Rabu, 04 Maret 2009

DUKUN KALANG, PEREMPUAN, DAN RANAH PUBLIK*


Umumnya membicarakan persoalan gender terkait dengan pembagian wilayah kerja dan aktifitas antara kaum laki-laki dan perempuan. Meski gender adalah konstruksi yang diciptakan secara historis dan kultural, namun kerap masyarakat kita yang semakin cerdas ini masih pula terjebak pada dikotomi perbedaan lelaki dan perempuan dalam memaknai suatu peran tertentu pada pelaku tradisi dalam masyarakat. Jarang ada pandangan baru tentang bagaimana reposisi peran dimaknai secara bersama-sama, baik dari sudut pandang wilayah domestik sekaligus publik. Oleh karena itu kita terkadang terjebak pada term dan pendefinisian dari apa yang kita buat sendiri, sehingga bukan upaya penjernihan dari suatu masalah melainkan pemaksaan analisis yang kabur dan rancu.

Andaikat persoalan gender tidak berangkat pada usaha untuk menyamakan posisi perempuan terhadap dominasi laki-laki, maka kita akan sedikit lega dan mengena dalam memberikan makna terhadap pelaku tradisi yang notabene justru dilakukan oleh kaum perempuan. Kaum perempuan pada bentuk tradisi kuno yang masih tetap dilestarikan acapkali menjadi figur sentral dan utama yang dipercaya memimpin jalannya ritual.

Pada tradisi Kalang, banyak terlihat bagaimana jalannya ritual itu dipimpin oleh seorang perempuan yang dipanggil dukun. Ritual obong yang sangat terkenal itu yang menjadi pemimpin ritualnya adalah perempuan. Demikian pula ritual gegalungan gegumbregan yang memimpin adalah perempuan. Mengapa perempuan justru diberi kepercayaan yang tinggi sebagai pemimpin kegiatan ritual? Bagaimana aspek historis dan kultural mengapa bisa muncul hal itu? Serta bagaimana posisi laki-laki dalam kegiatan ritual maupun sosial kesehariannya?

Adanya dukun kalang perempuan adalah sesuatu yang lumrah saja jika kita melilhat adanya cerita legenda Calon Arang yang sangat terkenal itu. Dengan kekuatan spiritual dan daya linuwihnya ia mampu membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pihak yang mempunyai kuasa atas apa saja termasuk menggantikan posisi laki-laki sebagai subordinat dirinya. Airlangga yang disimbolisasikan sebagai kekuatan laki-laki saja tidak mampu memiliki kesaktian untuk menandingi Calon Arang hingga akhirnya menyusun strategi penipuan atas nama perkawinan antara muridnya Bahula dengan Ratna, anak Calon Arang.

Seakan cerita itu diamini bagi komunitas Kalang untuk melihat posisi dukun Kalang sebagai inti kebudayaan mereka. Legenda Kalang yang terkait dengan cerita Bali itu sangatlah jauh, hanya saja dalam beberapa hal menunjukkan segi kemiripan tertentu. Satu Legenda Kalang mengatakan bahwa nenek moyang orang Kalang berasal dari babi hutan (nenek) dan anjing (bapak). Babi hutan yang kehausan meminum air kencing dari raja yang bernama Dampo Awang. Beberapa selang kemudian babi hutan itu hamil dan melahirkan perempuan cantik yang bernama Dewi Nawangwulan. Ketika Dewi dewasa ia menikah dengan seekor anjing yang bernama Belang Mayungyang, seekor anjing berkelamin jantan yang jika malam hari berubah menjadi satria keturunan dewata. Dari perkawinan keduanya lahirlah seerang anak yang bernama Kalangjaya. Singkat cerita karena Kalangjaya membunuh anjing (bapaknya) dan babi hutan (neneknya), maka ibunya mengalami kesedihan luar biasa dan menyusun sebuah rangkaian ritual agar arwah dari kedua jenasah orang yang dicintainya bisa moksa dan sempurna. 

Dari cerita itulah maka eksistensi mengapa perempuan mendapatkan kepercayaan sebagai dukun dimulai. Kepercayaan yang tumbuh pada masa animisme dan dinamisme pula menjadikan perempuan sebagai pelaku sentral tradisi masyarakat Indonesia. Jika dilihat pola kekerabatan zaman dahulu yang bercorak matriarkhat, jelas bahwa perempuan menempati posisi penting bagi keutuhan sebuah komunitas. Perempuanlah sebagai pihak yang mengawali perkembangan aktifitas cocok-tanam dan berkebun pada masa itu. Laki-laki disibukkan dengan aktifitas publik berburu binatang dan meramu, maka perempuan mulai melakukan aktivitas cocok tanam sebagai pengusir bosan terlalu lama menunggu kedatangan bahan konsumsi yang dibawa kaum laki-lakinya.  

Kelelahan dan kesibukan laki-laki itulah membuka kesempatan bagi perempuan untuk menggantikan posisi di dalam kegiatan ritual keagamaan. Dukun Kalang bagai seorang manager perusahaan yang mengatur segala sesuatunya agar sesuai dengan harapannya. Kelengkapan ritual, sesaji, bahan pangan, biji, kembang telon, wakul, baju, ingkung, sego kukul, puspa, dan pancaka. Namun demikian, meski pemimpin tradisi Kalang adalah perempuan namun untuk keutuhan sebuah upacara mereka tetap membutuhkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang masih mempunyai ikatan darah dengan dukun Kalang. Pembuatan Puspa tetap dilakukan kaum laki-laki, demikian pula pancaka. Hanya keluarga laki-laki yang bersaudara dengan dukun Kalang yang berhak membuatnya.

Jalannya ritual sepenuhnya dilaksanakan oleh dukun Kalang. Dukun mempunyai kekuatan laksana Calon Arang yang sedang menunjukkan kesaktiannya. Posisinya sebagai perempuan mempunyai kemampuan spiritual membuat yang hadir terpana menyaksikan tahapan upacara yang berjalan. Ia bisa marah dan menangis sesuai dengan latar jenasah yang meninggal. Ia pun mampu menganalisis amal ibadah seseorang yang meninggal dari warna api yang terpancar pada saat pembakaran puspa dan pancaka.

Bagaimana laki-laki menyikapi perbedaan peran yang dilakukan sang dukun. Umumnya laki-laki Kalang mengatakan bahwa adam sing kuwasa hawa sing rekoso, yang artinya apapun pekerjaan yang sulit dan melelahkan diserahkan saja pada perempuan sedangkan pekerjaan yang mudah dilakukan oleh kaum laki-laki. Laki-laki Kalang menganggap diri mereka berkuasa atas perempuannya. Namun demikian dalam praktiknya, dukun Kalang menjadi satu pembuktian tentang peran sosial-budaya yang melebihi apa yang bisa dilakukan kaum laki-laki. Secara teori, laki-laki menganggap berkuasa atas perempuannya, secara praktik perempuanlah yang mampu menunjukkan eksistensinya pada publik. Secara sosial, antara laki-laki Kalang dan perempuan Kalang hampir tidak ada bedanya. Keduanya mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Laki-laki berada di sawah untuk mencangkuli tanah persawahan agar gembur dan subur, sedangkan perempuannya menanami dengan bibit tanaman seperti padi, bawang, atau tembakau. Ketika menunggu musim panen mereka bekerja di sektor dagang. Banyak perempuan Kalang yang ikut menjual sesuatu di pasar-pasar tradisional. Hal ini sama dengan laki-lakinya. Pada saat panen, baik laki-laki dan perempuannya berkecimpung untuk saling membantu memanen hasil tanaman tembakau, padi atau bawang merah yang sering menjadi andalannya. 

Kebersamaan dan keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan Kalang pada tataran aktivitas sosial kemasyarakatan. Laki-laki mempunyai posisi yang sepadan dengan perempuan. Laki-laki bekerja dan perempuannya juga bekerja. Namun demikian perbedaan secara tradisional lebih menonjolkan sosok perempuan sebagai pembawa karakter dan ciri khas kesukuan mereka di mana segala aktivitas ritual pasti yang memimpin adalah perempuan yang tertua dan mendapatkan pulung secara turun-temurun.  

Barangkali juga bergesernya penerimaan laki-laki yang semula di sektor yang domestik dan tertutup ke wilayah publik karena proses perubahan dan perkembangan zaman. Jika dahulu ada kemungkinan laki-laki diposisikan sebagai subordinat perempuan namun karena pertemuan budaya dengan suku bangsa lain akhirnya membuat kaum laki-laki mengadopsi kultur yang patriarkhit ke dalam budaya Kalang sendiri. Semula laki-laki menjadikan perempuan Kalang sebagai panutan tetua mereka, namun lambat laun sisi kepemimpinan perempuan Kalang tereduksi dan hanya tersisa pada posisi dukun Kalang saja, satu posisi yang tetap tangguh melawan pergerakan zaman. 

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.

2 komentar: