Rabu, 04 Maret 2009

SERTIFIKASI GURU: TITIK-TITIK KELEMAHAN*

Gaung sertifikasi pada bulan-bulan ini sudah tidak terdengar lagi. Sertifikasi yang pada awal tahun 2008 seolah menjadi buah bibir itu gemanya semakin mengecil dan terpuruk di pojok pembicaraan guru. Namun demikian, program pemerintah itu ternyata masih menyisakan efek dan dampak yang buruk bagi tindakan para guru dalam menyikapinya.

Kita tahu bahwa adanya sertifikasi membuat para guru bersibukria menyiapkan segala sesuatunya agar mampu menerobos proses seleksi yang dilakukan oleh tim penilai sertifikasi. Terlalu bersemangatnya mereka, ada dan banyak yang melakukan tindak penambahan nilai melalui cara-cara yang kurang sehat dan menjurus pada penipuan nilai. Mereka melakukan kecurangan berjamaah hanya agar angka kreditnya mencapai dan melampaui poin 850.

Jika para guru beramai-ramai mengikuti seminar dalam rangka mendapatkan poin nilai tinggi itu masih dianggap wajar, karena di situ masih ada proses pembelajaran dan penyampaian informasi akademik narasumber kepada guru meski dengan cara paksa dan ngetoki. Kecurangan yang dianggap parah dan tidak bisa dimaklumi adalah jika para guru itu sudah terjebak pada pembuatan lks, modul, dan PTK tanpa melalui prosesi yang wajar dan benar. Oleh karena bernafsu agar nilainya tinggi, mereka rela menjual idealismenya untuk mereduplikasi karya-karya orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Karya orang lain yang tidak pernah dibuat sengaja dibajak agar oknum guru bisa mendapat nilai tinggi tanpa harus bersusah-payah. Mereka karena suatu hal kurang membaca literatur tiba-tiba sudah mempunyai modul belajar yang cukup bermutu yang dikerjakan dalam waktu super singkat. Mereka yang semula tidak tahu menahu tentang Penelitian Tindakan Kelas tiba-tiba juga sudah mempunyai laporan PTK lengkap dengan data-data perijinan yang dibuat surut tanggalnya. Yang lebih tragis adalah mereka memanfaatkan rental pengetikan untuk mencetak ulang LKS atau modul yang jelas milik guru lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Kadang ada yang hanya mengganti cover LKS atau Modul dengan cover baru yang ada nama oknum guru tersebut.

Kecurangan tidak berhenti di situ saja, ada oknum guru yang ikut mendompleng pembimbingan siswa yang menjadi pemenang dalam lomba akademik maupun nonakademik. Jika awalnya dalam pembimbingan lomba siswa, kepala sekolah menugaskan dua guru sebagai pembimbing siswa, tiba-tiba saja dalam surat tugas yang baru bisa muncul beberapa guru yang merasa menjadi pembimbing dari siswa yang berprestasi dan menjadi pemenang. Seolah perilaku guru itu seperti semut yang memperebutkan gula. Hal ini maklum saja mengingat untuk pemenang lomba tingkat provinsi poin angka kredit sertifikasinya adalah 20.

Lalu, bagaimana agar perilaku guru yang demikian tidak terulang lagi pada sertifikasi angkatan selanjutnya? Jelas sekali tim penilai sertifikasi harus mampu bersikap tegas, teliti, dan hati-hati dalam mengamati dan menilai arsip-arsip surat tugas pembimbingan, sertifikat lomba, LKS, Modul, dan PTK yang dimiliki guru. Jika pada sertifikasi guru angkatan awal 2008 tim penilai mengharuskan para guru melampirkan sertifikat seminar, workshop, dan pelatihan, maka pada angkatan selanjutnya para guru harus bisa membuktikan bahwa semua LKS, Modul, dan PTK yang telah disusunnya benar-benar karya asli yang dihasilkannya. Cross check antara LKS, Modul, dan PTK di antara para guru wajib dilaksanakan agar dapat diminimalisir kecurangan dan duplikasi karya orang lain. Proses ini pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Namun demikian, untuk mengantisipasi agar jangan terjadi lagi jelas perlu dilakukan.

Tim penilai perlu memberikan hukuman atau sanksi tegas bagi para guru yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen atau reduplikasi karya orang lain. Jika ada sanksi berupa sistem gugur bagi guru yang melakukan kecurangan, maka hal ini akan memberikan tekanan, contoh, dan efek jera bagi guru lain yang berniat coba-coba.

Terakhir, tanamkan pada para guru bahwa sertifikasi adalah program pemerintah yang intinya ingin mengangkat derajat dan harkat manusia yang berprofesi guru secara ekonomi dengan cara-cara yang bermoral dan beretika. Jika guru gara-gara ingin sejahtera malah melakukan kecurangan yang menodai citra guru, apalah artinya dilaksanakan sertifkasi guru, wong cepat atau lambat semua guru pasti sudah disertifikasi. Jangan sampai kepingin cepat sejahtera malah melakukan cara-cara yang amoral dan haram: menjiplak karya orang lain!
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal


Tidak ada komentar:

Posting Komentar