Senin, 15 Juni 2009

HARGA SEBUAH KEJUJURAN

Ujian sekolah dari tingkat SD sampai dengan SLTA sudah usai. Banyak pihak mengucapkan puji syukur karena tingkat keberhasilan dalam ujian nasional yang tinggi. Sebagai contoh wilayah Jawa Tengah saja tingkat kelulusan untuk Ujian Nasional tingkat SLTA sederajat mencapai 95,30 persen. Bahkan, ada beberapa daerah yang tingkat kelulusannya mencapai 100%. Namun demikian, terasa ada ganjalan yang terselip dalam sanubari kita, apakah nilai kelulusan yang begitu tinggi ini dilakukan dalam proses yang sangat jujur? Ganjalan ini sempat menyembul menjadi pertanyaan-pertanyaan yang berada dalam benak pikir kita, sudah jujurkah kita melaksanakan segala proses ujian itu dengan baik hingga menghasilkan prosentase kelulusan yang begitu tinggi?


Di salah satu kota kabupaten yang ada di wilayah Pantura sebagai misal, tingkat keberhasilan beberapa sekolah yang mencapai angka 100 persen menimbulkan beberapa kejanggalan-kejanggalan. Kita tidak menyepelekan peran dari pihak tertentu yang sudah membawa keberhasilan pencapaian prestasi yang gemilang ini. Memang pada dasarnya, Dinas Pendidikan selaku pihak yang terkait pada persoalan itu sudah mempersiapkan sedini mungkin. Kita tidak boleh menutup mata berapa besar biaya yang harus dikucurkan untuk memobilisasi sekolah-sekolah agar mengikuti anjuran kesiapan dan strategi yang harus dilaksanakan sampai di tingkat sekolah. Namun demikian kesiapan yang dinamakan sebagai tim sukses ini terkadang bertindak di luar norma dan batasan prosedur ujian nasional yang baik dan benar.

Ujian Nasional sudah berjalan sekian lama. Dari beberapa pelaksanaan ujian nasional tentunya menimbulkan bentuk kecurangan selain prestasi-prestasi di bidang tertentu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaksanaan ujian nasional akhirnya menimbulkan kecurangan yang tidak semakin diminimalisasi, melainkan justru dilengkapi dengan trik dan strategi yang baru sehingga menghasilkan hasil jawaban yang tepat bagi siswa. Kasus yang baru saja terjadi di salah satu sekolah RSBI di Kabupaten Ngawi, ternyata semua siswanya harus melaksanakan ujian nasional ulang karena kedapatan hasilnya tidak lulus semua, dan ketidaklulusan itu disebabkan kecurangan yang melibatkan salah satu oknum guru sekolah tersebut. Kecurangan ini mengingatkan kita akan kasus SMA 2 Semarang yang satu ruang kelas IPA ternyata sebagian besar siswanya tidak lulus karena mendapatkan SMS dari gurunya. Sebetulnya, masih banyak contoh-contoh yang lainnya di mana kecurangan itu sudah dilaporkan pada saat pelaksanaan ujian nasional sedang berlangsung. Berita-berita tentang kecurangan itu menghiasi beragam media yang terbit di tanah air.  Namun demikian, banyak sekali model dan modus kecurangan yang tak tertangkap oleh media karena ada bentuk kerjasama yang rapi di antara pihak-pihak terkait. Ada semacam tahu sama tahu terhadap proses ujian nasional. Artinya kolaborasi antara pihak sekolah dengan pengawas ujian berada pada kondisi yang sama-sama membutuhkan atau bahasa gaulnya take and give. Pihak sekolah meminta dengan bahasa dan fasilitas tertentu agar pengawas ujian menjadi lunak, sebaliknya pengawas juga berharap jika mereka mengawasi mendapat penghargaan dan fasilitas yang baik maka berharap bahwa sekolah tersebut juga akan mengirimkan guru pengawas ujian yang sama lunaknya. Katakanlah ada semacam simbiosis mutualisme. Mereka sama-sama harus mendapatkan keuntungan. Jika kesepakatan tak tertulis ini sudah diratifikasi oleh kedua belah pihak maka dengan sendirinya proses melakukan kecurangan dengan berbagai cara siap dimulai.
Modus kecurangan pertama bisa terlihat dari banyaknya siswa ketika ujian sekolah meminta diri untuk ke luar ruang ujian dengan alasan perut sakit, ingin buang air kecil atau apa saja. Di kamar kecil tersebut sangat mungkin terjadi proses transferisasi jawaban dari oknum guru pada siswa tertentu. Kedua, siswa menggunakan Hp yang suaranya sudah tidak diaktifkan. Mereka mendapat SMS jawaban umumnya dari siswa ruangan lain bahkan sekolah lain. Terkadang ada pula yang mendapat SMS dari oknum guru sekolah yang bersangkutan. Ketiga, Bagian Tata Usaha memanggil nama-nama tertentu dari peserta ujian yang ada di sekolah tersebut sehubungan dengan masalah administrasi sekolah atau alasan lainnya. Ternyata inisial atau huruf depan nama-nama yang dipanggil itu adalah kode jawaban yang harus dipilih oleh siswa. Keempat, tukang kebon atau tukang sapu sekolah ada yang terlihat aneh. Ia sering menata pot-pot bunga pada posisi tertentu yang bisa dilihat oleh siswa. Adanya pot-pot yang diatur sedemikian rupa oleh tukang sapu itu merupakan kode jawaban yang harus dipilih siswa. Kelima, ada kalanya salah satu guru masuk dan memberikan kertas undangan untuk acara atau kegiatan di dalam ruang ujian, ternyata di dalam lipatan undangan itu ada beberapa jawaban yang harus dipindahkan siswa.    

Selasa, 26 Mei 2009

STUDI LANJUT DAN SERTIFIKASI GURU*

Pada dasarnya adanya sertifikasi memberikan harapan dan jaminan akan kemajuan pendidikan di Indonesia. Persoalan mendasar seperti anggaran pendidikan yang rendah dan minimalnya gaji guru sebagai pelaku utama pendidikan di Indonesia akhirnya pupus dengan hadirnya Undang Undang No. 19 tentang Guru dan Dosen tahun 2005.

Undang-undang itu telah memberikan dukungan nyata bagi pengembangan pendidikan yang realistis di Indonesia. Pendidikan tidak lagi dianak-tirikan begitu saja. Pemerintah memberikan dukungan nyata melalui anggaran negara sebesar 20% setiap tahunnya. Melalui sertifikasi pemerintah menambakan tunjangan fungsionalnya sebanyak satu kali gaji pokok. Hal ini berarti menambah kesejahteraan yang cukup baik bagi kalangan guru yang selama ini menjadi korban kebijakan.


Adanya undang-undang itu memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan aspek profesionalismenya yang selama ini dinomorkanduakan karena mereka sibuk mencari omprengan di sana-sini. Guru kembali fokus untuk memberikan pengajaran yang terbaik bagi peserta didik. Mereka lebih fokus untuk mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan semenjak dahulu. Masalah administrasi pembelajaran lengkap dengan jenis model, media, strategi, pendekatan, dan jenis tagihan/penilaiannya dilakukan kembali dengan lebih lengkap dan utuh.

Di sisi lain, kenaikan tunjangan guru yang memberikan rasa iri hati bagi pegawai lainnya itu harus diimbangi pula dengan usaha pengembangan diri. Era globalisasi jelas membutuhkan kreativitas para guru untuk menyikapi keadaan yang telah berkembang pesat. Perolehan keilmuan pada saat dahulu harus pula berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi saat ini. Guru tidak boleh puas dengan apa yang sudah dicapai saat ini. Mereka harus berusaha mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan studi lebih lanjut.


Jika dahulu studi lanjut bagi guru adalah sesuatu yang muskil, namun sekarang dengan penghasilan dan tunjangan yang cukup besar, mereka dengan mudah bisa melanjutkan studi untuk memperoleh pengetahuan terkini yang sesuai dengan minat jenjang kependidikannya dahulu. Mereka mempunyai tambahan dana untuk membayar biaya perkuliahan per semesternya. Pilihan studi S2 menjadi tumpuan penting manakala biaya ada dan tuntutan keadaan menghendaki demikian.

Akan tetapi, kemudahan dan keadaan yang mengharuskan seperti itu tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Meskipun sudah mendapatkan legalisasi sertifikasi guru, mereka tetap tidak beranjak jauh dari posisi dan mentalitasnya yang seperti dahulu. Tunjangan sertifikasi yang cukup besar tidak cukup siginifikan merubah mindset yang tertanam kuat lama. Hampir dapat dipastikan bahwa hanya kurang dari lima prosen guru yang lulus sertifikasi mau melanjutkan studi lanjut.

Mengapa mereka tetap tidak ingin melanjutkan studi lebih tinggi? Ada beberapa alasan yang menyebabkan seorang guru tidak melanjutkan studi lanjut.

Pertama, faktor usia kerap tidak bisa dipungkiri menjadi alasan yang mendasar bagi seorang guru untuk berpikir tentang studi lanjut. Bagi guru seperti ini pendidikan lanjut bukanlah cita-cita dan upaya pencapaian belajar lebih tinggi. Dengan usia yang sudah tua mereka merasa untuk apa studi lanjut toh mereka sebentar lagi sudah pensiun dan pikun. Bagi cara berpikir mereka, orang tua seharusnya lebih fokus pada ibadah saja bukan pada keinginan yang muluk-muluk dan berpikir yang berat-berat.

Di satu sisi cara berpikir seperti ini mendekati kebenaran. Guru yang mendekati pensiun seakan tiada gunanya untuk studi lanjut. Apalagi jika studi lanjut dihubungkan dengan persoalan PAK dan keinginan mengejar jabatan tertentu, jelas posisi mereka semakin jauh dari upaya untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Namun demikian, ada satu kelemahan yang perlu kita kaji bersama dari pernyataan tersebut. Guru yang sudah tua bukan berarti harus berhenti untuk belajar. Belajar pada prinsipnya tidak mengenal batas usia. Usia lansia pun tetap diharapkan terus mengembangkan pengetahuan. Dengan belajar sepanjang hayat, berarti guru tersebut mencegah kepikunan yang mungkin akan menimpanya jika ia tidak membaca dan berpikir.

Kedua, pada umumnya guru beranggapan bahwa studi lanjut bagi mereka adalah sesuatu yang muskil. Mengapa? Mereka mempunyai beban ekonomi yang cukup besar. Mereka mempunyai anggapan bahwa gaji dan tunjangan yang diperolehnya tidak untuk mengembangkan potensi dan kemampuan pedagogik dan akademik lainnya, melainkan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Tanggung jawab untuk menyekolahkan anaknya ini adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika mereka nekat untuk studi lanjut, lalu biaya untuk keperluan sehari-hari akan dicari lagi dari mana?

Sekilas jawaban tersebut sangat logis. Memang kebutuhan guru sama dengan orang tua lainnya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa beban ekonomi guru sangat besar. Mereka harus mencari biaya hidup dengan penghasilan yang pas-pasan. Mereka juga ingin anak-anak mereka mengeyam pendidikan yang lebih baik. Mereka ingin agar anak-anaknya mendapatkan perguruan tinggi yang bonafid dan terpandang.

Sebelum adanya Undang-Undang Guru dan Dosen, jawaban tersebut masuk akal. Dengan gaji yang rendah sangat tidak mungkin guru berkeinginan untuk melanjutkan studi lanjut. Penghasilan mereka hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Demi kuliah anak-anaknya mereka menetapkan pola hidup yang disiplin, keras, dan penuh keprihatinan. Kadang ada guru yang rela bekerja sambilan agar keluarganya bisa hidup, lebih sejahtera, dan bisa menikmati pendidikan yang baik.

Namun demikian, jika tunjangan sertifikasi ini benar-benar direalisasikan tanpa diskriminatif tentu saja guru tidak mengalami kesulitan ekonomi yang teramat berat. Khususnya guru yang PNS atau guru tetap yang bekerja di sekolah yang yayasannya kuat, mereka memiliki kelebihan dana yang bisa dialokasikan untuk studi lanjut. Dengan tunjangan dan gaji tetap yang mereka memperoleh, mereka bisa mengelola keuangan dengan lebih baik dan akhirnya bisa menyisakan sedikit untuk melanjutkan pendidikannya. Bukanlah dengan pendidikan lebih tinggi maka akan terbuka kesempatan untuk menggali pundi-pundi ekonomi lebih mendalam dan luas?

Ketiga, alasan yang umumnya hinggap di kepala bapak-ibu guru mengapa mereka tidak mau sekolah adalah persoalan mobilitas vertikal yang dipahami secara kaku dan keliru. Mengapa? Hal ini terkait dengan persepsi keberhasilan orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Dalam alam pikiran masyarakat Indonesia muncul persepsi bahwa orang tua yang berhasil mendidik anaknya adalah mereka yang mampu membiayai sekolah anaknya lebih tinggi daripada jenjang pendidikan orang tuanya. Jika orang tuanya lulusan SD, maka anaknya minimal SMP, syukur-syukur SMA atau bahkan sarjana. Inilah potret keberhasilan orang tua Indonesia. Mereka yang mampu membiayai anaknya sampai sarjana berarti orang tua yang sukses dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya.Inilah prinsip mobilitas sosial yang dipahami oleh para orang tua atau masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kondisi ini memang tidak dapat disalahkan mengingat secara kultural anggapan keberhasilan anak itu lebih dipentingkan pada pola pengasuhan pada keluarga-keluarga semi modern selama ini. Hanya saja, jika persepsi ini digebyah-uyah pada situasi dan kondisi yang berbeda tentu saja menghasilkan sesuatu yang kurang pas. Harusnya persepsi itu jangan dipahami secara kaku dan tidak mau melakukan pemahaman ulang terhadap persepsi itu lagi. Situasi seperti ini berkembang pada benak guru juga. Mereka berpikir biarlah anak mereka yang belajar dengan baik, biarlah orang tua mengalah untuk memberikan biaya studi pada anak-anak mereka. Jika mereka nekat kuliah, pasti orang-orang di sekitar mereka akan mengatakan bahwa mereka adalah orang tua yang egosi, hanya mementingkan diri sendiri.

Dengan tunjangan sertifikasi guru, setidaknya ada sedikit dana untuk melanjutkan studi tanpa harus mengurangi hak anak yang sudah diprogramkan selama ini. Dengan demikian biaya sekolah untuk anak tetap dan biaya untuk kuliah sang guru juga bisa disiasati sebaik-baiknya.

Keempat, hal ini yang paling parah di mana tunjangan sertifikasi bukan untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya justru untuk mengembangkan konsumsinya yang jelas jauh dari produktifitas kerja guru tersebut. Tunjangan sertifikasi belum diterima tetapi mereka sudah mengajukan kredit untuk beli sepeda motor baru, lemari es, televisi, kapling rumah, dan mobil. Pemerintah sudah berusaha meningkatkan penghasilan guru untuk meningkatkan potensi mereka namun para guru malah sibuk melampiaskan dendam kesumatnya. Dahulu mereka tidak bisa merasakan nikmatnya mengendarai mobil, punya rumah yang bagus, dan sarana modernitas yang baik pula, kini mereka berupaya membeli apa saja yang dahulu tidak bisa terbeli.

Tunjangan sertifikasi akhirnya mengalir begitu saja tanpa ada usaha untuk menggunakannya pada kegiatan studi yang terbukti lebih efektif. Para guru terperangkap pada euforia kebebasan seperti halnya gerakan mahasiswa pada awal reformasi. Oleh karena besarnya tunjangan yang mereka peroleh akhirnya mereka menjadi lupa bahwa tunjangan itu adalah sarana untuk mengembangkan potensi keilmuan mereka di antaranya lewat studi lanjut dan pelayanan yang terbaik bagi peserta didik. Harapan pemerintah untuk meningkatkan mutu dan kualitas guru akhirnya pupus sudah ketika praktik di lapangan memperlihatkan bahwa dana yang dialokasikan sangat besar itu tidak mengarah pada tujuan yang dicita-citakan selama ini.

Kelima, guru merasa bahwa mereka tidak pantas melanjutkan studi lanjut karena kapasitas kemampuan mereka. Alasan ini cukup mendasar sekali, mengapa? Dahulu para guru yang berasal dari generasi tua mulai mengajar ada yang berijazah SPG, D-2, dan paling tinggi D-3. Ketika mereka sudah S-1 saja mengalami kesulitan untuk lulus, maka mereka berpikir bahwa S-2 pasti akan lebih menyulitkan mereka lagi untuk menyelesaikan masa studinya. Ketakutan mengikuti program reguler studi lanjut menyebabkan mereka akhirnya melakukan jalan pintas memilih program studi lanjut pada perguruan tinggi yang kurang ternama hanya untuk mendapatkan kemudahan mendapatkan gelar dan ijasah saja. Akibatnya, dalam jangka waktu banyak lulusan program S-2 tanpa legalitas ijasah yang jelas.

Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal

Senin, 25 Mei 2009

NASIONALISME IMAJINER*

Nasionalisme mungkin kata yang tak asing lagi bagi para pemuda Indonesia saat ini. Ketidakasingan itu dapat terlihat pada peranan pendidikan sejarah dan pendidikan kewarganegaraan yang diberikan pada para pemuda Indonesia ketika mereka masih berstatus sebagai pelajar di bangku sekolah. Mereka mendapatkan doktrin dan muatan materi, konsep, ataupun teori nasionalisme itu dari tokoh-tokoh seperti Otto Bauer, Ernest Renan, Hans Kohn, dan Lothrop Stoddard dan sebagainya. Namun demikian apa yang sudah didapatkan para pemuda itu ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman nasionalisme pada era globalisasi yang suasananya berbeda pada realitas historis jaman dahulu dulu. Mengapa bisa demikian?

Situasi dan kondisi itu bisa dipahami sejauh kita menyadari bahwa model dan materi pembelajaran sejarah maupun PKn kurang melesat memenuhi tuntutan jaman. Jaman berubah namun materi yang diajarkan seakan jalan ditempat. Guru yang mengajar pun rata-rata cukup puas dengan bekal dan bahan mengajar yang seperti itu. Terkadang mereka puas dengan apa yang sudah diberikan dan dipahami selama kuliah di lembaga pencetak guru. Terkadang mereka menganggap bahwa materi itu masih cespleng untuk mengajari anak didiknya dengan sebaik-baiknya.

Pada dasarnya mapel sejarah berisi data-data historis tentang apa yang telah diperbuat pemuda bangsa ini pada awal abad ke-20. Materi pergerakan nasional yang digawangi oleh pemuda seperti Dr. Soetomo. Dr. Wahidin Soedirohusodo, Soewardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Tirto Adisoerjo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan sebagainya memulai mengenalkan konsep organisasi dan kebangsaan meskipun dalam tataran dan ruang lingkup yang sangat sempit. Konsep kebangsaan itu makin lama makin massiv ketika perilaku politik kolonial Belanda tidak memberikan ruang bagi para pemuda itu untuk berekspresi sesuai dengan tuntutan kebebasan pada situasi yang tidak seimbang saat itu.

Namun demikian, sikap kebangsaan para pemuda itu tidak muncul begitu saja, mereka memiliki rasa kebangsaan itu karena praktik penjajahan yang sangat lama yang telah melahirkan kesengsaraan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemelaratan sebagai bangsa yang terjajah. Adanya perlakuan seperti itu menyebabkan muncul perasaan senasib sepenanggungan dan kehendak bersatu dari segenap komponen bangsa yang berbeda etnis dan bahasanya itu.

Bentuk-bentuk perlawanan dari bangsa Indonesia belum mampu menjawab dan menuntaskan penderitaan yang teramat kejam. Perlawanan Diponegoro, Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Teuku Cik Di Tiro, Pattimuran, Hassanudin, dan sebagainya hanya mengoyahkan sedikit kekuasaan Belanda di wilayah-wilayah tertentu. Perlawanan itu umumnya mengalami kegagalan yang disebabkan belum adanya kesepakatan untuk apa mereka melakukan perlawanan fisik dalam perspektif nasional. Perlawanan daerah itu akhirnya pun punah karena belum adanya kesatuan sikap antara pejuang dalam lingkup nasional.

Politik etis van Deventer membuka celah bagi para pemuda untuk mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada negeri ini. Para pemuda yang berasal dari ningrat memiliki akses yang terbatas sebetulnya untuk memasuki area pendidikan Kolonial. Namun dengan serba keterbatasan ningrat yang berpikiran maju menyuruh anak-anak mereka untuk memasuki jenjang demi jenjang pendidikan Kolonial setinggi mungkin. Mereka berpikir bahwa dengan pendidikan yang dimilikinya akan menambah bekal dan kemampuan anak mereka mendapatkan posisi di birokrasi kepamongprajaan pemerintah Kolonial Belanda.

Ketika anak-anak ningrat menyelesaikan studinya, banyak dari mereka yang justru tidak memasuki wilayah birokrasi sebagai wujud penerapan keilmuan mereka. Mereka justru tertarik untuk berjuang menuntut perubahan yang terpenting bagi masa depan Indonesia. Nasinalisme mereka terbentuk untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang sempat terhina selama berabad-abad. 
Tuntutan nasionalisme begitu riil dan konkrit disuarakan oleh generasi 1920-an. Perjuangan lewat forum organisasi dan partai begitu nyata kehadiran dan tuntutannya karena ada musuh yang begitu nampak bentuknya untuk disingkirkan keberadaannya dari negeri ini. Musuh itu adalah Belanda lalu Jepang yang datang tahun 1942.

Bagaimana dengan situasi sekarang? Bagaimana dengan konsep nasionalisme versi buku mapel sejarah dan PKn itu, apakah materinya sudah bisa memberikan pemahaman pada anak didik pada situasi yang berbeda? Pada materi pelajaran sejarah, jelas sekali dibutuhkan upaya memahamkan apa yang sudah menjadi jalinan sejarah itu untuk ditarik garis kesimpulannya dan mencoba membandingkan semangat kepemudaan menanggapi perubahan jaman yang sangat cepat ini.  Realitas sejarah dengan kenyataan yang muncul pada masa kini jelas berbeda. Anak muda jaman dahulu memang memiliki kepekaan sosial begitu besar karena tuntutan kondisi yang ada dan musuh politik yang jelas nampak ada. Pada masa sekarang, kita semakin merasa kabur terhadap fenomena kepemudaan yang dilakukan. Pemuda sekarang identik dengan ketidaktahuan akan persoalan yang melanda bangsa. Pandangan seperti ini agaknya diperkuat oleh pembenaran yang dikatakan bapak dan ibu guru yang mengajar di sekolah. Perbedaan sudut pandang yang dilegitimasi oleh buku-buku pelajaran baik mapel sejarah maupun PKn menjadi sesuatu yang dipegang teguh oleh guru ketika memberikan transfer pengetahuan pada anak didiknya. Meskipun tidak semua guru begitu, namun secara umum guru pengajar sejarah dan PKn memiliki pandangan yang sama ketika mengajarkan konsep-konsep keilmuan itu pada anak didiknya yang dianggap tidak mengerti apa-apa. Guru menganggap bahwa konsep nasionalisme yang ditawarkan melalui buku-buku paket itu statusnya sudah final dan sudah tidak bisa dibantah lagi. Artinya guru menganggap bahwa melalui bukti dan fakta sejarah yang terkait dengan konsep nasionalisme itu sudah teruji situasi dan waktu. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan pada anak didik, meskipun anak didik sendiri yang kritis sudah merasa jenuh dan bosan.

Namun demikian, ada secercah harapan ketika kita membuka buku pelajaran PKn kelas X di mana pada halaman awal anak didik sudah dibekali beberapa konsep nasionalisme. Dalam pembahasan selanjutnya buku itu kita dihadapkan pada persoalan konkrit yang begitu besar seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi isyu besar untuk dipecahkan berdasarkan konsep nasionalisme tersebut. Bagi guru yang kolot dan konservatif mungkin persoalan nasionalisme tidak terkait dengan KKN bangsa ini yang akut. Nasionalisme memang berbicara tentang kebangsaan. Nasionalisme terlahir karena penderitaan kebangsaan dan untuk itu ada kesepakatan antar elemen-elemen yang terpinggirkan itu untuk menyatu dan berkehendak. Oleh karena itu sangat cocok sebetulnya jika persoalan bangsa yang begitu bobrok ini turut diperbincangkan melalui sudut pandang kecintaan kita terhadap negeri yang bernama Indonesia ini. Jika KKN itu jelas meniadakan dan menghancurkan tatanan normatif yang menjadi sokoguru dan penyokong NKRI maka sudah pasti sebagai generasi muda kita turut berkecimpung dan bergerak untuk menghilangkan unsur-unsur KKN itu dengan cara-cara elegan dan bersahaja juga.

Persoalan nasionalisme juga harus diperlebar wilayah pemahamannya. Nasionalisme bukan barang mati untuk ditafsirkan secara tunggal semata. Guru sejarah harusnya berada di garda depan untuk turut memberikan pemahaman itu pada generasi yang sedang tumbuh ini. Nasionalisme tidak kaku hanya berlaku ketika bangsa kita terjajah dan dieksploitasi oleh pihak asing pada masa lalu, namun nasionalisme sangat pantas untuk mempersoalkan pula situasi ekonomi yang tidak adil pada situasi terkini. Bagaimana guru membahas persoalan ekonomi bangsa dan ikon-ikon penting yang menjadi simbol-simbol nasionalisme baru ini yang perlu disosialisasikan dan dimunculkan pada setiap pembelajaran di kelas. Agaknya guru sejarah dan PKn perlu membaca ulang konsep nasionalisme imajinernya Bennedict Anderson agar mampu memberkan rambu-rambu yang sesuai dengan realitas Indonesia yang sudah berubah.
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. 

Rabu, 20 Mei 2009

KEBANGKITAN NASIONAL: SIMBOLISME SEMATA?*

Hari ini seratus satu tahun kebangkitan nasional, banyak sudah segala sesuatu yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun segenap rakyat Indonesia untuk mewujudkan makna dari sebuah kebangkitan bangsa. Sejak awal kebangkitan nasional disuarakan oleh Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 1908 bangsa ini sudah mulai bersepakat tentang penting sebuah kesadaran memiliki meskipun waktu itu Boedi Oetomo sejatinya adalah organisasi yang lingkup kegiatannya bergerak di bidang sosial budaya.

Boedi Oetomo mengawali bangsa Indonesia ini dengan semangat pemuda akan pentingnya sebuah organisasi. Ia lahir karena kebuntuan antara kebijakan pemerintah Kolonial dengan kehendak rakyat tanah jajahan yang tak pernah mendapatkan ruang apresiasi yang adil dan bijak. Pemerintah Kolonial tentu saja menjadikan situasi negeri yang saat itu belum berani mengangkat identitas keindonesiaan membatasi pengakuan hak-hak politik dan kebebasan berbicara atas nama apa saja.

Lalu, dalam rentang waktu yang relatif singkat bermuncullah organisasi massa yang berbasis kerakyatan, nasionalisme, ataupun keagamaan yang berlomba-lomba menghiasi wajah sejarah Indonesia. Berdirilah Syarekat Dagang Islam, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, PKI, PNI, Parindra, Gerindo, dan lain sebagainya yang menambah dinamika inetelektualitas dan wajah pergerakan nasional. Dengan tampilan organisasi-organisasi itu, mereka lantang dan berani mengotak-ngatik kesombongan Kolonial di Indonesia itu. Semakin lama organisasi-organisasi itu meniupkan angin kebebasan, demokrasi, dan sayup-sayup mulai terdengar semangat kemerdekaan yang bertambah keras dan masif.

Situasi kolonial memberikan peluang bagi anak bangsa untuk bersatu dan bangkit melawan ketidakadilan, kesengsaraan, dan kemiskinan yang ditancapkan pemerintah Kolonial Belanda. Rakyat yang menderita terlalu lama akhirnya memiliki kesadaran untuk memulai dan mengorganisasi diri dalam satu wadah yang efektif melawan kekuasaan Kolonial. Mereka menentang segala bentuk ketidakadilan yang tersistematisasi dalam struktur yang tidak imbang. Meskipun lama, akhirnya perjuangan yang diawali oleh Boedi Oetomo dapat membuahkan hasil yang berupa ikrar Sumpah Pemuda dan puncaknya adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Ketika bangsa kita sudah mencapai apa yang selama ini menjadi isyu pergerakan nasional masa itu, maka yang terjadi adalah bangsa ini mengalami sebuah kebingungan untuk menata kembali isu-isu yang mampu memberi dorongan untuk melakukan kebangkitan kembali. Saat ini tak ada sebuah persoalan yang mampu membangkitkan kembali semangat kebangsaan Indonesia yang justru mengalami antiklimaks pascaproklamasi kemerdekaan. Mengapa bisa terjadi seperti itu?

Setiap tahun kita pasti melaksanakan ritual kebangkitan kebangsaan dengan memasang atribut kebangsaan yang sekiranya sesuai dengan tema-tema pembangunan. Upacara diselenggarakan baik di instansi pemerintahan maupun sekolah-sekolah. Pembina upacara pun tidak ketinggalan memberikan pidato pengarahan tentang makna kebangkitan kebangsaan. Guru sejarah atau PKn juga dipaksa untuk menyempatkan materi pergerakan nasional di sela-sela pelajaran yang jauh dari pembahasan itu.

Secara normatif dan formal, kita sebagai generasi penerus bangsa ini sudah dianggap memiliki kesadaran bersejarah, berbangsa, dan bernegara yang cukup tinggi. Di mana-mana ornamen kebangkitan bangsa dapat terlihat pada spanduk-spanduk yang dipasang di instansi pemerintah, sekolah, dan sarana publik. Di setiap televisi kita melihat iklan layanan pemerintah yang berkaitan dengan hari kebangkitan ini. Namun ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam sanubari kita: apakah yang dilakukan oleh anak bangsa itu tidak sekedar simbolisme semata atau ritualitas semu yang kosong makna?

Mengapa? ada banyak penjelasan yang mungkin bisa kita ungkapkan dalam hal ini. Jelasnya bahwa kekosongan makna terlihat pada apatisme anak muda bangsa ini dalam menelaah isyu-isyu nasional. Kesadaran mereka belum cukup matang untuk menanggapi persoalan-persoalan yang menghinggapi keadaan negeri ini. Setiap peristiwa besar yang menyangkut nasib dan masa depan bangsa ini terlewatkan begitu saja tanpa rasa kepedulian yang kental.

Di sisi lain sikap apresiasi mereka terhadap upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengisi masa pembangunan yang indah ini adalah nol besar. Mereka banyak menghamburkan waktu untuk hal-hal yang sifatnya rekreatif. Kapan mereka bisa bangkit kalau keseharian mereka habis untuk memperbincangkan persoalan remeh-temeh percintaan, pacaran, dan gosip artis?

Singkatnya, kebangkitan nasional adalah keniscayaan sebuah bangsa untuk menolak dan mengalahkan situasi dan kondisi bangsa yang melemahkan dan merugikan perjalanan mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk itu, bangsa ini harus tetap bangkit agar apa yang sudah digariskan dalam semboyan kebangsaan kita tetap terjaga dengan baik. Jika kita hanya terpaku dan puas dengan ritualitas upacara dan spanduk yang hanya berisi narasi besar saja, maka kita sebetulnya belum bangkit akan kesadaran yang semestinya. Agaknya, kita masih jauh dari cita-cita itu.
Penulis: Muslichin,  guru SMA 2 Kendal.

Minggu, 12 April 2009

KETERPESONAAN PADA RAUT TRADISI

Melihat Bali dari dekat, seakan ada di hadapan kita bayang-bayang masa lalu keindonesiaan yang tetap lestari dan terjaga dengan formulasi ritus melalui gerak, pekik, dan bahasa yang apik. Bali menawarkan pesona kelaluan yang mengindah secara alami, sesuai dengan panorama alamnya yang mendukung: sawah, subak, bukit-bukit, terasiring, pura, danau, dan tentu saja pantai-pantai keramatnya.

Orang-orang yang lalu lalang dengan antribut ritual mereka begitu eman kalau ditinggalkan oleh mata yang mengerti.  Orang-orang yang berhias, pura yang terbungkus janur kuning, patung yang diselimuti warna hitam dan putih, hiasan bunga-bunga melati yang terselip diantara telinga gadis-gadis Bali yang cantik, kerancakan gamelan Bali yang riang dan lincah, tarian Barong, Kecak dan Pendet yang magis, serta sesaji berupa warna yang ditaruh di setiap perempatan atau pohon-pohon rindang.

Tawaran keindahan tidak berhenti begitu saja. Tawa dan ramah mereka yang terlukis lewat ekspresi dan tatapan mata menyuguhkan bahwaa Bali adalah bangunan seni masa lalu yang tetap ada untuk disyukuri pada masa kini. Bali bukan semata museum budaya dan tradisi kelampauan kita saja, namun ia adalah masterpiece dari seniman dan Brahmana yang mewujud melalui ragam tradisi dan budayanya yang tetap terjaga dengan baik.

Keindahan adalah ibadah. Dari kekaguman itu muncul rasa syukur bahwa Bali mengada untuk kita. Keindahan itu menjadikan kita sadar bahwa keberagaman dan kultur harus memunculkan apresiasi yang memuncak lewat puji dan keimanan yang semakin mendalam, jauh melalui lubuk, dan bersama menyublim untuk menjalin ikatan berdasarkan keperbedaan yang dipercontohkan pada Bali. 

Bali sebagai realitas kultural yang harus dikunjungi oleh sebagian besar wisatawan dari Jawa memberikan kemungkinan untuk itu. Ia hadir sebagai pengingat pada generasi Indonesia yang sedang tumbuh, bahwa Indonesia ada karena tradisi dan nilai-nilai kultur masa lalu yang tetap harus menyala, tumbuh, dan terjaga baik. Tanpa itu, mungkin kita bukan lagi pantasi untuk mengaku sebagai orang Indonesia. (3 Foto diambil dari beberapa sumber di internet).