Selasa, 26 Mei 2009

STUDI LANJUT DAN SERTIFIKASI GURU*

Pada dasarnya adanya sertifikasi memberikan harapan dan jaminan akan kemajuan pendidikan di Indonesia. Persoalan mendasar seperti anggaran pendidikan yang rendah dan minimalnya gaji guru sebagai pelaku utama pendidikan di Indonesia akhirnya pupus dengan hadirnya Undang Undang No. 19 tentang Guru dan Dosen tahun 2005.

Undang-undang itu telah memberikan dukungan nyata bagi pengembangan pendidikan yang realistis di Indonesia. Pendidikan tidak lagi dianak-tirikan begitu saja. Pemerintah memberikan dukungan nyata melalui anggaran negara sebesar 20% setiap tahunnya. Melalui sertifikasi pemerintah menambakan tunjangan fungsionalnya sebanyak satu kali gaji pokok. Hal ini berarti menambah kesejahteraan yang cukup baik bagi kalangan guru yang selama ini menjadi korban kebijakan.


Adanya undang-undang itu memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan aspek profesionalismenya yang selama ini dinomorkanduakan karena mereka sibuk mencari omprengan di sana-sini. Guru kembali fokus untuk memberikan pengajaran yang terbaik bagi peserta didik. Mereka lebih fokus untuk mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan semenjak dahulu. Masalah administrasi pembelajaran lengkap dengan jenis model, media, strategi, pendekatan, dan jenis tagihan/penilaiannya dilakukan kembali dengan lebih lengkap dan utuh.

Di sisi lain, kenaikan tunjangan guru yang memberikan rasa iri hati bagi pegawai lainnya itu harus diimbangi pula dengan usaha pengembangan diri. Era globalisasi jelas membutuhkan kreativitas para guru untuk menyikapi keadaan yang telah berkembang pesat. Perolehan keilmuan pada saat dahulu harus pula berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi saat ini. Guru tidak boleh puas dengan apa yang sudah dicapai saat ini. Mereka harus berusaha mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan studi lebih lanjut.


Jika dahulu studi lanjut bagi guru adalah sesuatu yang muskil, namun sekarang dengan penghasilan dan tunjangan yang cukup besar, mereka dengan mudah bisa melanjutkan studi untuk memperoleh pengetahuan terkini yang sesuai dengan minat jenjang kependidikannya dahulu. Mereka mempunyai tambahan dana untuk membayar biaya perkuliahan per semesternya. Pilihan studi S2 menjadi tumpuan penting manakala biaya ada dan tuntutan keadaan menghendaki demikian.

Akan tetapi, kemudahan dan keadaan yang mengharuskan seperti itu tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Meskipun sudah mendapatkan legalisasi sertifikasi guru, mereka tetap tidak beranjak jauh dari posisi dan mentalitasnya yang seperti dahulu. Tunjangan sertifikasi yang cukup besar tidak cukup siginifikan merubah mindset yang tertanam kuat lama. Hampir dapat dipastikan bahwa hanya kurang dari lima prosen guru yang lulus sertifikasi mau melanjutkan studi lanjut.

Mengapa mereka tetap tidak ingin melanjutkan studi lebih tinggi? Ada beberapa alasan yang menyebabkan seorang guru tidak melanjutkan studi lanjut.

Pertama, faktor usia kerap tidak bisa dipungkiri menjadi alasan yang mendasar bagi seorang guru untuk berpikir tentang studi lanjut. Bagi guru seperti ini pendidikan lanjut bukanlah cita-cita dan upaya pencapaian belajar lebih tinggi. Dengan usia yang sudah tua mereka merasa untuk apa studi lanjut toh mereka sebentar lagi sudah pensiun dan pikun. Bagi cara berpikir mereka, orang tua seharusnya lebih fokus pada ibadah saja bukan pada keinginan yang muluk-muluk dan berpikir yang berat-berat.

Di satu sisi cara berpikir seperti ini mendekati kebenaran. Guru yang mendekati pensiun seakan tiada gunanya untuk studi lanjut. Apalagi jika studi lanjut dihubungkan dengan persoalan PAK dan keinginan mengejar jabatan tertentu, jelas posisi mereka semakin jauh dari upaya untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Namun demikian, ada satu kelemahan yang perlu kita kaji bersama dari pernyataan tersebut. Guru yang sudah tua bukan berarti harus berhenti untuk belajar. Belajar pada prinsipnya tidak mengenal batas usia. Usia lansia pun tetap diharapkan terus mengembangkan pengetahuan. Dengan belajar sepanjang hayat, berarti guru tersebut mencegah kepikunan yang mungkin akan menimpanya jika ia tidak membaca dan berpikir.

Kedua, pada umumnya guru beranggapan bahwa studi lanjut bagi mereka adalah sesuatu yang muskil. Mengapa? Mereka mempunyai beban ekonomi yang cukup besar. Mereka mempunyai anggapan bahwa gaji dan tunjangan yang diperolehnya tidak untuk mengembangkan potensi dan kemampuan pedagogik dan akademik lainnya, melainkan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Tanggung jawab untuk menyekolahkan anaknya ini adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika mereka nekat untuk studi lanjut, lalu biaya untuk keperluan sehari-hari akan dicari lagi dari mana?

Sekilas jawaban tersebut sangat logis. Memang kebutuhan guru sama dengan orang tua lainnya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa beban ekonomi guru sangat besar. Mereka harus mencari biaya hidup dengan penghasilan yang pas-pasan. Mereka juga ingin anak-anak mereka mengeyam pendidikan yang lebih baik. Mereka ingin agar anak-anaknya mendapatkan perguruan tinggi yang bonafid dan terpandang.

Sebelum adanya Undang-Undang Guru dan Dosen, jawaban tersebut masuk akal. Dengan gaji yang rendah sangat tidak mungkin guru berkeinginan untuk melanjutkan studi lanjut. Penghasilan mereka hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Demi kuliah anak-anaknya mereka menetapkan pola hidup yang disiplin, keras, dan penuh keprihatinan. Kadang ada guru yang rela bekerja sambilan agar keluarganya bisa hidup, lebih sejahtera, dan bisa menikmati pendidikan yang baik.

Namun demikian, jika tunjangan sertifikasi ini benar-benar direalisasikan tanpa diskriminatif tentu saja guru tidak mengalami kesulitan ekonomi yang teramat berat. Khususnya guru yang PNS atau guru tetap yang bekerja di sekolah yang yayasannya kuat, mereka memiliki kelebihan dana yang bisa dialokasikan untuk studi lanjut. Dengan tunjangan dan gaji tetap yang mereka memperoleh, mereka bisa mengelola keuangan dengan lebih baik dan akhirnya bisa menyisakan sedikit untuk melanjutkan pendidikannya. Bukanlah dengan pendidikan lebih tinggi maka akan terbuka kesempatan untuk menggali pundi-pundi ekonomi lebih mendalam dan luas?

Ketiga, alasan yang umumnya hinggap di kepala bapak-ibu guru mengapa mereka tidak mau sekolah adalah persoalan mobilitas vertikal yang dipahami secara kaku dan keliru. Mengapa? Hal ini terkait dengan persepsi keberhasilan orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Dalam alam pikiran masyarakat Indonesia muncul persepsi bahwa orang tua yang berhasil mendidik anaknya adalah mereka yang mampu membiayai sekolah anaknya lebih tinggi daripada jenjang pendidikan orang tuanya. Jika orang tuanya lulusan SD, maka anaknya minimal SMP, syukur-syukur SMA atau bahkan sarjana. Inilah potret keberhasilan orang tua Indonesia. Mereka yang mampu membiayai anaknya sampai sarjana berarti orang tua yang sukses dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya.Inilah prinsip mobilitas sosial yang dipahami oleh para orang tua atau masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kondisi ini memang tidak dapat disalahkan mengingat secara kultural anggapan keberhasilan anak itu lebih dipentingkan pada pola pengasuhan pada keluarga-keluarga semi modern selama ini. Hanya saja, jika persepsi ini digebyah-uyah pada situasi dan kondisi yang berbeda tentu saja menghasilkan sesuatu yang kurang pas. Harusnya persepsi itu jangan dipahami secara kaku dan tidak mau melakukan pemahaman ulang terhadap persepsi itu lagi. Situasi seperti ini berkembang pada benak guru juga. Mereka berpikir biarlah anak mereka yang belajar dengan baik, biarlah orang tua mengalah untuk memberikan biaya studi pada anak-anak mereka. Jika mereka nekat kuliah, pasti orang-orang di sekitar mereka akan mengatakan bahwa mereka adalah orang tua yang egosi, hanya mementingkan diri sendiri.

Dengan tunjangan sertifikasi guru, setidaknya ada sedikit dana untuk melanjutkan studi tanpa harus mengurangi hak anak yang sudah diprogramkan selama ini. Dengan demikian biaya sekolah untuk anak tetap dan biaya untuk kuliah sang guru juga bisa disiasati sebaik-baiknya.

Keempat, hal ini yang paling parah di mana tunjangan sertifikasi bukan untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya justru untuk mengembangkan konsumsinya yang jelas jauh dari produktifitas kerja guru tersebut. Tunjangan sertifikasi belum diterima tetapi mereka sudah mengajukan kredit untuk beli sepeda motor baru, lemari es, televisi, kapling rumah, dan mobil. Pemerintah sudah berusaha meningkatkan penghasilan guru untuk meningkatkan potensi mereka namun para guru malah sibuk melampiaskan dendam kesumatnya. Dahulu mereka tidak bisa merasakan nikmatnya mengendarai mobil, punya rumah yang bagus, dan sarana modernitas yang baik pula, kini mereka berupaya membeli apa saja yang dahulu tidak bisa terbeli.

Tunjangan sertifikasi akhirnya mengalir begitu saja tanpa ada usaha untuk menggunakannya pada kegiatan studi yang terbukti lebih efektif. Para guru terperangkap pada euforia kebebasan seperti halnya gerakan mahasiswa pada awal reformasi. Oleh karena besarnya tunjangan yang mereka peroleh akhirnya mereka menjadi lupa bahwa tunjangan itu adalah sarana untuk mengembangkan potensi keilmuan mereka di antaranya lewat studi lanjut dan pelayanan yang terbaik bagi peserta didik. Harapan pemerintah untuk meningkatkan mutu dan kualitas guru akhirnya pupus sudah ketika praktik di lapangan memperlihatkan bahwa dana yang dialokasikan sangat besar itu tidak mengarah pada tujuan yang dicita-citakan selama ini.

Kelima, guru merasa bahwa mereka tidak pantas melanjutkan studi lanjut karena kapasitas kemampuan mereka. Alasan ini cukup mendasar sekali, mengapa? Dahulu para guru yang berasal dari generasi tua mulai mengajar ada yang berijazah SPG, D-2, dan paling tinggi D-3. Ketika mereka sudah S-1 saja mengalami kesulitan untuk lulus, maka mereka berpikir bahwa S-2 pasti akan lebih menyulitkan mereka lagi untuk menyelesaikan masa studinya. Ketakutan mengikuti program reguler studi lanjut menyebabkan mereka akhirnya melakukan jalan pintas memilih program studi lanjut pada perguruan tinggi yang kurang ternama hanya untuk mendapatkan kemudahan mendapatkan gelar dan ijasah saja. Akibatnya, dalam jangka waktu banyak lulusan program S-2 tanpa legalitas ijasah yang jelas.

Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar