Rabu, 04 Maret 2009

KEBENARAN FAKTA SEJARAH DALAM MATERI PERGERAKAN NASIONAL BUKU PELAJARAN KELAS 5 SEKOLAH DASAR*


A. PENDAHULUAN
Buku pelajaran IPS Sekolah Dasar yang memuat materi pelajaran sejarah umumnya menyimpan materi yang sifat pembahasannya masih ringan dan umum. Buku-buku pelajaran IPS tersebut tidak banyak memberikan luapan materi yang mendalam mengenai pokok-pokok masalah yang dibahasnya. Pemberian materi seperti itu tentunya tidak lepas dari persoalan usia dan kematangan berpikir anak sekolah dasar yang belum menyamai anak SMP, apalagi SMA. Anak-anak sekolah dasar ini diberi materi yang sifatnya masih hafalan. Nampaknya hal ini sesuai dengan tingkatan kognitif menurut klasifikasi Bloem. 

Namun demikian jangan sampai materi pelajaran sejarah yang ditulis dalam buku-buku pelajaran tersebut menyimpang dari fakta sejarah yang sebenarnya. Pembahasan materi sejarah masa pergerakan Indonesia di kelas 5 SD seringkali ada beberapa materi yang tidak sesuai dengan buku referensi dan babonnya. Hal ini sengaja atau tidak saya sendiri tidak tahu, yang jelas buku itu sudah beredar di pasaran, dan menjadi tanggung jawab seorang guru untuk memonitor perkem-bangannya. 

Pada dasarnya penulisan sejarah dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah dasar sampai menengah merujuk pada buku sumber dan buku induk yang sudah dikenali. Ketentuan dan kepastian dari buku pelajaran itu menjadi sesuatu yang mendasar manakala paparan faktanya mendekati kebenaran buku induk atau buku aslinya. Akan tetapi pada kenyataannya ada beberapa buku pelajaran yang dikarenakan memiliki alasan dan kepentingan tertentu pula ketika harus disampaikan pada anak didik kebenaran-kebenaran fakta yang tersaji dalam buku pelajaran itu malah dinomorduakan.

Pada dasarnya untuk memudahkan penyampaian informasi buku induk kepada anak didik dibutuhkan perantara yag berupa buku teks atau buku pelajaran yang memiliki cakupan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami peserta didik yang memiliki keterbatasan cakrawala dan informasi. Adakalanya peserta didik dijadikan alasan utama mengapa sebuah buku pelajaran perlu dibuat. Dalam pengertian ini, jangan sampai bukiu pelajaran malah mejadi beban yang sulit dimengerti pada anak didik. Anak didik sedapat mungkin harus dapat mengetahui informasi sejarah dari buku pelajaran lebih dahulu. 

Sekali lagi, kenyataan di lapangan berbicara lain. Umumnya penulis buku pelajaran terkadang lupa kalau memiliki tanggung jawab utama untuk memaparkan fakta yang dikeluarkannya. Fakta sejarah yang muncul pada akhirnya harus menempati posisi kedua dibandingkan dengan sisi moralitas dan etika yang ingin ditonjokkannya. Penulis buku merasa dibatasi oleh kewajibannya untuk menulis sesuai dengan kerangka normatif yang ada. Jika kita melihat buku-buku produk kurikulum 1994 cenderung hati-hati untuk memaparkan suatu fakta sejarah. Mereka lebih menuruti kemampuan pemerintah daripada informasi yang sebenarnya sampai pada peserta didik.

Pemberian materi PSPB di bangku sekolah dasar sampai SMA pada masa Orde Baru setidaknya mencitrakan hal tersebut. Pemerintah memberikan muatan versi sejarah yang sesuai dengan kepentingan pemerintah saat itu. Sejarah Indonesia modern yang ditampilkan sarat muatan politis dan ideologis. Materi yang disampaikan ibaratnya memberi penguatan ideologis bagi ide-ide pembangunan yang pada saat Orde Baru berkuasa dicanangkan dengan gencar. Pemerintah Orde Baru mempunyai kewajiban untuk mengarahkan kesadaran peserta didik terhadap wawasan sejarah yang dimilliki dalam pikiran dan hati mereka. Sejarah menjadi satu mata pelajaran yang dianggap sangat efektif sebagai sarana indoktrinasi. 

Oleh karena itu, dari sinilah tulisan ini mulai berpijak. Kenyataan sejarah dalam buku teks pelajaran SD ternyata memiliki banyak kandungan fakta yang kabur. Pembahasan persoalan sejarah pergerakan Nasional tidaklah murni dan bebas dari kepentingan tertentu. Dalam beberapa buku pelajaran ada upaya untuk menenggalamkan apa yang terjadi pada organisasi-organisai pergerakan saat itu, terutama organisasi yang dianggap sarat dengan ideologi kiri. 
 Ketika kita menyadari dari sisi etika dan moralitas mungkin hal seperti ini bisa dimaafkan dan ditoleransi, namun jika akhirnya menenggalamkan kebenaran fakta itu sendiri apalah artinya seorang anak harus belajar sejarah.

Dengan demikian saya cukup sadar diri untuk mencoba memberikan ulasan yang cukup obyektif terhadap kajian kebenaran buku pelajaran kelas 5 Sekolah Dasar. Saya tidak berupaya untuk meyalahkan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam konteks ini. Apa yang saya tulis di sini sejujurnya adalah rasa keprihatinan saya ketika membaca kebenaran fakta sejarah terhempas hanya karena etika dan sopan santun sejarah yang dibuat oleh penguasa Orde Baru yang ironisnya masih tetap berlangsung di era reformasi ini. Saya sebetulnya ikut merasakan kepedihan manakala tidak ada orang lain yang kompeten dalam hal ini berbicara atas nama kebenaran sejarah. Memang benar kata orang, menegakkan pedang sejarah itu adalah pekerjaan yang berat dan berbahaya. Tidak setiap orang mampu dan berani melakukan hal itu, setidaknya sampai hari ini. 

B. PEMBAHASAN
Dalam buku karangan Datta Wardana bersama dua temannya: Yusmar basri dan Amrin Imran yang berjudul Ilmu Pengetahuan Sosial 3 untuk Sekolah Dasar Kelas 5 penulis menemukan kebenaran sejarah yang agak kabur. Buku yang ditulis tahun 1997 jelas sekali berisi informasi perihal Sarekat Islam yang kurang jelas. Muatan materinya sangat sedikit. Materi yang sedikit itu jelas kurang mampu mengajak peserta didik untuk memahami latar sosial terjadinya peristiwa.

Di samping itu ada fakta yang sangat kental muatan ideologisnya. Salah satu informasi yang masih menjadi bagian pembahasan Sarekat Islam dituliskan sebagai berikut:
“Sekitar tahun 1920-an ada orang-orang yang berpaham komunis menjadi anggota SI. Diantaranya ada yang menjadi pemimpin cabang SI. Pada waktu itu seseorang boleh saja menjadi anggota beberapa organisasi. Orang-orang yang berpaham komunis itu dikeluarkan dari SI. Mereka mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kegiatan PKI merugikan Pergerkan Nasional. Pada akhir tahun 1926 dan awal 1927 mereka memberontak terhadap pemerintah. Pemberontakan itu tidak disiapkan dengan matang dan dengan mudah ditumpas pemerintah. Ribuan orang ditangkap dan dipenjarakan. Ada pula yang dibuang ke Digul di Irian. Sebagian besar diantaranya bukan orang komunis, mereka menjadi korban ambisi PKI.

"PKI dibubarkan oleh pemerintah Belanda. Belanda menuduh Pergerakan Nasional sebagai gerakan komunis. Beberapa waktu lamanya Pergerakan Nasional lumpuh.”  
 
Melihat konteks fakta dalam kalimat tersebut jelas sekali bahwa ada upaya untuk mendeskreditkan peran PKI sebagai organisasi Pergerakan nasional yang cukup punya nyali dan karakter radikal. Pada saat itu sebenarnya PKI merupakan organisasi pergerakan yang bercorak modern dan berideologi marxisme. Artinya banyak sekali tokoh-tokoh nasional pergerakan sangat hormat pada pejuang dan aggota PKI karena keberanian dalam bentuk nyata mengatakan ‘merdeka’ bagi Indonesia. Banyak tokoh pergerakan Indonesia yang kompromi dengan kebijakan Belanda, PKI malah mati-matian menentang hegemoni kekuasaan Hindia Belanda yang tidak berpihak pada rakyat Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Semaun, Darsono, Alimin, sampai Muso yang masih sangat muda mejadi bagian hingar bingar situasi perpolitikan saat itu. PKI sebagai wadah organisasi pergerakan berani melakukan tindakan melawan Belanda secara nyata. Sebelum peristiwa perlawanannya terhadap Belanda tahun 1926, sebelumnya sudah ada usaha protes melalui pemogokan buruh pabrik gula, kereta api, rokok dan sebagainya yang terjadi secara intensif. 

Buku ini juga mengulas secara ringan saja kegagalan PKI yang disebabkan oleh kekurangmatangan sumber daya manusia dalam mengatur strategi untuk menjatuhkan Belanda. Di sini kita tidak berbicara tentang ideologi. Apa yang ditulis oleh penulis buku pelajaran ini sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi.  

Wardana dan kawan-kawan hanya melihat sepak terjang dan kesalahan PKI pada masa Republik Indonesia sudah berdiri di negeri yang sah. Kegagalan pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta menjadi satu kerangka metode untuk menjustifikasi dan menghakimi peran PKI di masa lalu. Hal ini jelas tidak fair dan jauh dari obyektif. Wardana bahkan ikut-ikutan memberikan peristilahan yang sebetulnya keliru dalam memandang perlawanan PKI tahun 1926 ini. Harusnya ia tidak melekatkan kata “Pemberontakan” dalam konteks perlawanan yang dilakukan PKI saat itu.

Seharusnya Wardana mampu melihat di mana setting perlawan PKI dilakukan. Apakah PKI melakukan perlawanan terhadap negara Kesatuan RI ataukah justru Indonesia sendiri masih dijajah Belanda. Di sini terjadi apa yang para ahli menyebutnya sebagai anakronisme. Apa itu anakronisme? Wardana salah dalam memilah waktu masa lalu sebagai satu kerangka analisa terhadap masalah yang dikupas. Analoginya: Apakah pemberontakan PETA adalah sebagai suatu kesalahan? Apakah pemberontakan Cina melawan kekuasaan VOC juga sebagai kesalahan? Apakah pemberontakan Diponegoro dan pahlawan-pahlawan lainnya di tanah air kita ini juga sebagai kesalahan?

Ada lagi usaha Wardana untuk melemahkan peran PKI dalam percaturan politik pergerakan saat itu. Ketika PKI dinyatakan gagal maka Wardana menulis bahwa kesalahan itu terletak pada rendahnya sumber daya manusia yang tidak mampu mengatur pola strategi pemberontakan. Di samping itu ia menambahkan bahwa setelah perlawanan itu dinyatakan gagal, maka mengakibatkan laju jalannya roda pergerakan nasional terhambat dalam jangka waktu yang lama.

Hal ini jelas terjadi miskonsepsi dalam melihat sejarah Indonesia. Wardana tidak mengetahui fakta yang sebenarnya bahwa organisasi pergerakan itu tetap berjalan seperti biasanya. Ada tidaknya intensitas kontrol ketat atas jalannya roda organisasi pergerakan saat itu bukan tergantung dari perbuatan PKI semata. Artinya organisasi yang ada saat itu sudah bersama-sama memiliki kesadaran nasionalisme yang cukup tinggi. 

Upaya pengkambinghitaman jelas nampak di sini. Seorang penulis sejarah sebenarnya tahu apa yang ditulisannya itu menyimpang jauh apa tidak dari sumber resmi sejarah. Ketika penyimpangan itu sudah dilegitimasi sedemikian rupa oleh sistem yang mendukungnya, maka jelas sekali sejarah menjadi sebuah pelajaran yang kehilangan relevansi dan fungsinya bagi manusia generasi sekarang. Mempelajari sejarah berarti memperkuat penipuan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya yang masih belia dan tidak tahu apa-apa.

Dalam buku selanjutnya akan kita kaji lagi bagaimana buku pelajaran tidak selamanya steril dari kepentingan politik tertentu. Buku kedua ini ditulis oleh Saidihardjo. Judul bukunya adalah Cakrawala Pengetahuan Sosial untuk Kelas 5 SD/MI terbiitan Tiga Serangkai tahun 2004. Dalam buku ini agaknya penulis buku tidak menyelipkan fakta tentang organisasi pergerakan tokoh pergerakan yang berhaluan kiri. Agaknya Saidihardjo selaku penulis buku tidak mau beresiko menerima tikaman sosial dari masyarakat atas tulisan yang dianggap berbau kiri. Padahal berdasarkan Kompetensi dasar ke-6 jelas sekali tertuliskan “Kemampuan memahami perjuangan para tokoh dalam melawan penjajah dan tokoh pergerakan nasional di Indonesia.” Sedangkan pada hasil belajarnya pada indikator ke-3 disebutkan “Mengidentifikasi tokoh-tokoh penting pergerakan nasional dan tokoh-tokoh pejuang setempat.”

Dari kompetensi dasar dan hasil belajar di atas jelas sekali bahwa wewenang untuk menambahkan fakta sejarah tergantung dari penulis sendiri. Namun sayangnya, penulis hanya mengisikan tokoh-tokoh pergerakan dan organisasi yang bersifat umum seperti Budi Utomo dan Indishe Partij dalam sajian yang sudah baku dan sederhana. Andaikan penulis berani menyajikan sejarah SI saja tentu saja akan menambah menarik pembahasan dan sajian fakta buku pelajaran. 

Kurikulum 2004 di atas ini memang masih menempatkan bahan ajar dari buku pelajaran secara mandiri. Berbeda dengan buku dalam kurikulum 2006 atau KTSP ini penulis buku dan guru apalagi, mempunyai wewenang untuk mengembangkan, menambah, dan mengurangi mteri mana yang cocok dan sesuai dengan setting sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam buku ketiga ini dapat kita lihat bagaimana dan seperti apa buku pelajaran dapat diposisikan semestinya. Buku karya Nana Supriatna setidaknya memberikan ilustrasi tersebut. Buku yang berjudul Pengetahuan Sosial Kenali Lingkungan Sosialmu terbitan CV Citra Praya Bandung tahun 2004 ini membuat bab khusus tentang masa pergerakan nasional. Nana Supriatna memasukan masa pergerakan pada Bab 6 yang berjudul Perjuangan Melawan Penjajah dan Pergerakan Nasional Indonesia (h. 65). Supriatna memfokuskan perhatian pada tokoh-tokoh penting yang sudah dikenal secara umum. Nana tidak memasukkan tokoh-tokoh (antagonis) yang masih kontroversi. Agaknya etika dan nilai-nilai yang diharapkan pada pemunculan tokoh-tokoh yang sudah popular didorong oleh usaha Nana untuk memperkenalkan peristiwa masa lalu sebagai bagian dari masa lalu bangsa ini sendiri secara jujur. Nana juga banyak memasukkan tokoh-tokoh perempuan sebagai manifestasi semangat ideologi gender yang berkembang saat ini. Nampaknya peristiwa masa lalu yang identik dengan organisasi yang berhaluan kiri masih mejadi barang haram untuk dikaji secara ilmiah. Apalagi oleh murid sekolah dasar.


C. PENUTUP
Menyadarkan arti dan makna kebenaran akan fakta sejarah ternyata masih jauh panggang dari api. Kebenaran sejarah yang seakan mudah dan gampang itu pada kenyataannya sulit diterapkan. Tatanan nilai moralitas, ideologis, serta kepentingan lainnya ikut membawa arah kebenaran fakta sejarah semakin menjauh dari harapan bersama. Ketiga buku tersebut lahir pada waktu yang berbeda. Namun tiga-tiganya belum bisa membawa kebenaran sejarah pada titik fakta yang sebenarnya. Peristiwa masa lalu yang pernah lahir sebagai pondasi yang memperkuat keberadaan bangsa ini seakan tidak semuanya diikhlaskan untuk diketahui dan dimaknai dengan kematangan berpikir dan emosi yang empatif. Ketika sejarah juga penuh dengan cerita duka dan memunculkan segolongan manusia yang tidak dikehendaki oleh manusia masa kini, maka pupuslah sejarah masa itu. Periode dan organisasi terlarang seakan terkubur dengan segala dosa-dosa politiknya yang dilakukan oleh generasi penerusnya di awal republik ini berdiri. Jika kita menyalahkan masa lalu begitu saja tanpa melihat setting sosial dan budaya sebenarnya sama saja kita berlaku kejam terhadap anak bangsa. Mereka juga berhak tahu untuk apa buku sejarah itu diciptakan dan untuk apa kebenaran fakta dipertahankan. 

D. DAFTAR PUSTAKA

Supriatna, Nana. 2004. Pengetahuan Sosial. Kenali Lingkungan Sosialmu. Bandung: C.V. Citra Praya.

Saidihardjo. 2004. Cakrawala Pengetahuan Sosial untuk Kelas 5B. Surakarta: Tiga Serangkai.

Wardana, Datta, Basri, Yusmar, dan Imran, Amrin. 1997. Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah dasar Kelas 5. Jakarta: DEPDIKBUD.

Joened, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. 1992. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal


Tidak ada komentar:

Posting Komentar