Rabu, 25 Februari 2009

KE(TIDAK)SIAPAN GURU DAN SEKOLAH DALAM MENYIKAPI RINTISAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASONAL*

Tuntunan kemajuan zaman meminta perubahan kurikulum yang lebih unggul, terarah, berkualitas, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat global. Pendidikan mau tidak mau mengikuti arus perubahan zaman itu sendiri. Bahkan pendidikan yang baik harus dapat mengantisipasi selera dan gejala perubahan yang akan terjadi. 

Bentuk antisipasi kebijakan pendidikan menengah terhadap selera perubahan global adalah mewujudkan kurikulum berstandar Internasional. Dalam kurikulum ini mengacu pada keterwujudan output yang memiliki dan keterandalan internasional. Kurikulum ini ingin melahirkan produk dan kualitas lulusan yang sama dengan lulusan sekolah luar negeri seperti Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat serta negara maju yang lainnya.
Sebagai wujud konkrit SBI adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar bidang pelajaran MIPA dan bahasa Inggris itu sendiri. Hal ini terkait dengan lemahnya landasan dasar bahasa Inggris sebagai bekal lulusan untuk bersaing di dunia internasional. Siswa yang mampu mempergunakan bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan jelas dianggap memiliki kualifikasi internasional dan kepadanya layak disebut outcomes berkualitas. 
Oleh karena itu, terlihat pemerintah menitikberatkan sektor bahasa sebagai satu-satunya sumber kelemahan pendidikan di Indonesia tanpa pernah melirik apakah ada sektor lain yang perlu dibenahi dalam mempersiapkan lulusan agar dapat berkompeten di dunia kerja pada masyarakat global ini. 
Pada dasarnya bahasa adalah alat untuk memahami medium keilmuan agar mudah terjadinya proses transformasi. Bahasa adalah seperangkat simbol yang tersusun untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan dari satu pihak kepada pihak lain. Di sisi lain, Indonesia memiliki beragam suku bangsa yang memiliki bahasa lokal yang berbeda-beda. Dalam penyampaian materi pelajaran sering ditemukan guru menambahkan kosakata bahasa setempat agar siswa lebih tertarik dalam mengikuti pembelajaran. Bagi sekolah yang sudah SBI, kebiasaan dan kreativitas guru dalam mengajar dengan menggunakan bahasa campuran ini dapat dianggap mengganggu upaya mempercepat ketrampilan berbahasa Inggris guru bidang studi MIPA. Realitas di lapangan guru MIPA sangat pandai menguasai materinya tetapi mereka mengalami kesulitan untuk menyampaikan materi MIPA dengan bahasa Inggris. Banyak istilah teknis yang harus dikuasai kembali agar mereka mampu menjelaskan suatu materi pada siswa. Jika dahulu mereka mencampur kosa kata bahasa daerah setempat dengan bahasa Indonesia agar siswa lebih mudah memahami materi, sekarang guru harus konsisten dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pelajaran tersebut, meski dengan terjalinnya komunikasi yang tidak komunikatif dan kaku.
Sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk mengurangi gejala seperti itu maka dilaksanakanlah pelatihan dan kursus bahasa Inggris bagi guru SBI. Alhasil, para guru harus berkejaran dengan waktu agar bisa mengajar siswa dengan bahasa Inggris itu. Persiapan yang sangat kurang mau tidak mau harus dilakukan guru agar mereka dapat berbicara di depan siswa-siswanya.
Jika guru tersebut menyukai tantangan dan menganggap rintangan adalah medan pertempuran untuk memajukan kualitas SDMnya maka sudah pasti mereka akan cepat belajar dan menguasai bahasa Inggris. Sebaliknya jika gurunya surut semangatnya karena merasa sudah tua maka sudah pasti akan mengalami ketersiksaan untuk menghafal ratusan bahkan ribuan kosakata bahasa Inggris.
Ada hal lain yang harus pula dipikirkan pemerintah agar SBI benar-benar memiliki kualifkasi unggul. Selain faktor bahasa yang harus dikuasai lulusan sekolah menengah, pemerintah perlu meningkatkan kualitas SDM guru melalui pelatihan, workshop, penataran, dan studi lanjut. Dengan produk S-1 hasil lulusan lima, sepuluh, bahkan 15 tahun yang lalu sudah pasti ketinggalan zaman. Kebutuhan kualitas siswa SBI harus ditunjang perubahan kurikulum di perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi hanya memproduksi lulusan sebanyak-banyaknya tanpa berpikir bagaimana kualitas SDMnya. Tunjangan sertifikasi guru yang sudah diberikan pada sebagian besar guru S-1 ini harus dipergunakan untuk pengembangan diri dan SDM guru melalui studi lanjut S-2 yang linier dan berbobot. Sayangnya banyak guru mempergunakan dana tunjangan sertifikasinya untuk menambah selera konsumtifnya.
Pemerintah perlu pula mengadakan seleksi ulang bagi para guru SBI. Guru SBI bukanlah kumpulan para guru yang sudah sejak dahulu mengajar di sekolah yang kebetulan menjadi proyek SBI. Program SBI akan lebih efektif jika pemerintah membuat sistem seleksi berdasarkan ijasah yang linier dengan bidang studi yang diampu, kemampuan bahasa Inggris, dan kemampuan mengajar dari guru PNS yang ada di daerah atau propinsi yang bersangkutan. Realitas di lapangan, banyak guru yang tersiksa karena harus mengajar dengan bahasa Inggris hanya kebetulan mereka sudah ditempatkan di sekolah tersebut sebelumnya. 
Dengan ketentuan SBI berarti pula menuntut para guru untuk merubah mindset selama ini. Pola berpikir mereka harus mengalami penyegaran. Guru tidak hanya bertanggung jawab pada saat pembelajaran saja, melainkan perlu melengkapi segala administrasi pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Guru membuat rencana pengajaran yang di dalamya berisi strategi pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Jika dahulu mereka selesai mengajar lalu pulang, sekarang beban dan tanggung jawab guru SBI sangat berat dan melelahkan. 
Dengan demikian, apa yang sudah diperjuangkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia agar mampu bersaing di dunia internasional sudah terjawab. Bahasa memang faktor penting yang memegang peranan keberhasilan dalam transformasi pengetahuan. Namun menganggap bahasa Inggris saja sebagai satu-satunya point yang harus dikuasai guru SBI dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran jelas kurang proporsional. Faktor lain seperti kesejahteraan guru, pengembangan SDM guru melalui pendidikan lanjutan, mentalitas guru dalam mengajar, tertib administrasi, serta inovasi dan kreatifitas dalam merencanakan kegiatan pembelajaran perlu diperhatikan pula oleh pemerintah agar nanti program SBI benar-benar ide dan keseriusan pemerintah untuk memajukan pendidikan anak negeri.  
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar