Rabu, 04 Maret 2009

R. Boediono Gubernur Jawa Tengah 1949-1954: Suatu Tinjauan Kepemimpinan*

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang dan Permasalahan

R. Boediono yang pernahh menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah masa bakti 1949-1954 adalah putra kelahiran Bojonegoro. Ia adalah putra dari Raden Ario Adipati Soemantri Koesoemoadinegoro, seorang bupati Bojonegoro dalam periode 1915-1936 dan ibunya bernama Sutji.


R. Boediono dilahirkan dari keluarga bangsawan yang menganut agama Islam. Adapun susunan putera-puteri R.A.A. Soemantri Koesoemoadinegoro adalah sebagai berikut:
1. R. M. Boediono
2. R. Ay. Wimoerti Syarif Hgidayat
3. R. Ay. Hariati Mohammad Satrio
4. R. Ay. Siti Mirjati Soemakto
5. R. Ay. Koesnaeni
6. R. M. Boediardjo
7. R. Aj. Mariani Siti Fatimah
8. Meninggal sebelum dilahirkan
9. R. Aj. Retno Ambarwulan
10. R. Ay. Koestantinah
11. R. A. Ay. Djoewariyah Soekiyat
12. R. Ay. Hariani Soedjito


Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga bangsawan feodal Jawa jelas sekali R. Boedioo memanggul beban sangat besar. Tanggung jawabnya untuk meneruskan tradisi kepemimpinan panggreh praja setingkat bupati akan siap dipanggul di pundaknya pada saatnya nanti.


R. Boediono menyadari kondisi keluarganya yang seperti itu. Malah ia bersyukur sekali orang tuanya lebih memaksakan dirinya untuk menempuh pendidikan kepamongprajaan Mosvia di Probolinggo meskipun pad awalnya ia tidak bercita-cita di bidang itu.


Aspek kepemimpinannya terlihat semenjak ia anak-anak. Pola feodalisme dan patriarkhis dalam keluarganya membentuk tanggung jawab yang besar untuk membawa nama keluarga R.A.A. Soemantri Koesoemoadinegoro.


Seperti layaknya pemuda terpelajar saat itu, R. Boediono tidak menghabiskan waktu sehari-hari untuk perbuatan yang sia-sia. Seluruh waktu habis untuk kegiatan belajar bahasa dan kepamongprajaan. 


Pendidikan AMS jurusan bahasa memudahkan ia untuk menguasai bahasa asing seperti Belanda, Perancis dan Inggris. Oleh karena kepandaiannya ia dengan cepat menamatkan pendidikan Mosvia itu. Tugas pertamanya adalah menjadi pamong praja di Malang.


Saat itu Jawa masih dikuasai oleh pemerintah Kolonial Belanda. Kondisi pemerintahan di bawah penguasa Belanda ini tidak membawa persoalan yang cukup berarti pada diri R. Boediono. Profesionalisme selaku anggota Pangreh praja dalam kerangka administrasi pemerintah Kolonial Belanda terlihat sekali dalam penyelesaian tugas-tugas keseharian yang dibebankan kepadanya. Karena prestasi-prestasinya itulah maka ia memperoleh kenaikan pangkat yang tergolong cepat.
Di samping itu, R. Boediono yang memiliki sikap suka menolong yang kesusahan ini sangat terkenal pada masa itu. Sikap ini semakin menambah kecintaan rakyat pada dirinya ketika karir kepangrehprajaannnya mening-kat.


Dalam perkembangan berikutnya ketika pemerintah Kolonial Belanda mengalami beragam kesulitan menghadapi persoalan elit pergerakan nasional maka R. Boediono juga bisa menempatkan posisinya dengan baik. Selaku pamongpraja yang digaji pemerintah ia tetap melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya tanpa tercecer, namun selaku orang yang terdidik dan memiliki pergaulan luas dengan kaum pergerakan hatinya juga tersentuh dengan cita-cita perjaungan bangsa yang mulai itu. Ia memilih jalan tengah. Ia aktif juga dalam kegiatan organisasi kepemudaan yang legal formal demi cita-cita kemerdekaan bangsa. 


Oleh karena itu tulisan ini akan membahas secara tuntas bagaimana latar belakang R. Boediono ini. Mengapa pada awal kemerdekaan Indonesia ia mendapat kepercayaan pemerintah pusat untuk mejadi Gubernur Jawa Tengah? Bagaimana gaya kepmimpinan beliau dan faktor-faktor apa yang menyebabkan ia memiliki gaya kepemimpinan yang seperti itu? 

2. Landasan Teori
2. 1. Kepemimpinan

Menurut Good (1973) kepemimpinan merupakan suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka mau berbuat ssuatu demi tercapainya tujuan bersama. Pernyataan ini dipertegas oleh Wilis (1967). Menurutnya kepemimpinan merupakan segenap bentuk bantuan yang diberikan oleh seseorang bagi penetapan dan pencapaian tujuan kelompok. Hampir sama dengan konsep itu adalah Siagian (1983). Dengan pendekatan manajemen ia mengatakan bahwa kepemimpinan mempunyai makna sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain agar rela, mampu dan dapat mengikuti keinginan manajemen demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan efisien, efektif, dan ekonomis.


Seorang pemimpin harus memiliki pengaruh yang kuat di mata masyarakat. Ia mampu mempengaruhi psikologis pribadi-pribdai lain untuk mengikuti apa yang diinginkannya demi tujuan kelompok atau masyarakat yang bersangkutan. Menurut Terry (1972) pemimpin mempunyai ciri-ciri: cerdas, inisiatif, kekuatan, kematangan perasaan, daya cpta, meyakinkan, kemahiran berkomunikasi, ketenangan diri, cerdik, dan berperan serta dalam pergaulan. Feldman dan Arnold mempertegas pernyataan ini. Menurut mereka bahwa seorang pemimpin dituntut memiliki: pertama, sifat kepribadian: penyesuaian diri, sikap giat dan tegas, berpengaruh, keseimbangan jiwa dan konrol, kebebasan, keaslian dan daya cipta, kejujuran pribadi, dan percaya diri; kedua, kemampuan: kecerdasan, pertimbangan, dan kemampuan membuat keputusan, pengetahuan, dan pandai bicara; ketiga, kemahiran sosial: kemampuan memperoleh kerjasama, kemampuan adminsitrasi, mampu bekerja sama, terkenal dan berwibawa, suka brgaul, peran serta sosial, dan kebijaksanaan dan diplomasi.
 
2. 2. Pendekatan Sifat, Perilaku, dan Kontingensi
Pendektan sifat dalam kepemimpinan sering kali berbeda. Namun Freeman menyampaiakan ciri-ciri pemimpin yang seharusnya ada pada seorang pemimpin seperti: rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.


Pendekatan perilaku dilakukan untuk melihat sejauhmana perilaku menjadi karakter dan gaya tersendiri dalam memimpin. Pendekatan perilaku yang digunaka tulisan ini untuk melihat kepemimpinan R. Boediono adalah model Likert (1967) di mana ia membagi gaya kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu eksploitative authoritative, benevolent authoritative, concultative leadership, dan participative group leadership.


Dalam melihat kepemimpinan R. Boediono agaknya lebih condong untuk didekati dengan pendekatan perilaku gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.


Selain itu, untuk mengupas kepemimpinan R. Boediono maka akan digunakan pula pendekatan kontingensi dengan model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt. Menurut mereka ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam memilih gaya kepemimpinannya. Tiga faktor itu adalah kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. Model ini merupakan suatu garis yang diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku terpusat pada pemimpin dan diakhiri dengan titik yang menunjukkan perilaku yang terpusat pada bawahan.

B. Pembahasan
1. Latar Belakang Keluarga

Lingkungan kehidupan keluarga R. Boediono dilahirkan bersifat priyayi dan feodal. Dalam kehidupan ini tercermin dari bentuk rumah tinggal, cara berpakaian, dan tingkah laku dalam pergaulan. Meskipun demikian, R. Boediono tetap memiliki sifat berbudi halus, sopan, bahasa halus, serta ramah tamah. 


Dalam kehidupan keluarga tampak ada jarak antara anak dengan orang tua. Pengaruh sang Bapak ternyata sangat dominan bagi pembentukan kepribadian R. Boediono. Ia harus belajar dengan baik agar bisa menggantikan posisi sang bapak pada saatnya nanti.

2. Pendidikan
R. Boediono memasuki ELS Bojonegoro dan MULO di Surabaya. Setelah itu melanjutkan ke AMS Afdeling A di Bandung. Karena keaktifan dalam pergerakan nasional pemerintah Belanda menyampaikan teguran dan ancaman pada orang tua R. Boediono agar supaya memberi pengawasan yang lebih ketat terhadap sepak terjang puteranya. Akhirnya R. Boediono terpaksa meninggalkan bangku AMS bahasa Bandung dan meneruskan ke Mosvia Probolinggo dan melanjutkan pula setelah itu di Bestuur Academic Jakarta.

3. Masa Dewasa
Ketika masih bersekolah di AMS A, R. Boediono sangat aktif sebagai anggota Jong Indonesia dan Nafsiah (calon istrinya) adalah anggotab Perhimpunan Putri Indonesia. Sebagai seorang putera bupati ia berjiwa rendah hati dan selalu bersikap baik terhadap sesamanya. Ia tidak senang apabila ada orang yang memperbincangkan orang lain. Meskipun demikian ia dapat pula bersikap tegas dan disiplin. Sikap ini diperoleh berkat pola asuh dan pendidikan yang diperoleh dari orang tuanya.


Demikian pula ketika R. Boediono sudah berkeluarga dan punya anak, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya pada dirinya. 

4. Karir dalam Pamong Praja
Pada usia 25 tahun R. Boediono mulai menampakkan diri dalam masyarakat dengan bekerja sebagai pamongpraja di Malang. Setelah itu ia diangkat sebagai asisten Inlandsch Bestuursambtenaar di karesidenan Surabaya. Pada saat itu pula ia diberbantukan sebagai Wedana Jobokuto.


Kurang lebih dua tahun kemudian R. Boediono pindah tugas sebagai A.I.B. Veld Politie di Kepanjen Malang. Dua tahun setelah itu ia dpindahkan ke Probolinggo yakni sebagai A.I.B. Afd. M.P. pada Gewest Recherche Probolinggo.


Tanggal 19 Pebruari 1935 ia diangkat menjadi onderdistrikthoofd di daerah karesidenan Malang. Sebelas bulan kemudian R. Boediono diangkat sebagai Asisten Wedana Onderdistrict Ngajum.
Tanggal 22 Maret 1937 R. Boediono dipindahkan ke onderdistrik Kraton. Tanggal 3 Agustus 1939 ia dipindahkan di onderdistrict Pasuruan.


Untuk memenuhi kepentingan dan urusan-urusan kedinasan seringkali ia mennjau daerah-daerah guna melihat secara langsung segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugasnya, sehingga hubungan antara atasan dan bawahan dapat berjalan dengan baik dan sekaligus tercipta kelancaran mekanisme kerja yang efisien dan efektif. 


Salah satu keistimewaan R. Boediono sewaktu menjabat pamong praja adalah taktik dan strateginya dalam menciptakan keamanan di daerahya.

5. Masa Pendudukan Jepang
Pada saat pendudukan Jepang R. Boediono belum sempat menyelesaikan pendidikannya di Bestuur Academie. Ia dikembalikan ke Jawa Timur dan ditempatkan d Kabupaten Malang sebagai Sai Kyucho pada bulan April 1942. Pada bulan Agustus 1942 ia dipindahkan lagi ke Patalan Probolinggo menjabat sebagai asisten Wedana.


Menyadari akan arti perjuangan kemerdekaan tanah air, maka R. Boedioo meskipun secara formal bekerja pada Jepang akan tetapi sebagai seorang nasionalis ia tetap berjuang menggalang kerjasama dengan rekan-rkan sewaktu masih kuliah di Bandung di maa ia berteman dengan Sutan Syahrir yang sama-sama belajar di AMS. Ide-ide nasionalisme banyak dipetik kala itu. Konspsi nasionalsme ini terus dipupuk dan disalurkan melalui gerakan-gerakan bawah tanah pada waktu pemerintahan bala tentara Jepang. 


Pada bulan Juli 1945 R. Boediono dipndahtugaskan dari Kraksan ke Sukapura Proboloinggo. Ia menjabat sebagai Wedana. Kenaikan jabatan ini merupakan prestasi kerja yang istimewa. 

6. Pengabdian di Jawa Tengah
Begitu mendengar berita proklamasi jiwa R. Boediono terpangil untuk mengabdi pada republik maka ia mengambil keputusan bahwa ia harus meninggalkan pekerjaan, keluarga dan daerah tempat tinggalnya. Di Jakarta ia bergabung dengan rekan-rekan seperjuangannya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.


Masa itu berarti mulailah ia bergabung dengan Republik Indonesia yang baru berdiri. Ia mejadi orang kepercayaan Sutan Syahrir. Apalagi pada saat masa revolusi yang masih kacau, ia diberi kepercayaan untuk menjadi residen Banyumas sejak tanggal 17 Agustus 1946. Di sana ia ternyata pandai mengambil hati dan menempatkan diri diantara bupati kawasan Banyumas yang pada umumnya mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakatnya. Sehingga dengan salah satu modal itu ia dapat melakukan koordinasi yang baik untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan perjuangan.


Ketika aksi agresi milietr dan polisional Belanda, R. Boediono melakukan keputusan penting yang dapat menyelamatkan kondisi pemerintahan karesidenan Banyumas. Ia mengkoordinir langsung aksi serangan balik atas apa yang dilakukan Belanda di wilayahnya. Atas jasa dan kecerdikannya maka peemrintah pusat mempercayakan wilayah karesidenan Pekalongan untuk dipimpinnya juga. 


Selama masa perjuangan itu terutama di medan gerilya R. Boediono dapat bekerjasama bahu membahu dengan para pemimpin pejuang lannya baik dari tentara atau rakyat biasa. Dengan sesama residen ia sering bertukar pikiran dan melakukan koordinasi untuk menghadapi Belanda.

7. Menjadi Gubernur Jawa Tengah
Dari medan perang ia dipanggil pemerintah pusat untuk mengemban tugas sebagai gubernur Jawa tengah. Ia menggantikan posisi Mr. Wongsoneogoro. 


Selama R. Boediono menjabat gubernur Jawa Tengah ada banyak hal yang sudah dilakukan. Dalam kurun waktu antara 1949-1954 ia melakukan kebijakan:
a. Menyampaikan keinginan agar ada penetapan status hukum yang pasti atas enam daerah karesidenan menjadi propinsi Jawa Tengah dan juga pembentukan kabupaten otonom serta menetapkan status kota-kota tertentu mejadi kota besar di Jawa Tengah.
b. Menetapkan pegawai urusan catatan sipil.
c. Pembentukan bagian tata hukum.
d. Kepegawaian.
e. Mengusulkan tunjangan bagi pegawai di daerah kacau.
f. Pengangkatan bekas pegawai swapraja.
g. Pembentukan seksi pensiun kantor Gubernur Jawa Tengah.
h. Penanganan masalah pegawai desa.
i. Pengangkatan pegawai kampung 
j. Menyelenggarakan kursus cepat pamong desa.
k. Penanganan masalah keuangan.
l. Perbaikan dan pembangunan perumahan para kepala daerah dan kantor-kantornya.
m. Sarana penunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
n. Mengadakan perkreditan desa.
o. Pembelian padi oleh pemerintah.
p. Pembentukan panitia pembangunan wilayah hutan dan pertanian.
q. Mengatasi masalah pengangguran.
r. Pengadaan sarana pengangkutan umum.
s. Pembersihan rawa pening
t. Penanggulan bahaya gunung merapi.
u. Upaya penghapusan desa perdikan.
v. Usaha pemberantasan buta huruf.
w. Demobilisasi.

8. Analisa Kepemimpinan
a) Melalui Pendekatan Sifat
Latar belakang R. Boediono yang berasal dari kalangan priyayi, membuat ia memiliki sifat yang sangat santun, rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.


Sifat-sifat di atas bisa terbentuk berkat pembudayaan yang berasal dari keluarganya sendiri. Model kepriyayian dari Raden Ario Adipati Soemantri Koesoemoadinegoro yang merupakan ayahanda R. Boediono, memang memberikan ruang belajar yang positip untuk mengembangkan kepribadian yang positip pula. Tidak banyak golongan priyayi yang memiliki ciri khas dan karakter seperti di atas. Umumnya kalangan feudal malah memberikan pendidikan feudal bagi keluarga dan familinya.


Justru R. Boediono mampu belajar dari lingkungan yang memberikan kemanjaan dan penghormatan yang berlebihan. Masyarakat sekitar yang notabene rakyat biasa memberikan penghormatan pada para bangsawan adalah hal yang biasa saat itu. Namun, R. Boediono akan menolak jika rakyat memberikan sendiko dhawuh yang berlebihan sehingga merendahkan derajad dan diri mereka. R. Boediono tidak pernah menegakkan muka. Ia tetap memandang sama terhadap masyarakat sekitarnya. Perasaan sombong tidak pernah muncul sedikit pun. 
 
b) Melalui Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku dilakukan untuk melihat sejauhmana perilaku menjadi karakter dan gaya tersendiri dalam memimpin. Pendekatan perilaku yang digunaka tulisan ini untuk melihat kepemimpinan R. Boediono adalah model Likert (1967) di mana ia membagi gaya kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu eksploitative authoritative, benevolent authoritative, concultative leadership, dan participative group leadership.


Dalam melihat kepemimpinan R. Boediono agaknya lebih condong untuk didekati dengan pendekatan perilaku gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.


Aspek perilaku kepemimpinan R. Boediono terlihat manakala ia menyusun strategi dalam melakukan pengamanan lingkungan saat masih menjabat wedana. Ia mengajak bawahannya untuk berunding bagaimana cara menangkap aksi pencurian yang saat itu sedang banyak terjadi. Berkat komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan maka ia mampu melaksanakan konsep pengamanan yang efektif di lingkungannya.


Di samping itu, ketika ia menjabat menjadi residen di Banyumas, ia tidak melupakan peran serta para bupati yang ada di kawasan Banyumas. Ia bertanya tentang suka duka, peluang, usaha, dan tantangan dari para bupati bawahannya tersebut. Ia yang membuka komunikasi dengan bupati-bupati itu sehingga mereka merasa diuwongke dan dihargai keberadaannya. Atas sikap ini maka para bupati semakin loyal dan menghormati R. Boediono. Dan karena kedisplinan, ketegasan, keramahan, dan sekaligus andhap ansor maka ia ditunjuk untuk merangkap menjadi residen Pekalongan.


Jauh sebelum itu, ia rela melepaskan jabatannya sebagai wedana ketika Indonesia modern baru berdiri. Ia menyongsong kemerdekaan dengan ikut serta membantu para elit pergerakan nasional untuk berdiplomasi dan berjuang di jalur militer. Hal ini berarti R. Boediono bergerak lagsung di masyarakat atas nama perjuangan bangsa. 

c) Melalui Pendekatan Kontingensi
Selain itu, untuk mengupas kepemimpinan R. Boediono maka akan digunakan pula pendekatan kontingensi dengan model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt. Menurut mereka ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam memilih gaya kepemimpinannya. Tiga faktor itu adalah kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. 


Sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan dalam hal ini kharisma, pengetahuan, dan berpendidikan maka R. Boediono mampu mengarahkan rakyat yang menjadi bawahannya. Rakyat akan mengikuti kata pemimpin, jika pemimpinnya mempunyai kekuatan yang terdapat di dalamnya. Kekharismatikan yang dimiliki R. Boediono dilator belakangi dirinya yang berasal dari kalngan priyayi. Namun itu bukan satu faktor penentu, justru karena keaktifan R. Boediono di jalur perjuangan kebangsaan ini membuat namanya dikenal baik oleh masyarakat dari berbagai kalangan. 


Kekuatan bawahan saat itu begitu kagum dengan sosok kepemimpinan R. Boediono. Masyarakat yang masih bergelayut pada suasan zaman revolusi kemerdekaan merasa terayomi dengan pemimpin mereka yang bernama R. Boediono ini. Mereka merasa nyaman dengan figure da karakter sikap yang dimiliki oleh R. Boediono.


Kekompakan antara atsan dan bawahan tercipta oleh situasi da kondisi zaman yang mendukungnya. Masa penjajahan dan revolusi membuat mereka bisa bersatu dalam suasana yang penuh dengan kebersamaan. Mereka bahu-membahu menyerang lawan demi tegaknya kemerdekaan bangsa. 

C. Penutup
Dari perjalanan kehidupan R. Boediono dari sikap perbuatan dan pemikirannya dapat dilihat beberapa kesimpulan yang penting. Pertama ia sebagai pribadi yang terlahir dari keluarga priyayi feodal masih tumbuh sikap pribadi yang moderat dan berwasawasan kerakyatan.


Dari sisi sifat ia memenuhi kriteria sebagai pemimpin karena memiliki sifat seperti rajin, giat, keras hati, ambisi, kuat, berani, bekerja sama, yakin, riang, matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mengutamakan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia pada cita-cita, susila, dan lapang dada.


Dari sisi perilaku ia mempunyai sikap atau gaya kepemimpinan otokrasi bijak di mana meunjukkan bahwa sebagain besar masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian antara otokrasi pemerasan dan otokrasi bijak sebenarnya sama, perbedaannya terletak pada bawahan sudah diberi kesempatan gagasannya dan keleluasannya untuk melaksanakan tugas.


Sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kekuatan dalam hal ini kharisma, pengetahuan, dan berpendidikan maka R. Boediono mampu mengarahkan rakyat yang menjadi bawahannya. Rakyat akan mengikuti kata pemimpin, jika pemimpinnya mempunyai kekuatan yang terdapat di dalamnya. Kekharismatikan yang dimiliki R. Boediono dilatarbelakangi dirinya yang berasal dari kalngan priyayi. Namun itu bukan satu faktor penentu, justru karena keaktifan R. Boediono di jalur perjuangan kebangsaan ini membuat namanya dikenal baik oleh masyarakat dari berbagai kalangan.


DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1986. Pemikiran dan Perubahan politik di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Abdullah, Hamid. 1989. Potret Tingkah Laku Pemuda dalam Revolusi. Yogyakarta: Seminar MSI.

Burhanuddinn. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakrta: Bumi Aksara.

Kahin, Geogrge Mc. Turnan. 1961. Nationalism dan Revolution in Indonesia. New York: Cornell University Press.

Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Soetomo. 1990. R. Boediono. Semarang: Pemda Tingkat I Jateng Proyek Inventarisasi Sejarah dan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah tahun 1990.

Wahab, Abdul Aziz. 1997. Educational Managemet. Bandung: LPPs IKIP Bandung.

Soegito, H.A.T. 2003. Konsep dasar Kepemimpinan dan Kepemimpinan Pendidikan. Semarang: Makalah PPs UNNES.


*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal


Tidak ada komentar:

Posting Komentar