Minggu, 12 April 2009

LINTASAN KESILAMAN DALAM POTRET*

Masa lalu kadang memancarkan nuansa peneduh bagi manusia kini yang menghadapi masalah yang mengakarabinya. Manusia menoleh dan menengok ke masa lalu untuk memperoleh jawaban atas problematika hidup yang ia alami. Oleh karena itu, betapa beruntungnya manusia ketika ia memiliki lintasan masa lalu yang panjang dan mendalam pada negeri dan tanah tempat ia hidup hidup dan tersenyum selama ini. Sebaliknya betapa sedih dan muramnya manusia ketika masa lalu tak pernah hadir secara lengkap dan utuh sebagai akar manusia hidup pada masa kini.

Demikian pula wajah negeri kita: Indonesia. Indonesia ada karena memiliki akar lintasan kesilaman yang panjang. Negeri Indonesia lahir karena perjumpaan antara lokalitas yang lentur dengan isme-isme dari luar yang berwajah santun, lunak, kejam, atau keras. Semua datang menghampiri dan menyapa dalam wujud perdagangan, kulak, dan barter hingga salah satu dari mereka berkeinginan untuk menaklukkan nusantara karena silau dengan rempah-rempah. 

Maka, kita mengakrabi VOC, EIC, dan orang-orang Portugis maupun Spanyol dengan bendera dagang mereka. Bertubi-tubi mereka hadir dalam senyum ramah untuk mendapatkan monopoli atas rempah-rempah dan produk nonmigas yang kita kaya untuk itu. Hongi, devide et impera, cultuure procenten menjadi alat penindas yang lunak menutupi niatan kejam mereka. Negeri kita terpuruk tanpa pemersatu layaknya jaman emas Sriwijaya dan Majapahit.

Negeri ini yang pernah jaya mengarungi samudera lewat sahabat bugis akhirnya terperosok dalam ketidakberdayaan akibat tidak memahami apa sejatinya nusantara itu. Saat itu kerajaan tradisional masih berwatak feodal agraris. Tak satu pun kerajaan yang mampu memperkuat sektor maritim sebagai satu kekuatan utama untuk pertahanan bangsa. Apa yang dikatakan Pramudya Ananta Toer sangat benar, bahwa bangsa ini telah terjadi arus balik. Kita yang pernah jaya di lautan akhirnya kandas dan menerima Barat dengan budayanya menggantikan posisi priyayi-priyayi kita yang ternina-bobokan lewat gaji-gaji kolonial mereka. 

Belandalah yang dengan sabar meladeni negeri ini dengan keramahtamahan yang mendua dan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menyuburkan kemiskinan masyarakat Indonesia. Wertheim, D.H. Burger, maupun Boeke mengatakan hal itu. Dan kita tidak bisa berkata apapun. Bagi rakyat negeri ini, tak apalah mereka dijajah Belanda, wong sebelumnya para priyayi mereka menjajah lebih dari apa yang telah dilakukan orang Belanda. Kita melalui masa-masa di mana Belanda menerapkan rodi, diganti sebentar dengan sewa tanah, dilanjutkan lagi dengan tanam paksa, ekonomi liberal, dan politik etis.  

Lewat edukasi sebagai pilar politik etis, kita disadarkan untuk menghormati dan merefleksikan kembali apa sebenarnya kolonialisme dan imperialisme yang saat itu Belanda mulai kehilangan pamor-pamor kekuatan politik dan ekonominya karena persoalan perang dunia I dan II yang membahayakan situasi negerinya di Eropa. Kita bangkit untuk mengorganisasi kekuatan rakyat melalui partai-partai politik. Budi Oetomo memang lahir mengawali keberanian berorganisasi, tapi ia bukanlah organ terbuka yang benar-benar membawa semangat perjuangan. Untunglah, Indische Partij bangkit untuk menyadarkan pemuda saat itu tentang pentingnya negeri ini serta peluang yang memungkinkan bagi keterlibatan rakyat Indonesia untuk membentuk dan mencintai negeri sendiri tanpa tangan-tangan kejam bangsa lain. Puncaknya adalah sumpah pemuda yang dengan kekuatan politik seadanya berani melawan arus kuat yang terjadi saat itu.

Yah, negeri ini tercipta lewat keberanian pemuda-pemuda yang secara sengaja mengenyam pendidikan barat. Mereka terlahir sebagai intelektual yang sadar akan nasib bangsa. Mereka dididik lewat sistem pengajaran Belanda dan akhirnya menjelma menjadi kekuatan penting untuk melawan Belanda sendiri. 

Tujuh belas tahun lewat dari peristiwa besar itu, negeri ini memiliki keberanian untuk memerdekakan dirinya. Jepang yang sempat mampir tidak mempunyai kekuatan untuk menciptakan status quo. Sekutu dan Nica datang terlambat. Soekarno dan Hatta yang didukung pemuda Indonesia berhasil mengumumkan tentang harkat dan martabat bangsa Indonesia pada dunia luar. Meski berjalan alot, akhirnya dunia luar mengakui lewat konferensi demi konferensi yang meletihkan dan menghabiskan berdarah-darah pemuda yang kurang terdidik untuk maju di depan mocong senapan Nica dan sekutu. 

Sejarah mewartakan pada kita bagaimana laju republik yang bernama Indonesia terhuyung-huyung untuk mencapai cita-cita seperti yang digariskan dalam preambule UUD 1945. Masa liberalisme yang tidak jelas, masa demokrasi terpimpin yang akrab dengan konsep Nasakomnya, masa Orde Baru yang awalnya membawa semangat pembangunan dan pernah menumbuhkan perekonomian hingga 8%, serta akhirnya masa sekarang: reformasi.

Lewat sejarah, kita bercermin bagaimana dunia politik mewarnai carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara. Masa reformasi bukanalah suatu masa yang terpisah dengan realitas sebelumnya. Hendaknya, generasi masa ini melihat dengan jujur pada air kesilaman yang mengalir yang membentuk spektrum yang luas tentang apa yang ada dan mengada pada kini dan esok. 

Lalu, apapun yang sudah menjadi lintasan historis negeri ini, buatlah itu sebagai wadah reflektif kebanggaan dan jati diri Indonesia. Dengan itu, mungkin kita lebih bisa membuka diri dan merekah binar senyum kita melihat betapa berkecamuknya beban yang menghimpit negeri ini.  

*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar