Senin, 25 Mei 2009

NASIONALISME IMAJINER*

Nasionalisme mungkin kata yang tak asing lagi bagi para pemuda Indonesia saat ini. Ketidakasingan itu dapat terlihat pada peranan pendidikan sejarah dan pendidikan kewarganegaraan yang diberikan pada para pemuda Indonesia ketika mereka masih berstatus sebagai pelajar di bangku sekolah. Mereka mendapatkan doktrin dan muatan materi, konsep, ataupun teori nasionalisme itu dari tokoh-tokoh seperti Otto Bauer, Ernest Renan, Hans Kohn, dan Lothrop Stoddard dan sebagainya. Namun demikian apa yang sudah didapatkan para pemuda itu ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman nasionalisme pada era globalisasi yang suasananya berbeda pada realitas historis jaman dahulu dulu. Mengapa bisa demikian?

Situasi dan kondisi itu bisa dipahami sejauh kita menyadari bahwa model dan materi pembelajaran sejarah maupun PKn kurang melesat memenuhi tuntutan jaman. Jaman berubah namun materi yang diajarkan seakan jalan ditempat. Guru yang mengajar pun rata-rata cukup puas dengan bekal dan bahan mengajar yang seperti itu. Terkadang mereka puas dengan apa yang sudah diberikan dan dipahami selama kuliah di lembaga pencetak guru. Terkadang mereka menganggap bahwa materi itu masih cespleng untuk mengajari anak didiknya dengan sebaik-baiknya.

Pada dasarnya mapel sejarah berisi data-data historis tentang apa yang telah diperbuat pemuda bangsa ini pada awal abad ke-20. Materi pergerakan nasional yang digawangi oleh pemuda seperti Dr. Soetomo. Dr. Wahidin Soedirohusodo, Soewardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Tirto Adisoerjo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan sebagainya memulai mengenalkan konsep organisasi dan kebangsaan meskipun dalam tataran dan ruang lingkup yang sangat sempit. Konsep kebangsaan itu makin lama makin massiv ketika perilaku politik kolonial Belanda tidak memberikan ruang bagi para pemuda itu untuk berekspresi sesuai dengan tuntutan kebebasan pada situasi yang tidak seimbang saat itu.

Namun demikian, sikap kebangsaan para pemuda itu tidak muncul begitu saja, mereka memiliki rasa kebangsaan itu karena praktik penjajahan yang sangat lama yang telah melahirkan kesengsaraan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemelaratan sebagai bangsa yang terjajah. Adanya perlakuan seperti itu menyebabkan muncul perasaan senasib sepenanggungan dan kehendak bersatu dari segenap komponen bangsa yang berbeda etnis dan bahasanya itu.

Bentuk-bentuk perlawanan dari bangsa Indonesia belum mampu menjawab dan menuntaskan penderitaan yang teramat kejam. Perlawanan Diponegoro, Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Teuku Cik Di Tiro, Pattimuran, Hassanudin, dan sebagainya hanya mengoyahkan sedikit kekuasaan Belanda di wilayah-wilayah tertentu. Perlawanan itu umumnya mengalami kegagalan yang disebabkan belum adanya kesepakatan untuk apa mereka melakukan perlawanan fisik dalam perspektif nasional. Perlawanan daerah itu akhirnya pun punah karena belum adanya kesatuan sikap antara pejuang dalam lingkup nasional.

Politik etis van Deventer membuka celah bagi para pemuda untuk mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada negeri ini. Para pemuda yang berasal dari ningrat memiliki akses yang terbatas sebetulnya untuk memasuki area pendidikan Kolonial. Namun dengan serba keterbatasan ningrat yang berpikiran maju menyuruh anak-anak mereka untuk memasuki jenjang demi jenjang pendidikan Kolonial setinggi mungkin. Mereka berpikir bahwa dengan pendidikan yang dimilikinya akan menambah bekal dan kemampuan anak mereka mendapatkan posisi di birokrasi kepamongprajaan pemerintah Kolonial Belanda.

Ketika anak-anak ningrat menyelesaikan studinya, banyak dari mereka yang justru tidak memasuki wilayah birokrasi sebagai wujud penerapan keilmuan mereka. Mereka justru tertarik untuk berjuang menuntut perubahan yang terpenting bagi masa depan Indonesia. Nasinalisme mereka terbentuk untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang sempat terhina selama berabad-abad. 
Tuntutan nasionalisme begitu riil dan konkrit disuarakan oleh generasi 1920-an. Perjuangan lewat forum organisasi dan partai begitu nyata kehadiran dan tuntutannya karena ada musuh yang begitu nampak bentuknya untuk disingkirkan keberadaannya dari negeri ini. Musuh itu adalah Belanda lalu Jepang yang datang tahun 1942.

Bagaimana dengan situasi sekarang? Bagaimana dengan konsep nasionalisme versi buku mapel sejarah dan PKn itu, apakah materinya sudah bisa memberikan pemahaman pada anak didik pada situasi yang berbeda? Pada materi pelajaran sejarah, jelas sekali dibutuhkan upaya memahamkan apa yang sudah menjadi jalinan sejarah itu untuk ditarik garis kesimpulannya dan mencoba membandingkan semangat kepemudaan menanggapi perubahan jaman yang sangat cepat ini.  Realitas sejarah dengan kenyataan yang muncul pada masa kini jelas berbeda. Anak muda jaman dahulu memang memiliki kepekaan sosial begitu besar karena tuntutan kondisi yang ada dan musuh politik yang jelas nampak ada. Pada masa sekarang, kita semakin merasa kabur terhadap fenomena kepemudaan yang dilakukan. Pemuda sekarang identik dengan ketidaktahuan akan persoalan yang melanda bangsa. Pandangan seperti ini agaknya diperkuat oleh pembenaran yang dikatakan bapak dan ibu guru yang mengajar di sekolah. Perbedaan sudut pandang yang dilegitimasi oleh buku-buku pelajaran baik mapel sejarah maupun PKn menjadi sesuatu yang dipegang teguh oleh guru ketika memberikan transfer pengetahuan pada anak didiknya. Meskipun tidak semua guru begitu, namun secara umum guru pengajar sejarah dan PKn memiliki pandangan yang sama ketika mengajarkan konsep-konsep keilmuan itu pada anak didiknya yang dianggap tidak mengerti apa-apa. Guru menganggap bahwa konsep nasionalisme yang ditawarkan melalui buku-buku paket itu statusnya sudah final dan sudah tidak bisa dibantah lagi. Artinya guru menganggap bahwa melalui bukti dan fakta sejarah yang terkait dengan konsep nasionalisme itu sudah teruji situasi dan waktu. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan pada anak didik, meskipun anak didik sendiri yang kritis sudah merasa jenuh dan bosan.

Namun demikian, ada secercah harapan ketika kita membuka buku pelajaran PKn kelas X di mana pada halaman awal anak didik sudah dibekali beberapa konsep nasionalisme. Dalam pembahasan selanjutnya buku itu kita dihadapkan pada persoalan konkrit yang begitu besar seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi isyu besar untuk dipecahkan berdasarkan konsep nasionalisme tersebut. Bagi guru yang kolot dan konservatif mungkin persoalan nasionalisme tidak terkait dengan KKN bangsa ini yang akut. Nasionalisme memang berbicara tentang kebangsaan. Nasionalisme terlahir karena penderitaan kebangsaan dan untuk itu ada kesepakatan antar elemen-elemen yang terpinggirkan itu untuk menyatu dan berkehendak. Oleh karena itu sangat cocok sebetulnya jika persoalan bangsa yang begitu bobrok ini turut diperbincangkan melalui sudut pandang kecintaan kita terhadap negeri yang bernama Indonesia ini. Jika KKN itu jelas meniadakan dan menghancurkan tatanan normatif yang menjadi sokoguru dan penyokong NKRI maka sudah pasti sebagai generasi muda kita turut berkecimpung dan bergerak untuk menghilangkan unsur-unsur KKN itu dengan cara-cara elegan dan bersahaja juga.

Persoalan nasionalisme juga harus diperlebar wilayah pemahamannya. Nasionalisme bukan barang mati untuk ditafsirkan secara tunggal semata. Guru sejarah harusnya berada di garda depan untuk turut memberikan pemahaman itu pada generasi yang sedang tumbuh ini. Nasionalisme tidak kaku hanya berlaku ketika bangsa kita terjajah dan dieksploitasi oleh pihak asing pada masa lalu, namun nasionalisme sangat pantas untuk mempersoalkan pula situasi ekonomi yang tidak adil pada situasi terkini. Bagaimana guru membahas persoalan ekonomi bangsa dan ikon-ikon penting yang menjadi simbol-simbol nasionalisme baru ini yang perlu disosialisasikan dan dimunculkan pada setiap pembelajaran di kelas. Agaknya guru sejarah dan PKn perlu membaca ulang konsep nasionalisme imajinernya Bennedict Anderson agar mampu memberkan rambu-rambu yang sesuai dengan realitas Indonesia yang sudah berubah.
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar