Rabu, 20 Mei 2009

KEBANGKITAN NASIONAL: SIMBOLISME SEMATA?*

Hari ini seratus satu tahun kebangkitan nasional, banyak sudah segala sesuatu yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun segenap rakyat Indonesia untuk mewujudkan makna dari sebuah kebangkitan bangsa. Sejak awal kebangkitan nasional disuarakan oleh Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 1908 bangsa ini sudah mulai bersepakat tentang penting sebuah kesadaran memiliki meskipun waktu itu Boedi Oetomo sejatinya adalah organisasi yang lingkup kegiatannya bergerak di bidang sosial budaya.

Boedi Oetomo mengawali bangsa Indonesia ini dengan semangat pemuda akan pentingnya sebuah organisasi. Ia lahir karena kebuntuan antara kebijakan pemerintah Kolonial dengan kehendak rakyat tanah jajahan yang tak pernah mendapatkan ruang apresiasi yang adil dan bijak. Pemerintah Kolonial tentu saja menjadikan situasi negeri yang saat itu belum berani mengangkat identitas keindonesiaan membatasi pengakuan hak-hak politik dan kebebasan berbicara atas nama apa saja.

Lalu, dalam rentang waktu yang relatif singkat bermuncullah organisasi massa yang berbasis kerakyatan, nasionalisme, ataupun keagamaan yang berlomba-lomba menghiasi wajah sejarah Indonesia. Berdirilah Syarekat Dagang Islam, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, PKI, PNI, Parindra, Gerindo, dan lain sebagainya yang menambah dinamika inetelektualitas dan wajah pergerakan nasional. Dengan tampilan organisasi-organisasi itu, mereka lantang dan berani mengotak-ngatik kesombongan Kolonial di Indonesia itu. Semakin lama organisasi-organisasi itu meniupkan angin kebebasan, demokrasi, dan sayup-sayup mulai terdengar semangat kemerdekaan yang bertambah keras dan masif.

Situasi kolonial memberikan peluang bagi anak bangsa untuk bersatu dan bangkit melawan ketidakadilan, kesengsaraan, dan kemiskinan yang ditancapkan pemerintah Kolonial Belanda. Rakyat yang menderita terlalu lama akhirnya memiliki kesadaran untuk memulai dan mengorganisasi diri dalam satu wadah yang efektif melawan kekuasaan Kolonial. Mereka menentang segala bentuk ketidakadilan yang tersistematisasi dalam struktur yang tidak imbang. Meskipun lama, akhirnya perjuangan yang diawali oleh Boedi Oetomo dapat membuahkan hasil yang berupa ikrar Sumpah Pemuda dan puncaknya adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Ketika bangsa kita sudah mencapai apa yang selama ini menjadi isyu pergerakan nasional masa itu, maka yang terjadi adalah bangsa ini mengalami sebuah kebingungan untuk menata kembali isu-isu yang mampu memberi dorongan untuk melakukan kebangkitan kembali. Saat ini tak ada sebuah persoalan yang mampu membangkitkan kembali semangat kebangsaan Indonesia yang justru mengalami antiklimaks pascaproklamasi kemerdekaan. Mengapa bisa terjadi seperti itu?

Setiap tahun kita pasti melaksanakan ritual kebangkitan kebangsaan dengan memasang atribut kebangsaan yang sekiranya sesuai dengan tema-tema pembangunan. Upacara diselenggarakan baik di instansi pemerintahan maupun sekolah-sekolah. Pembina upacara pun tidak ketinggalan memberikan pidato pengarahan tentang makna kebangkitan kebangsaan. Guru sejarah atau PKn juga dipaksa untuk menyempatkan materi pergerakan nasional di sela-sela pelajaran yang jauh dari pembahasan itu.

Secara normatif dan formal, kita sebagai generasi penerus bangsa ini sudah dianggap memiliki kesadaran bersejarah, berbangsa, dan bernegara yang cukup tinggi. Di mana-mana ornamen kebangkitan bangsa dapat terlihat pada spanduk-spanduk yang dipasang di instansi pemerintah, sekolah, dan sarana publik. Di setiap televisi kita melihat iklan layanan pemerintah yang berkaitan dengan hari kebangkitan ini. Namun ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam sanubari kita: apakah yang dilakukan oleh anak bangsa itu tidak sekedar simbolisme semata atau ritualitas semu yang kosong makna?

Mengapa? ada banyak penjelasan yang mungkin bisa kita ungkapkan dalam hal ini. Jelasnya bahwa kekosongan makna terlihat pada apatisme anak muda bangsa ini dalam menelaah isyu-isyu nasional. Kesadaran mereka belum cukup matang untuk menanggapi persoalan-persoalan yang menghinggapi keadaan negeri ini. Setiap peristiwa besar yang menyangkut nasib dan masa depan bangsa ini terlewatkan begitu saja tanpa rasa kepedulian yang kental.

Di sisi lain sikap apresiasi mereka terhadap upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengisi masa pembangunan yang indah ini adalah nol besar. Mereka banyak menghamburkan waktu untuk hal-hal yang sifatnya rekreatif. Kapan mereka bisa bangkit kalau keseharian mereka habis untuk memperbincangkan persoalan remeh-temeh percintaan, pacaran, dan gosip artis?

Singkatnya, kebangkitan nasional adalah keniscayaan sebuah bangsa untuk menolak dan mengalahkan situasi dan kondisi bangsa yang melemahkan dan merugikan perjalanan mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk itu, bangsa ini harus tetap bangkit agar apa yang sudah digariskan dalam semboyan kebangsaan kita tetap terjaga dengan baik. Jika kita hanya terpaku dan puas dengan ritualitas upacara dan spanduk yang hanya berisi narasi besar saja, maka kita sebetulnya belum bangkit akan kesadaran yang semestinya. Agaknya, kita masih jauh dari cita-cita itu.
Penulis: Muslichin,  guru SMA 2 Kendal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar