Selasa, 07 April 2009

MENGEJA JAMAN: PEMILU BAGI GURU*

Dua hari lagi, pesta perhelatan akbar di mulai. Masyarakat yang sudah memenuhi kriteria dari sisi usia akan bersama-sama menyumbangkan suaranya demi suatu perubahan. Pemilu legislatif menjadi ajang dan katup pengharapan bagi masyarakat untuk memberikan apa yang terbaik bagi negeri ini. Meskipun hanya satu suara dari setiap individu, itu sudah cukup untuk memberikan andil yang optimal bagi jalannya negeri ini lima tahun mendatang.

Beberapa warna ideologi partai menawarkan pukau dan daya tarik tersendiri bagi para pemilih. Apakah mereka tertarik akan warna dan ideologi partai tertentu itu menjadi pilihan bagi setiap pemilih untuk menggunakannya baik secara sadar maupun paksaan. Kita tahu, iklan-iklan politik menggantikan program dan platform kepartaiann. Iklan mempunyai bahasa gambar dan kata yang menghipnotis orang-orang untuk merasa dan tidak lagi berpikir jernih mengenai siapa dan apa yang akan dipilihnya.

Sisi emosional dan solidaritas primordial cepat akan lambat menjadi acuan bagi partai untuk menciptakan pilihan yang terbatas bagi para pemilih. Orang-orang masih terjebak pada gejala primordialisme dan politik aliran. Barangkali, mereka menyukai ketokohan yang menjulang bertaburan cahaya bintang, namun itu tetap tidak mengubah pendirian orang-orang untuk memilih berdasarkan alasan-alasan ideologi.

Bagi orang-orang yang berlatar belakang pendidikan yang tinggi dengan titel yang panjang disandang, politik bukan hanya obralan janji yang memang tak pernah dibuktikan realitasnya. Politik adalah secuil permainan yang tak dibutuhkan prosesnya seperti apa yang penting menghasilkan sosok-sosok yang pemenang yang pantas dihormati karena dipilih oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Mereka menjadi pragmatis dan apatis karena proses pergulatan intelektual dengan realitas politik dari masa ke masa.

Lalu, bagaimana dengan sosok guru? Bagaimana guru memaknai persoalan politik melalui perkelahian partai-partai dalam pemilu dua hari mendatang? Ternyata menarik sekali apa yang menjadi pilihan guru dalam menyuarakan aspirasinya. Rata-rata guru menganggap bahwa perubahan itu perlu dilakukan. Mereka tidak juga betah dengan kemapanan yang sunyi dan bahkan pengap dengan slogan dan bahasa meta narasi yang tidak berkaitan dengan dunia yang akrab dengan hari-hari mereka. Mereka berharap bahwa dengan pemilu 2009 akan banyak perubahan yang menyangkut posisi kedirian mereka. Mereka ingin parpol membawa dan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan payung hukum bagi undang-undang sertifikasi guru dan dosen. 

Namun ada juga guru yang berpandangan berbeda. Mereka ini ingin agar pemilu menjadi ajang pertempuran ideologi yang pada akhirnya dimenangkan oleh ideologi kelompoknya. Guru yang tertarik ideologi keislaman ingin agar produk hukum ketatanegaraan diselimuti oleh nafas keislaman. Mereka menganggap bahwa sudah saatnya Islam menjadi sesuatu yang formal untuk semua aturan kelembagaan dan sosial masyarakat Indonesia. Mereka cenderung menolak pluralisme. 

Di sisi lain, ada yang lebih condong beraliran nasionalisme. Mereka ingin agar republik terjaga integrasinya melalui semangat yang dimunculkan dari parpol yang pluralistik dan multikultur. Ada yang condong memilih warna ideologi kuning, ada yang merah, dan ada yang biru. Ketiganya menawarkan hal yang sama. Dan ketiganya memberikan harga mati bahwa republik harus mengada melalui semangat multikultur yang tak boleh luntur.

Terakhir, sebagian guru masih terlihat kurang bergairah untuk menatap hari esok. Mereka tetap meyakini bahwa republik akan tetap sama dengan hari-hari kemarin. Tak ada lagi daun yang berguguran, tak ada lagi hujan, dan tak ada lagi kemarau yang disebabkan oleh kekuatan besar yang bernama pemilu. Daun, hujan, dan kemarau akan muncul silih berganti karena alam yang memintanya. Pemilu tidak akan merubah apapun. Orang-orang tetap masih banyak yang menganggur, BBM senantiasa mengalami kenaikan harga, biaya sekolah tinggi,  sembako mahal, dan tunjangan guru tidak turun-turun. Mereka ini adalah kelompok yang pragmatis-realistis. Mereka inilah yang melihat lubang hitam yang menganga begitu besar yang siap menenggelamkan republik tercinta jika orang-orangnya (para guru) masih ternina-bobokan dengan hiruk-pikuk ideologi yang absurd dengan kader-kader partai yang penuh kamuflase!

Kendal, 7 April 2009

*Penulis: Muslichin, guru sejarah SMA 2 Kendal.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar