menciptakan perubahan bagi masyarakatnya. Pernyataan tokoh PKS itu seakan ingin mengingatkan kita kembali tentang seberapa jauh peranan golongan muda dalam peristiwa-peristiwa penting di negeri ini. Dalam konteks peristiwa besar yang bernama proklamasi seberapa jauh peranan golongan muda terhadap upaya untuk memerdekan bangsanya. 

Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mengajak kita untuk berdialog kembali dengan masa lalu, apakah memang benar bahwa proklamasi kemerdekaan yang maha penting itu terjadi karena ada sekelompok anak muda yang begitu ngotot memperjuangkan apa yang sudah menjadi semangat bersama semenjak sumpah pemuda digulirkan. Bagaimanakah anak muda itu sampai memunculkan peristiwa Rengasdengklok sebagai bentuk ancaman bagi golongan tua yang dianggapnya membebek terhadap ucapan dan janji kemerdekaan Jepang?

Pemuda dalam Sejarah Indonesia
Selama ini, suara perayaan yang meriah setiap tahun terkadang tidak pernah mempersoalkan kembali hakikat kesejarahan peristiwa proklamasi. Artinya peristiwa proklamasi sudah menjadi kenyataan sejarah yang sudah terpatri kuat untuk tidak dipersoalkan kembali. Dalam hal ini tidak upaya untuk merekonstruksi tentang siapa yang lebih berperan dalam proklamasi itu apakah golongan tua ataukah justru golongan muda yang ngotot untuk sesegera mungkin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dalam sejarah Indonesia, terbukti jelas bahwa perubahan yang terjadi di bidang politik selalu dilakukan oleh sekelompok anak muda yang cerdas dan tanggap terhadap kondisi lingkungannya. Pendirian partai politik dan organisasi sosial pada masa pergerakan nasional, terlihat bahwa anak muda memprakarsai organisasi yang bercorak modern dan maju. Dalam hal ini dapat disebut Budi utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, PNI, Perhimpunan Indonesia, PKI, dan sebagainya. Puncak dari kesadaran berbangsa yang bermuara pada Sumpah Pemuda juga digawangi oleh anak muda yang sebelumnya terlatih lewat organisasi sosial politik yang dibentuknya. Kondisi bangsa yang kritis, penjajahan, kemelaratan dan pembodohan yang dilakukan oleh penguasa Hindia Belanda menyebabkan anak muda harus berpikir kreatif dan praksis agar ide dan ideologi pembebasan maupun perubahan dapat terjadi negeri yang tidak adil itu. 

Resiko yang dihadapi mereka pun sangat kejam. Nama-nama anak muda seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara adalah sejumput anak muda yang terbiasa dengan bui dan pembuangan. Beberapa anak muda itu menjadi pemuda yang teruji dan semakin matang dalam mengarungi pahit-getirnya perjuangan demi tegaknya kemerdekaan bagi bumi pertiwi.

Pada masa Malaise, perjuangan anak muda semakin jelas dan mantap ketika mereka mengajukan tuntutan kemerdekaan melalui medan volksraad. Volksraad adalah jembatan penting bagi aspirasi politik masa itu yang menginginkan pelimpahan kekuasaan dalam jangka waktu sepuluh tahun secara bertahap. Namun, persoalan waktu yang tidak tepat menjadikan tuntutan anak muda tidak pernah direalisasikan pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Hindia Belanda meng-gantungkan permintaan itu sampai kemudian datang bala tentara Jepang yang menggantikan posisi sebagai penguasa di bumi nusantara.

Pada masa Kolonial, tokoh-tokoh muda yang malang melintang di dunia pergerakan Indonesia sudah tidak muda lagi. Baik Soekarno, Hatta, Radjiman, Ki Hajar Dewantara dan lainnya bukan lagi pemuda dua puluhan atau tiga puluhan yang mempunyai idealisme yang sangat tinggi. Mereka berkolaborasi dengan Jepang untuk secara tidak langsung melanggengkan kekuasaan Jepang di Indonesia. Model Kebijakan Jepang yang sangat berbau propagandis diterima rakyat Indonesia berkat senyum dan sosialisasi melalui organisasi Gerakan 3A, Jawa Hokokai, Putera, Fujinkai, dan sebagainya. Media seperti Jawa Shimbun, Asia Raya, dan Kanpo turut menyemarakkan pesan Jepang pada masyarakat Indonesia yang mulai melek huruf. Dalam beberapa hal Bung Karno dan Bung Hatta dianggap terlarut dalam kekuasaan yang diciptakan oleh penguasa Jepang. 

Para aktivis yang sudah mulai menua itu tidak lagi menyuarakan aspirasi dan suara rakyat yang pernah didengung-dengungkan dahulu. Mereka masuk pada sistem yang tidak mungkin dilawannya. Ide dan gagasannya tentang perjuangan dan kemerdekaan tidak lagi memiliki idealisme yang tinggi. Pendeknya, mereka sudah terkontaminasi dengan kekuasaan yang memanjakannya.

Peristiwa Rengasdengklok: Sebuah Strategi Anak Muda
Sebuah masa akan melahirkan generasi yang mampu bersikap kritis dan idealis. Generasi seperti ini lahir karena anak muda yang mengalami langsung tantangan dan situasi yang mencipta mereka untuk berpikir, bergerak, dan berupaya mencari solusi yang terbaik bagi negerinya.

Ketika anak muda ini melihat bahwa patron mereka sudah tidak lagi memiliki idealisme dan cita-cita yang semula digemar-gemborkan maka mereka akan mencoba bertindak sendiri. Bagi anak muda seperti Sukarni, Chaerul Shaleh, Adam Malik, Wikana, dan Darwis yang semula mengidolakan Bung Karno dan Bung Hatta, namun karena situasi dan kondisi politik yang tidak menentu dan keraguan dari sikap kedua tokoh patron mereka, akhirnya menyepakati untuk melakukan aksi penculikan sebagai bentuk ketegasan atas keinginan yang menderu untuk memerdekakan bangsa. 

Anak-anak muda itu tahu bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua tokoh yang sejak dahulu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun karena kedua tokoh itu sudah tidak lagi muda dan terkurung oleh janji-janji kemerdekaan Jenderal Terauchi maka mereka memilih untuk menentukan sendiri kapan kemerdekaan dapat dilaksanakan.

Tak mungkin dipungkiri lagi bahwa faktor usia manusia mempengaruhi cara berpikir dalam memecahkan suatu masalah. Golongan tua kalau boleh disebut begitu yang rata-rata melekat pada anggota-anggota BPUPKI mempunyai cara pandang terlalu hati-hati dan memikirkan dampak serta resiko-resiko yang akan dihadapinya.

Sebaliknya, anak muda yang memiliki idealisme tinggi cenderung terbawa emosi dan terburu-buru dalam memecahkan suatu masalah. Namun demikian, anak muda mempunyai satu kelebihan bahwa mereka cepat tanggap dengan keadaan sosial politik yang berubah begitu cepat. Artinya ide-ide apa yang terbawa oleh semangat zaman mempengaruhi corak pemikiran mereka. Pada peristiwa itu mereka lebih cepat merespon berita kekalahan Jepang dalam peperangan Asia-Pasifik. Pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki membawa telak Jepang terhadap sekutu. Berita yang tersiar lewat stasiun radio rakitan sendiri anak muda ditambah dengan kekosongan pemerintahan saat itu, mengilhami dan menyadarkan pada anak muda bahwa itulah waktu yang paling sesuai untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Namun, baik Bung Karno, Bung Hatta, maupun Ahmad Subardjo seolah tidak bergeming dengan tuntutan anak muda-anak muda itu. Mereka bertiga menolak tawaran yang cenderung memaksa itu. Mereka menganggap bahwa ide kemerdekaan itu sesuatu yang konyol dan tidak realistis. Bagi golongan tua, anak muda seperti Wikana dan Darwis yang datang kepadanya dianggap pemuda ingusan yang tidak punya kemampuan untuk melakukan perubahan. 

Sindiran dan ejekan golongan tua itu untungnya tidak membuat drop mental anak muda. Darwis dan Wikana justru terpancing emosinya untuk melangkah lebih jauh dari apa yang diperkirakan Bung Karno dan Bung Hatta. Setelah mencapai kesepakatan dengan Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik, mereka untuk menculik Soekarno dan Hatta, serta mengungsikannya ke Rengasdengklok. Tujuan penculikan adalah agar kedua tokoh itu tidak lagi terpengaruh oleh penguasa Jepang dan mau secepatnya merealisasikan keinginan para pemuda. 

Proklamasi dan Penolakan Penandatanganan Golongan Muda
Pada saat penyusunan proklamasi kemerdekaan selesai, Bung Karno dan Bung Hatta menyerahkan naskah itu kepada forum untuk dimintakan tanda tangan pada semua yang hadir saat itu. Namun, apa yang diinginkan Bung Hatta agar penandatangan naskah itu seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika ditolak oleh Sukarni. Sukarni menganggap bahwa tokoh-tokoh yang hadir adalah boneka atau badut-badut Jepang. 

Ucapan dan tindakan yang dilakukan Sukarni sudah pasti beralasan mengingat bahwa golongan tua yang duduk dalam BPUPKI maupun PPKI adalah orang-orang yang selama ini dimanja kedudukan dan materi oleh pihak Jepang. Golongan muda justru tidak pernah memasuki gelanggang politik yang disediakan oleh Jepang. Idealismenya tidak mau terkontaminasi fasilitas politik yang sudah dirancang oleh penguasa Jepang. Sukarni dan pemuda lainnya berdiri di luar sebagai pelopor gerakan bawah tanah yang sangat beresiko terhadap bayonet Kenpetai yang setiap saat mengintai gerakannya.

Apa yang dilakukan Sukarni seolah mendapat pembenaran karena tidak ada satupun dari hadirin yang memprotes ucapannya. Berarti apa yang diucapkannya Sukarni sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. 

Sikap idealisme Sukarni dan pemuda lainnya tidak hanya berhenti pada tindakan itu saja. Ia juga menyarankan bahwa yang menandatangani naskah maha penting itu adalah Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Ide yang spontan itu ternyata menjadi solusi kebuntuan yang sempat tercipta. Mengapa yang mengusulkan ide itu justru Sukarni yang usianya lebih muda daripada beberapa generasi tua yang juga hadir di rumah laksamana Maeda itu? Sekali lagi, kelebihan anak muda dalam menyikapi sesuatu adalah kecepatannya tanggap dan merespon suatu hal. Sebagai anak muda tentu mempunyai energi dan kemauan tinggi untuk secara langsung disampaikan pada publik entah itu disukai golongan tua atau tidak. Namun demikian, Sukarni dan pemuda lain menganggap bahwa meski Bung Karno dan Bung Hatta adalah golongan tua, namun figur dan peranannya pada masa pergerakan perlu mendapat apresiasi dan imbalan yang setimpal. Apalagi kedua tokoh itu bagi anak muda menjadi simbol dari perjuangan dan kemerdekaan itu sendiri. 

Ketidaksepakatan terhadap Hasil Keputusan PPKI
Anak muda yang terpaut usia belasan hingga dua puluhan tahun dibanding generasi tua, mempunyai konsekuensi sikap yang berbeda dalam menilai hasil sidang BPUPKI dan PPKI. Sejak awal anak muda merasa disisihkan dalam setiap pembuatan keputusan penting yang menyangkut nasib bangsa. Akibatnya anak muda saat itu sering membuat sidang-sidang tandingan untuk merespon hasil sidang PPKI yang dianggapnya tidak tegas dan menggantung. Anak muda membuat Kongres Pemuda Seluruh Jawa, Gerakan Angkatan Baru Indonesia, Gerakan Rakyat Baroe, dan sebagainya.

Generasi muda tidak rela jika republik yang baru berdiri masih menyisakan sesuatu yang berbau Jepang. Badan dan lembaga seperti BPUPKI dan PPKI adalah produk Jepang yang dibuat untuk kepentingan politik Jepang. Apapun hasil dari produk lembaga tersebut sudah pasti akan ditolaknya. Pernah Bung Karno ingin memasukkan pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana ke dalam keanggotaan baru PPKI. Namun mereka tetap menolak dengan alasan yang sudah disebutkan di atas. Keputusan PPKI tentang pembentukan PNI sebagai partai tunggal dan BKR sebagai badan keamanan pengganti Badan Penyelamat Keluarga Perang juga tidak diterima begitu saja. Para pemuda menginginkan semua unsur masyarakat dilibatkan sebagai bukti dan bakti pengabdian pada negeri yang baru berdiri. 
 
Refleksi: Membandingkan Masa Sekarang
Melihat realitas historis tentang sepak terjang anak muda yang berhadapan dengan golongan tua pada saat penting membuat kita bertanya sejauhmana peran anak muda pada kondisi sekarang dalam menghadapi perubahan global. Anak muda yang dicitrakan pemberontak, bandel, anarkhis, dan sulit diatur mempunyai pandangan lebih cepat daripada generasi tua yang mengusung ide yang begitu saja. 

Proklamasi menjadi satu bukti penting bahwa kemerdekaan terwujud tidak semata peran Bung Karno dan Hatta saja. Justru adanya kasus penculikan keduanya di Rengasdengklok telah membawa akibat sejarah yang luar biasa besarnya. Peristiwa Rengasdengklok telah menjadi bukti bahwa anak muda dengan cara mereka sendiri mampu mewujudkan apa yang sudah dipendam selama ini yang penting bagi nasib bangsa selanjutnya.

Ketika Bung Karno masih tetap menghadap Jenderal Nishimira untuk meminta persetujuan melaksanakan proklamasi, anak muda mulai gemas melihat perilaku politik yang masih ewuh dan takut yang dilakukan Soekarno itu. Untung saja para pemuda sudah mengatur semua agar naskah proklamasi segera dirancang di rumah Laksamana Maeda.

Pada kondisi sekarang, di mana peristiwa pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI sudah terjadi 62 tahun yang lalu, apakah kaum muda masih membiarkan saja ketika elit politik yang sudah tidak muda lagi menjalankan roda pemerintahan hampir tidak ada perubahan dalam konteks kemajuan? Wacana tentang pemimpin muda barangkali ada benarnya jika dilihat banyaknya kasus KKN yang dilakukan oleh anggota dewan, birokrat, dan dunia perbankan yang pelakunya adalah anak muda yang mulai berumur dan terkontaminasi oleh virus KKN. Jika golongan tua sebagai elit politik tidak merubah perilaku politiknya yang cenderung negatif apakah mereka sudah siap ketika anak muda menuntut pada mereka untuk melempar tongkat estafet kepemimpinan secara paksa?  

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar